Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Modifikasi Ingatan

Manusia memang tidak selalu seperti yang terlihat. Terkadang, sudut bibir mereka terangkat membentuk lengkung senyum sempurna, tetapi hati menjerit sakit, meneriakkan kebalikannya. Tidak akan ada yang peduli karena sebagian besar lebih lihai menarik kesimpulan dari apa yang terjamah netra, tidak dengan pahit yang dirangkum hati.

Sayang, semua itu tidak berlaku bagi Genta. Dia lelaki terpilih yang diberi kesempatan untuk membaca dan menyibak penderitaan sesama. Genta diberi kewenangan memutus benang hitam yang terhubung pada salah satu sel dalam otak manusia. Sel yang bertugas menghimpun ingatan menyakitkan.

"Jaga pandanganmu. Jangan beradu tatap dengan siapa pun, jika kamu tidak ingin sakit itu kembali."

Genta tak bersuara tatkala sang ayah mengingatkan. Sekeras apa pun usahanya, sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain, Genta tentu saja tidak bisa melakukan itu. Berinteraksi tanpa menatap lawan bicara, jelas tidak sopan. Lagi pula, tidak semua orang yang berbicara dengannya dalam kondisi terluka. Jadi, Genta berusaha bersikap normal.

"Genta, kamu dengar Papa?"

"Ya, Pa."

Hadian menghela napas. Ini bukan kali pertama ia memperingatkan putranya, tetapi selalu berujung pengabaian. Meskipun detik ini Genta mengiyakan ucapannya, tetapi sepulang sekolah nanti, anak itu pasti kembali dengan wajah pucat dan tubuh bersiram peluh. Anak itu memang terlalu baik, tidak bisa membiarkan siapa pun terkekang di balik kabut penderitaan.

Setelah berpamitan pada sang ayah, Genta menyampirkan ranselnya, lalu melangkah meninggalkan rumah.

Sepanjang jalan, kepala pemuda itu tertunduk, menghindari kontak dengan orang-orang di sekelilingnya. Jarak antara rumah dan sekolah yang tidak terlalu jauh, membuat kaki Genta terayun ringan berjalan ke sana. Hemat ongkos, sekaligus berolahraga, pikirnya.

Sebuah earphone terpasang, tangan kukuh Genta sesekali bergerak menggulir daftar lagu dalam telepon genggamnya, hingga lagu berjudul Fix You menggema memenuhi indra pendengarannya. Namun, ketenangannya menikmati alunan lagu tak berlangsung lama, ponselnya terlempar jatuh, tubuhnya pun terhuyung mundur saat tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang.

"Maaf, aku tidak sengaja."

Melihat gadis yang baru saja menabraknya menunduk, Genta turut melakukan hal yang sama, hendak memungut ponselnya. Namun, tangan gadis itu mendarat lebih dulu di atas benda pipih warna hitam tersebut, disusul oleh Genta kemudian. Kecanggungan tak terelakkan. Kepala mereka sama-sama terangkat, membawa tatap keduanya beradu.

Si gadis tersenyum, tetapi Genta berhasil menerjemahkan hal lain dalam sorotnya.

"Apa kamu perlu bantuan?" tanya lelaki itu kemudian.

Genta mendadak kikuk saat si gadis yang kini berdiri di hadapannya justru melemparkan tatapan bingung. Pemuda itu meringis, lalu mengatupkan tangan di depan dada. "Maaf, dan lupakan apa yang aku katakan."

Gadis itu terkekeh. "Namaku Shima. Aku hanya terkejut, dari mana kamu tahu kalau aku sedang membutuhkan bantuan?"

"Dari matamu."

Shima tersenyum samar. Benar kata orang, mata sanggup menjadi pembicara yang baik saat bibir terkatup kelu tak lagi bisa menyuarakan rasa sakit. "Kamu benar, aku memang sedang membutuhkan bantuan. Andai mesin modifikasi ingatan benar-benar ada, tidak akan ada pahit yang kuingat."

"Aku tidak memiliki mesin yang kamu sebutkan, tapi aku bisa melakukannya."

Alis tebal gadis berambut sebahu itu saling bertemu. "Melakukannya? Apa?"

"Modifikasi ingatan."

"Kamu bercanda?" tanya Shima tak percaya.

"Kalau kamu mau, aku bisa melakukannya."

Shima tampak menimbang-nimbang, detik berikutnya perempuan itu mengangguk. Walaupun sebenarnya ia belum benar-benar percaya.

***

Sekitar sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi, Genta bergegas ke tempat yang pagi tadi mereka janjikan. Si lelaki bertubuh jangkung melebarkan pandangannya, mencari keberadaan gadis itu. Namun, sesaat sebelum kedua netranya kembali meliar, Shima tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.

"Hallo, Genta," sapanya.

Genta tersenyum. "Sudah berpikir matang-matang?"

Shima menunjuk bangku kecil di sudut taman, mengajak Genta duduk di sana.

Setelah sama-sama duduk, gadis itu bersuara. "Sebenarnya apa yang kamu tawarkan?"

Genta menoleh. "Aku tidak menawarkan apa pun, hanya ingin membantu kamu melenyapkan ingatan menyakitkan itu."

"Kamu benar-benar bisa melakukan itu?"

Menangkap keraguan dalam nada bicara Shima, tangan kanan Genta bergerak menyentuh area dahi, menempelkan permukaan telunjuknya di sana, hingga benda pipih bulat transparan yang ukurannya tak lebih besar dari kelereng beralih pada jari tangannya.

"Benda ini sumber energiku. Dia bisa memutus dan menetralkan ingatan menyakitkan dalam otak manusia. Konsekuensinya, aku pasti kehilangan separuh dayaku, tetapi bisa membaca dengan segera kepahitan yang sedang coba kamu lupakan. Artinya, tidak akan ada privasi antara kita. Dengan atau tanpa kamu beritahu, aku pasti bisa dengan mudah mengetahui apa yang terjadi pada kamu."

"Sebenarnya, aku tidak tahu apakah ini layak untuk dilupakan atau tidak, tapi jujur, setelah mengetahui semuanya aku benar-benar menderita. Menjadi tumpuan kebencian Ibu selama bertahun-taun, jelas tidak menyenangkan."

"Kalau kamu percaya aku bisa melakukannya, aku akan melakukannya. Bukan hanya kamu, sebelumnya ada banyak orang yang juga kutolong. Mereka akhirnya bahagia tanpa mengingat apa yang menyakitkan."

"Baiklah. Lakukan jika memang itu bisa membuatku melupakan hal menyakitkan itu."

Sekali lagi Genta mengangguk. "Tutup matamu," titahnya. Lelaki itu menempelkan benda bulat pipih di dahi perempuan itu, membiarkan alatnya bekerja. Cahaya yang memancar dari benda itu menandakan kalau alatnya sedang bekerja, menyerap, menetralkan, memutus benang hitam yang terhubung pada salah satu sel dalam otak Shima.

Benda itu sebetulnya diterima pasca serangan para penghuni langit beberapa rahun silam. Monster bernama Marp, turun dari langit menyebarkan virus kesedihan pada para penghuni bumi. Mereka yang terpapar virus tersebut langsung merasa sedih, putus asa, dan tak sedikit yang memutuskan bunuh diri karena merasa frustrasi yang bahkan tidak mereka pahami kenapa.

Sang ibu yang merupakan seorang ilmuan, berhasil menciptakan alat yang bisa menangkal virus tersebut. Sayang, belum sempat memperbanyak, ibunda Genta turut terserang hingga akhirnya meninggal usai melompat dari gedung perbelanjaan. Demi mencegah putranya mangalami hal serupa, Hadian memakaikan alat itu pada Genta.

Banyak korban berjatuhan. Butuh waktu yang lama sampai Hadian berhasil emnduplikasi alat yang dibuat istrinya, memperbanyak, lalu membagikan alat tersebut pada banyak orang. Sayang, alat yang dibuatnya tak sebaik buatan istrinya. Alhasil, hanya sebagian orang saja yang berhasil sembuh.

Tubuh Genta bersiram peluh. Rasa sakit di kepalanya muncul saat satu per satu ingatan menyakitkan dalam diri Shima dihapus, yang secara otomatis terputar di otaknya. Akhirnya Genta tahu bahwa Shima sangat menderita mengetahui dia hanya anak hasil sebuah kesalahan. Bertahun-tahun perempuan itu hidup hanya untuk menjadi tumpua kebencian sang ibu. Caci maki, hinaan, dan kekerasa fisik diterima. Wajar rasanya kalau Shima ingin melupakan itu semua.

Perlahan, lengkung aneh di sudut bibir gadis berambut sebahu itu memudar, berganti senyum ajaib yang mampu membuat seorang Genta tersihir.

Shima membuka mata sesaat setelah Genta mencopot benda yang tertempel di dahinya. Benda yang semula benin transparan kini tampak berwarna merah kehitaman. Sesak di dadanya lenyap, sakit dihatinya tak ada lagi, tubuhya terasa begitu ringan, tak lagi ada ketakutan, penyesalan, pun rasa sakit.

"Berbahagialah. Aku pergi," kata Genta sembari melenggang meninggalkan gadis itu.

***

Hadian tergopoh menyambut kedatangan putranya. Genta nyaris tumbang di ambang pintu andai ia tak sigap menahan bobot tubuhnya. "Genta, bangun," panggilnya sembari menepuk pipi Genta beberapa kali.

Lelaki itu mengerjap, lalu tersenyum pada dang ayah.

"Sudah Papa bilang, jangan melakukan hal yang akhirnya menyakiti dirimu sendiri. Biarkan mereka dengan perasaannya."

"Aku mau semua orang bahagia, Pa."

"Papa mengerti, tapi Papa tidak bisa membiarkan kamu seperti ini. Kamu berhak bahagia tanpa harus turut merasakan penderitaan orang lain. Menghapus kesakitan mereka dan membiat dirimu sendiri kepayahan bertahan."

"Aku hanya ingin membantu. Aku tidak ingin egois."

Hadian memapah putra tunggalnya ke sofa, membaringkan pemuda itu di sana. "Ada hal yang harus kamu tahu, Genta. Selain melupakan kenangan pahitnya, apa yang kamu lakukan juga berpotensi membuat mereka melupakan orang yang membuat mereka sakit."

Genta menelan salivanya kasar. Entah mengapa yang baru saja dikatakan sang ayah membuatnya gemetar. Berpotensi membuat seseorang yang ditolongnya turut melupakan orang yang membuatnya sakit. Berarti ... Genta baru saja membuat seorang gadis melupakan ibu kandungnya?

"Kenapa Papa tidak mengatakannya sejak dulu?"

"Karena Papa pun baru mengetahuinya setelah membaca buku catatan mamamu. Jika dulu alat itu bisa membuat orang melupakan Marp, tentu saja itu berlaku sampai sekarang, 'kan?"

"Papa, aku telah membuat banyak orang melupakan orang terdekat mereka. Aku hanya berniat menolong, lalu kenapa seperti ini hasilnya?"

Hadian merengkuh putra kesayangannya. "Tidak ada yang perlu disesali. Semua sudah terjadi, dan ini bukan salahmu sepenuhnya."

"Tapi, Pa ... aku mungkin saja membuat mereka lupa pada orang-orang terdekatnya."

"Kamu tidak mengetahui itu sebelumnya. Jadi, jangan menyalahkan diri sendiri. Hanya saja, mulai sekarang, berhenti melakukan itu. Tidak ada Marp lagi sekarang. Kesedihan mereka masih terbilang normal. Sedih dan bahagia itu sepaket, biarkan mereka hidup berdampingan. Tidak bisa dikatakan sedih jika tidak ada bahagia, dan tidak bisa pula dikatakan bahagia bila tidak pernh mencecap sedih."

Genta tertunduk sedih. Entah mengapa ia menyesal melakukan semuanya. Padahal, dulu Genta berharap bisa menolong banyak orang dengan menghilangkan kesedihan mereka. Rupanya itu tidak menolong, justru membuat mereka jauh dari orang yan mungkin sebelumnya mereka sayang. "Aku harus bagaimana, Pa?"

"Mulai sekarang, biasakan hidup tanpa alat itu. Biarkan manusia menjalani hidupnya dengan normal. Kamu tidak perlu cemas mereka akan melakukan apa yang mama lakukan."

Pemuda itu mengangguk. Ia melepaskan benda yang semula melebur samar bersama warna kulit di area dahi, lalu menyerahkannya pada sang ayah. "Aku akan membiasakan diri tanpa itu, Pa."

"Papa yakin kamu bisa melakukannya. Mula sekarang, hiduplah seperti manusia normal. Tidak perlu lagi hidup dalam bayang-bayang mamamu dan alat itu."

"Tolong bantu aku, Pa. Aku tidak mau membuat orang kesulitan lagi. Kalau perlu, musnahkan saja alat itu, Pa."

-Fin-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro