Our World
"Hey! Kau yang di sana!" Pria berkepala botak berlari ke arah selatan. Targetnya sedang berada di sana.
"Cepat lari! Selamatkan dirimu, Claire!"
"Ayo lari bersama, Kak! Ayo aku bantu!"
Claire meringis menahan berat tubuh kakaknya. Dengan tenaga yang mulai menipis mereka tetap berlari dari kejaran pria suruhan itu.
"Claire! Pria itu semakin dekat di belakang kita!" isak Vonna, kakaknya.
"Tak apa. Percayalah padaku."
Masih sambil berlari, Claire terus berpikir bagaimana caranya agar pria itu tidak lagi mengejar mereka. Sayang sekali ia tidak menguasai bela diri.
"Sial! Kenapa si jelek itu terus mengejar kita! Kenapa pula otakku tidak bisa berpikir saat ini!" umpat Claire mulai panik.
Mereka mulai memasuki sebuah hutan. Claire terus mematahkan ranting-ranting yang ia lewati sehingga ujungnya menjadi runcing. Sesekali ia menoleh ke belakang dan mendapati lengan pria itu berlumuran darah, namun wajahnya tetap sama. Datar.
Seolah ia tak merasakan sakit itu.
"Akh!"
Kaki Vonna tersandung menyebabkan mereka berdua terjerembab ke tanah. Dengan sigap Claire meraih tubuh kakaknya kembali dan membawanya ke balik pohon besar.
"Maafkan aku. Maaf. Maafkan aku."
Claire memeluk tubuh Vonna dan mengusapnya lembut. "Tenanglah, Kak. Dia tak akan tau kita di sini."
"Siapa bilang aku tak tau."
Sial! Claire mengumpat dalam hati. Pria itu berada lurus di depan mereka. Demi apapun yang akan terjadi nanti, Claire berharap hanya ia yang akan merasakannya. Semoga Vonna tidak apa-apa.
Claire menutup matanya sambil memeluk Vonna. Ia berharap semoga saja tumbuhan di sana mau membantunya. Setidaknya dengan melilit pria itu agar ia tidak mendekati mereka berdua.
"Apa ini?!"
Claire tersentak mendengar suara menggelegar milik pria itu. Terkejutnya ia saat hal yang baru saja ia khayalkan benar terjadi di hadapannya. Semua tumbuhan jenis merambat bergerak ke arah pria berkepala botak itu dan melilit kakinya.
"Kak apa yang terjadi?" cicit Claire yang disahuti gelengan oleh Vonna.
"Apa hutan ini berpenunggu?"
Lagi-lagi Vonna menggeleng, masih menatap takjub tumbuhan yang melilit kaki pria yang tak ingin ia ketahui namanya itu.
"Kak lihat! Tumbuhan itu mulai melilit tubuhnya! Ia bisa mati karena tidak bernapas!" Claire berteriak panik. Gadis itu juga menggoyangkan lengan Vonna.
Vonna menepis tangan Claire. "Biarkan saja dia mati. Bukankah dia juga menginginkan kita mati?"
Claire terperangah dengan jawaban kakaknya. Cepat-cepat gadis bermata hazel itu bangun dan mencari sesuatu yang tajam. Lalu berlari menuju pria itu dan mulai memotong tumbuhan rambat yang anehnya justru semakin melilit erat.
"Masalahnya ada di dirimu. Kaulah yang mengendalikan tumbuhan itu."
Claire berbalik dan bersiap-siap jikalau lelaki di depannya hendak berbuat jahat. Ia masih memegang batu tajam itu di tangannya.
"Kau tak percaya? Cobalah untuk rileks dan jangan panik. Tumbuhan itu akan berhenti melilit."
"Kau membodohiku?! Mana mungkin aku bisa mengendalikan tumbuhan. Yang benar saja?"
Lelaki itu mengendikkan bahunya tak acuh. "Apa salahnya mencoba untuk tenang?" ucapnya, lalu berjalan perlahan menuju ke sebuah pohon dan duduk santai di sana.
"Cepatlah sebelum pria itu mati."
Mau tak mau Claire pun mencoba untuk tenang meskipun ia tak menampakkan hal itu terang-terangan. Bisa saja lelaki itu sedang membodohi ia dan setelah itu menertawakannya.
Namun, kejadian ajaib yang terjadi setelahnya membuat mata gadis itu terbelalak. Tumbuhan itu kembali ke tempat asalnya hingga akhirnya si pria botak terkulai lemah di tanah.
"Apa yang terjadi?" tanya Claire.
"Tentu saja kau mengendalikannya," sahut lelaki itu enteng.
"Panggil aku Nico, dan aku akan memanggilmu gadis tumbuhan."
"Hey! Kau tak berhak mengubah nama seseorang!" Claire merengut kesal karena lelaki yang mengaku bernama Nico itu.
"Terserah. Bukan itu yang penting sekarang. Tidakkah kau ingin mengobati kakakmu yang sedang sekarat itu?" Nico menunjuk Vonna yang sudah diambang kesadarannya. Claire terperanjat kaget, bisa-bisanya ia melupakan kakaknya.
"Ayo ikut aku. Kau bisa mengobati dia di rumah kami," ajak Nico mulai berjalan lebih dulu.
Claire ingin tak percaya pada orang asing, tapi keadaan sedang tak mendukung ia melakukan itu. Maka dengan berat hati ia mengikuti Nico menuju ke tengah hutan.
"Sebenarnya aku lelah berjalan seperti ini. Tapi, kalau aku mengajakmu bertelerpotasi sekarang aku tak bisa menjamin kau tak akan muntah-muntah," seloroh lelaki berambut perak itu.
Sejujurnya dalam hati Claire terus memuja rambut indah milik lelaki di depannya ini.
"Kau tau? Kau juga bisa membuat kita lebih cepat sampai jika kau bisa mengendalikan tumbuhan itu dengan baik."
"Kau ini bicara apa?" Claire memutar bola matanya.
"Coba saja kau fokus dan tutup matamu, pikirkan bagaimana caranya agar tumbuhan ini bisa menjadi alat transportasi kita," kata Nico menatap Claire sekilas.
Gadis itu merutuk kesal karena Nico terus membicarakan tentang kekuatan mengendalikan tumbuhan yang entah sejak kapan Claire punya.
"Aku tak mau. Sudah jalan saja."
"Baiklah. Terserah."
Dua puluh lima menit berlalu, Claire mulai lelah menopang tubuh Vonna. Sedangkan lelaki di hadapannya ini sama sekali tak punya inisiatif untuk membantunya.
"Kita sudah sampai. Ayo masuk."
Baru saja Claire ingin protes, namun harus ia telan kembali karena terperangah saat melihat sebuah pintu di batang pohon raksasa itu. Bukankah ini seperti dunia fantasi?
Tidak. Jika saja Nico tak membukanya mungkin ia tak tau kalau itu merupakan pintu. Vonna semakin lemah sampai membiarkan kakinya terseret di tanah. Membiarkan Claire membawanya menuruni tangga entah kemana.
"Bawa masuk kakakmu dan baringkan ia di sana." Nico membuka sebuah pintu dan terlihatlah sebuah ranjang yang di sekelilingnya dipenuhi dedaunan.
"Tempat apa ini? Aku tak mau meletakkan kakakku di sana!"
Nico berdecak tak suka. "Letakkan saja di sana dan kakakmu akan sembuh dengan cepat."
"Tak apa, Claire. Bawa aku ke sana," bisik Vonna.
Mau tak mau Claire membawanya ke sana. Menuntun tubuh Vonna untuk berbaring dengan baik. Saat ia hendak duduk, suara Nico menginterupsi.
"Kau ikutlah aku. Kakakmu aman di sana. Percayalah."
Claire menatap Nico dan Vonna bergantian. Vonna mengangguk sekilas, mengizinkan Claire untuk pergi. Gadis itu mendecak kesal, Vonna terlalu cepat percaya pada lelaki itu.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang hanya diterangi obor kecil di sepanjang dinding. Claire merinding ketakutan. Pikirannya sudah meliar kemana-mana, takut kalau-kalau Nico sama seperti penjahat wanita yang menginvasi desanya.
"Ini tempat kita berlatih. Dan mereka semua akan menjadi teman kita untuk melawan Purniti."
"Purniti?" Claire menoleh heran.
"Purniti itu wanita cantik yang sekarang sedang menguasai desamu."
Claire terdiam membayangkan bagaimana teganya wanita itu membantai orang desanya. Beruntung ia dan kakaknya bisa melarikan diri, walaupun Vonna sempat terkena lemparan batu dan balok kayu di tubuhnya.
Mata Claire terbelalak saat melihat orang-orang di hadapannya. Tidak, bukan karena itu saja. Tapi juga karena tempat yang ia pijaki sekarang. Sebenarnya mereka ini sedang dimana? Benarkah di bawah tanah? Tapi kenapa bisa seluas ini?
Bagaimana Claire mendeskripsikannya? Taman di bawah tanah? Entahlah, yang jelas ia kagum akan semua ini.
Dan lihatlah orang-orang itu. Mereka sedang melakukan atraksi sulap? Bagaimana bisa ada wanita yang dengan mudahnya duduk tenang di atas air, dan juga lelaki yang membawa api di tangannya.
Semua ini mustahil. Claire yakin ini semua mimpi.
"Hei, kau tidak sedang bermimpi. Bukalah matamu. Ini semua nyata," celetuk seorang gadis kecil dari sebelahnya.
"Ap-apa maksudmu?"
Dia tidak sedang membaca pikiranku, 'kan? Claire menatap was-was gadis kecil itu.
"Jika itu yang kau takutkan maka itu benar. Aku membaca pikiranmu. Jadi berhati-hatilah, jangan sampai aku tau kau membicarakan aku." Gadis itu melenggang pergi bergabung dengan yang lain dan mulai menanggapi setiap isi pikiran semua yang di sana.
"Dia Shio, gadis kecil itu berumur lima belas tahun, dan dia bisa membaca pikiran. Itu kemampuannya," terang Nico.
"Lalu kau?" tanya Claire.
"Aku? Kan sudah ku bilang aku ini bisa teleportasi."
Claire menatap punggung Nico tak percaya. Yang benar saja lelaki itu bisa teleportasi?
"Nico! Gadis itu tak percaya kau bisa teleportasi! Kalau begitu tunjukkanlah!" teriak Shio dari tengah taman.
Nico tersenyum tipis. "Aku tau!" balasnya ikut berteriak.
Claire melotot tak percaya Shio akan melaporkan hal itu.
"Shio bisa membaca pikiran seseorang dari radius 50 meter," ucap Nico saat Claire sudah kembali berada di sebelahnya.
"Gadis itu menyebalkan," rutuk Claire.
Anehnya, setelah mengatakan hal itu kaki Claire terasa sangat sakit bahkan sangat sulit untuk digerakkan.
"Nico, apa yang terjadi?"
Lelaki berambut perak itu mengembuskan napas singkat. "Gray! Berhentilah melakukan hal jahat itu."
Voila! Setelah ucapan tegas dari Nico, semuanya kembali normal. Kaki Claire tidak terasa sakit lagi. Membuat ia terheran-heran.
"Itu tadi ulah Gray, bocah laki-laki berkacamata itu. Anak itu punya kemampuan mengirim rasa sakit pada tubuh orang lain. Dan sedikit informasi, ia suka Shio jadi jangan membicarakan Shio lagi seperti tadi."
Mata Claire berpindah arah ke sebelah barat. Tubuh Claire merinding saat bersitatap dengan Gray. Laki-laki itu memiliki tatapan mata yang tajam. Atau itu karena ia tak suka pada Claire? Entahlah.
"SEMUANYA! AYO BERKUMPUL! KI--" Belum habis Nico berbicara, tiba-tiba saja tanah bergetar dengan hebatnya.
"Nico! Ini kenapa?" teriak Claire kencang. Ia juga terus menoleh ke pintu, jelas saja gadis itu mengkhawatirkan Vonna.
"Puriti mengetahui keberadaan kita. Dia pasti membawa orang-orangnya." Nico menatap langit-langit dengan cermat.
"Tapi Puriti tidak punya kemampuan menggetarkan bumi. Dia hanya bisa memanipulasi ingatan," sela Dera, gadis yang bisa mengendalikan air.
"Aku tau. Sepertinya ... dia sudah berhasil memanipulasi ingatan Bitry," ucap Nico.
"Oh tidak! Bagaimana nasib kita selanjutnya!" teriak Shio panik.
"Shio! Kenapa tidak kau gunakan kekuatanmu itu untuk membaca pikiran mereka?" usul Gray.
"Tidak, Gray. Mereka sangat jauh, semuanya terasa samar-samar."
"Tidak ada cara lain. Kita lawan mereka."
"Tapi, Claire bahkan baru bergabung."
"Claire, ingat ini. Kuncinya hanya fokus dan bayangkan. Maka kau akan mendapatkannya," ujar Nico memegang pundak Claire.
Gadis itu menyatukan alisnya. "Kau serius dengan kekuatanku ini?"
"Kau tak percaya? Cobalah bayangkan yang kau ingin lakukan. Ingat, kuncinya fokus."
Claire memejamkan mata. Ia membayangkan sebuah tanaman raksasa muncul dari tanah dan membawa mereka ke atas.
Tanah bergerak lembut dan tak lama muncul sebuah pohon berukuran besar yang terus menjulang ke atas sehingga menembus tanah. Lalu, sebuah jamur raksasa berada di bawah kaki mereka, membawa mereka naik ke atas.
"Wow! Ini benar terjadi!" seru Claire.
"Hahaha! Lihatlah bocah-bocah malang itu! Mereka bergabung seakan-akan bisa mengalahkan aku!" Puriti berada di sana. Dikelilingi oleh banyak lelaki bertubuh kekar dan besar. Jangan lupakan kepala mereka yang botak.
"Tunggu apalagi! Habisi mereka!" teriak Puriti yang segera dilaksanakan oleh pria-pria itu.
Wanita itu juga tak tinggal diam. Ia ikut turun ke lapangan dan mengincar satu per satu dari mereka untuk bisa ia manipulasi ingatannya.
Namun tiba-tiba ...
"Huaaaaa. Kau bermain kasar!" Shio berteriak keras dengan air mata mengalir di pipinya.
"Ada apa?" tanya Nico.
"Gray menarik rambutku dengan keras barusan!" Gadis itu terus meraung-raung.
"Kan aku sudah bilang harusnya saat pertarungan akan terjadi kau segera menepi. Memangnya apa yang bisa kau lakukan hanya dengan membaca pikiran?"
"Kalau begitu kita bertukar posisi. Biar aku yang memiliki kekuatan itu!"
Nico mengusap wajahnya frustasi. "Hei sudah, sudah! Kalau kalian bertengkar terus kapan kita akan lancar memerankan drama ini?"
"Benar, sejak kemarin kita terus mengulang adegan yang sama dan aku mulai bosan," sahut Claire.
"Aku lelah menjadi orang jahat," keluh Puriti.
"Kalian sama saja! Tak ada yang becus satu pun!" sentak Dera kesal.
"Sudahlah. Hari ini pulang saja dan usahakan besok kita tidak mengulang adegan ini terus menerus."
-Fin-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro