Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dream

Agista duduk di samping Brian, dia memandang jauh ke arah orang-orang yang masih bermain air di pinggir pantai.

"Aku capek," ucapnya sambil duduk menekuk lutut.

Brian menoleh, lalu tersenyum melihat kondisi sang adik yang sudah lepek. Semilir angin yang menerpa wajah bahkan tak sanggup menerbangkan rambut basah gadis itu. Agista terlihat menggemaskan, Brian pasti akan merindukan momen seperti ini. Dia turut menekuk kedua lutut tanpa melepaskan tatapannya.

Agista menggulirkan pandangannya pada Brian lantaran si sulung tidak merespons ucapannya. Mengingatkannya kalau kalimat barusan bisa saja membuat Brian khawatir.

"Maksudku bukan capek yang seperti itu ya, Kak."

"Kakak tahu."

Agista kini menatap Brian dengan tatapan bertanya. Biasanya, sang kakak akan panik dan pasti bertanya bagian tubuhnya yang mana terasa sakit. Namun, semenjak tiga hari lalu Brian bersikap aneh. Dia mengabulkan empat belas dari lima belas wishlist yang pernah ditulisnya dalam diary. Pergi ke pantai hari ini adalah daftar kelima belas.

"Kak Bri, nggak apa-apa, 'kan?"

Brian melihat sinar khawatir dan curiga di manik kelam milik sang adik. Sembari mencubit gemas pipi Agista, dia menjawab, "Nggak apa-apa."

Sebenarnya jawaban itu tidak menenangkannya sama sekali. Hatinya masih terasa terbebani, tetapi Agista memilih untuk percaya yang dikatakan Brian.

"Kak, terima kasih, ya."

"Hm?" Brian mengernyit.

"Karena kemarin Kak Brian mau membawaku bertemu mama."

Ucapan terima kasih itu layaknya pisau yang mengiris hatinya bahkan saat agista menyunggingkan senyuman. Brian tidak menyangka rasanya akan seperih ini. Dia berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. Pemuda itu mengelus puncak kepala sang adik tanpa buka suara. Bertemu sang ibu adalah hal yang paling Agista inginkan maka dia menempatkannya di nomor satu dalam daftar. Namun, bagi Brian bertemu mamanya sama saja membuka kembali luka lama.

Keduanya terdiam, membiarkan suara deburan ombak dan tawa orang-orang di sekitar masuk ke dalam pendengaran. Mereka kembali memandangi laut dan merasakan angin yang berembus.

"Aku nggak akan bertanya kenapa atau apa yang dokter bilang pada Kakak. Aku sangat bahagia karena bisa melakukan semua hal yang kuinginkan bersama Kakak." Agista memejamkan kedua mata, merasakan embusan angin menerpa permukaan wajahnya. "Andai Tuhan memanggilku sekarang, aku rela."

"Diam! Jangan bicara sembarangan. Malaikat bisa mencatat ucapanmu, tahu!"

Agista berdecak. "Mulai sekarang, Kakak harus mencari seorang istri. Siapa yang akan menemani Kak Brian kalau aku nggak ada?"

Brian terlihat kesal lantas kembali mencubit pipi adiknya itu. "Berhenti bicara macam-macam. Memangnya kamu mau ke mana sampai bilang nggak ada? Mau pergi ke mana pun, kamu harus minta ijin kakak."

"Kalau begini terus, Kakak bisa jadi bujang lapuk." Agista menjulurkan lidahnya.

"Sembarangan. Kamu lupa ya, ada istilah 'laki-laki panjang langkah'? Kakak bisa menikah kapan saja, asalkan banyak uang."

Mereka terkekeh, antara geli dan setuju. Semenjak tiga hari lalu sampai sekarang, baik Agista mau pun Brian, merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu sebagai kakak-adik normal. Agista dan Brian adalah saudara sebapak. Brian baru berusia lima tahun saat ayahnya menikahi ibu Agista. Dua tahun berselang, sang ibu melahirkan Agista. Meski riwayatnya begitu, Brian tetap menyayangi Agista sepenuh hatinya. Apalagi ketika ibunya harus mendekam di penjara dan membuat Brian menjadi satu-satunya keluarga yang dimiliki Agista.

"Kak, aku boleh tanya sesuatu, nggak?"

"Ya."

"Apa Kak Brian sudah memaafkan mama?" tanya Agista dengan suara kelewat pelan, tetapi Brian mampu mendengarnya dengan jelas.

Brian tidak suka dengan arah pembicaraan mereka ini. Terlebih seharusnya mereka bersenang-senang sebelum sore datang. Dulu, dia bisa tak mengacuhkan acap kali Agista membahas sang ibu. Pengecualian untuk hari ini, Brian tidak mau membuat kecewa adik kesayangannya.

"Nggak tahu." Pemuda itu mengangkat bahu. "Tiap kali bertemu mama, memori mengerikan itu seperti hadir di depan mata kakak."

Mama adalah gambaran sosok yang dirindukan Brian. Ibu kandungnya meninggal saat melahirkan dan membuat sang ayah membesarkannya sendirian. Brian yang masih belum mengerti apa-apa, mempunyai adik dan orang tua lengkap adalah anugerah. Semua berjalan normal, hingga di malam pergantian hari ulang tahunnya yang ketujuh belas, Brian mendapat mimpi aneh. Mama yang sangat disayanginya berubah menjadi orang asing. Brian asing saat merasakan tangan halus sang ibu mulai membelai wajahnya sampai mengusap perutnya. Berakhir dengan hal yang lebih mengerikan daripada kematian. Brian menganggap mimpinya hanya bunga tidur seperti orang kebanyakan. Namun, mimpinya menjadi kenyataan dua hari kemudian. Kasus pelecehan seksual itu membuat sang ibu harus menghabiskan belasan tahun di dalam penjara.

"Maaf, Gis."

Agista menggeleng. "Kakak harus hidup lebih baik. Maaf, aku hanya menjadi beban," ucapnya sambil menundukkan kepala.

Merasakan suasana berubah menjadi haru, Brian mengambil jalan aman dengan berucap, "Baru sadar, ya?" Kekehnya menyembul ke permukaan.

Agista melempar segenggam pasir ke arah Brian. "Dasar menyebalkan."

"Sudah, jangan merusak suasana. Hari ini kita harus bersenang-senang."

"Eh, Kak. Pernah nggak berpikir untuk menjadi orang lain kalau diberi kesempatan dilahirkan kembali?

Brian mengangkat satu alisnya. "Mana ada yang seperti itu," jawabnya setengah bersungut karena kalimat Agista terdengar konyol.

Mengingat fakta, adiknya itu suka membaca novel fiksi dan menghabiskan malam minggunya menonton drama Korea. Terkadang menjadikan daya khayalnya lebih tinggi.

"Aku kan, bilang 'kalau'. Ah, Kakak nggak asyik."

"Ok, ok. Memangnya kalau kamu mau jadi siapa?"

"Anjingnya Kai EXO." Agista tertawa kecil setelahnya. "Hidupnya enak, punya majikan tampan, kaya, terkenal, bisa dipeluk artis, nggak usah cuci darah─"

"Tapi sayang umurnya pendek," potong Brian.

Agista tertawa geli dan Brian tertular untuk melengkungkan senyuman.

"Setidaknya dia mati mungkin karena kekenyangan, bukan karena ginjalnya yang rusak."

Brian mendengus. "Kata siapa? Ginjal hewan juga bisa rusak, tahu!"

"Kalau Kakak mau jadi siapa?"

"Justin Bieber," smabar Brian cepat, "biar tahu rasanya pacaran sama Selena Gomez."

"Ah, ya sudah. Aku jadi adiknya Justin Bieber, deh."

Mereka pun tergelak karena topik pembicaraan konyol itu. Mengakhiri hari di musim panas terakhir menjadi lebih baik.

***

Dua hari kemudian Agista harus dibawa ke rumah sakit. Brian susah payah menyejajarkan langkahnya dengan ranjang sang adik yang didorong perawat dengan cepat. Dia menepuk pundak sang dokter yang sedang membaca hasil laboratorium milik adiknya.

"Bagaimana, Dok?"

Dokter berkaca mata itu tersenyum tipis. "Pak Brian, silakan tunggu di luar dulu."

Brian berdiri dengan cemas lantaran Agista yang masih tak sadarkan diri. Dia menatap pintu kaca Unit Perwatan Intensif yang diselimuti kain berwarna putih. Pemuda itu diserang deja vu. Semua yang terjadi dimulai dari menemukan Agista yang sudah pingsan di dalam kamar sampai adiknya dilarikan ke ICU sama persis dengan mimpinya.

Brian terduduk di lantai bersandar pada dinding. Dari semua mimpi yang menjadi kenyataan, dia berharap mimpinya tentang Agista adalah pengecualian. Brian hanya diberi kemampuan melihat masa depan lewat mimpi, tetapi tidak untuk merubah takdir. Maka itu, dia mengabulkan wishlist milik sang adik sebelum hari ini tiba.

Dokter tak kunjung menampakkan diri untuk menyilakan dirinya menjenguk Agista seperti biasa. Brian menunggu sampai pukul sebelas malam. Mondar-mandir di depan pintu sambil menggerutu. Sampai satu jam kemudian pintu itu terbuka dan sosok sang dokter muncul dari balik pintu. Pria berjas itu mngajak Brian untuk ikut ke ruangannya.

Agista harus cuci darah dua minggu sekali. Kondisi tubuhnya makin melemah dari hari sebelum mereka pergi ke pantai. Brian merasa bersalah karena mengabulkan semua keinginannya malah membuat kondisi fisiknya semakin lemah.

Dokter Edward mengatakan Agista harus dirawat inap dan meminta maaf karena Brian tidak diperbolehkan menjenguk sebab kondisinya yang tidak memungkinkan. Meski sudah lebih dulu tahu, tetap saja rasa sakitnya sama seperti baru terjadi. Brian hanya mengangguk menanggapi semua ucapan sang dokter. Pemuda itu tiba-tiba teringat pembicaraan konyolnya bersama Agista saat di pantai. Kalau begini, Brian ingin menjadi malaikat jika bisa dilahirkan kembali. Mungkin dengan begitu, bisa saja berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan meminta-Nya untuk mengangkat penyakit Agista.

***

"Kak."

"Hm."

"Kakak pasti begadang, ya?"

Brian mengalihkan pandangan pada Agista yang makin pucat. Brian ingin menangis melihat kondisi adiknya sekarang.

"Sedikit."

"Aku mau beri tahu sebuah rahasia. Kakak mau dengar?"

Brian mengangguk lantas Agista tersenyum tipis.

"Tapi janji satu hal dulu padaku." Ucapan itu dibalas ekspresi bingung lantas disusul anggukan singkat si pemuda. "Jangan lagi memendam masalah sendirian. Ceritakan pada sseseorang yang membuat Kakak nyaman."

Tidak mengerti makna dibalik kalimat itu, Brian tersenyum canggung. Agista yang paham kembali buka suara.

"Aku tahu Kakak bisa melihat masa depan."

Brian terkejut, sementara Agista tersenyum merasa ucapannya secara tak langsung dibenarkan.

"Hm, tahu begitu kita buka praktek di depan rumah. Hasilnya pasti lumayan."

Brian ikut tertawa bersama sang adik yang mencoba melucu agar suasana tidak terlalu haru.

"Kakak tidak bisa melihat masa depan dengan bola kristal."

"Lalu dengan apa?"

"Lewat mimpi."

"Berarti, Kakak juga memimpikan aku, ya?"

Kali ini Brian tidak bisa membalas tawa Agista, dia hanya menggigiti bibir dan menaruh satu tangan menutupi wajahnya untuk menahan tangis. Agista lekas menggenggam erat satu tangannya yang lain.

"Jangan menangis. Kakak kelihatan jelek kalau menangis."

Mendengar itu, malah membuat air mata Brian tumpah.

"Maaf." Ucapan Brian tertelan tepi selimut rumah sakit, sementara Agista mengusap lembut puncak kepala sang kakak.

"Hari ini aku ijinkan Kakak menangis sepuasnya." Agista memberi jeda karena air matanya tak bisa lagi dibendung. "Setelah itu, Kakak harus lebih banyak tertawa."

Mengetahui kebenaran sang Kakak melalui buku agenda yang bertranformasi menjadi buku harian itu membuat Agista tahu alasan keanehan sikap Brian belakangan. Dia melingkari tanggal 16 April yang jatuh tepat hari ini dengan tinta berwarna merah tanpa menuliskan kata-kata di dalamnya. Agista merasa kalau hari ini adalah waktunya.

"Tidak. Nanti Kakak disangka gila." Brian mencoba mencairkan suasana di selaa tangisnya. Kedua pipinya sudah basah oleh air mata.

Agista terlihat berusaha membuka matanya berkali-kali dan napasnya tak teratur. Merasa kesulitan, akhirnya dia menyerah dan memejamkan kedua matanya.

"Aku sayang Kakak."

Brian nyaris menjerit merasakan genggaman tangannya melemah, kemudian terlepas begitu saja.

"Tidurlah dengan tenang dan kamu tidak perlu merasakan sakit lagi."

-Fin-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro