Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dalam Kenangan

"Kupastikan akan ada aku dalam kenangan paling membahagiakan dalam hidupmu!"

Kalau ada yang bilang begitu di hadapan kalian langsung, kalian akan bagaimana? Senang? Terkejut? Terharu? Kalimat itu romantis, bukan? Memang. Shelen juga berpikiran sama. Kalau saja yang bilang begitu adalah orang lain, mungkin pipi tembem Shelen akan merona dan dia akan bertingkah malu-malu--sebuah gestur yang jujur jarang sekali Shelen lakukan.

Namun, kalau Arthur yang bilang begitu, ini justru jadi mimpi buruk bagi Shelen.

Pertemuan pertama dengan Arthur sebulan lalu di tahun ajaran baru benar-benar kacau. Padahal, melihat keceriaan Arthur yang bagaikan matahari, Shelen sudah siap-siap untuk menambah teman. Karena Shelen adalah penganut paham manusia adalah makhluk sosial. Jadi, setidak-enak apa pun perasaannya setiap bertemu orang, Shelen harus tahan.

Lagipula, Shelen sudah terbiasa, kok. Delapan belas tahun hidup dengan kekuatan ini, Shelen tentu sudah terbiasa.

Namun, saat Arthur baru berjalan melewatinya saja, keadaan Shelen langsung kacau. Tangan Shelen gemetaran, seluruh pandangannya langsung gelap. Shelen oleng dan terjatuh dari kursi, membuat Cherry--teman sebangkunya--memekik terkejut. Perut Shelen berasa diaduk-aduk kasar, detik berikutnya dia muntah tepat di depan kaki Arthur yang terkejut, sebelum jatuh pingsan dengan tidak elitnya.

Shelen punya penglihatan, tapi yang ini berbeda. Tentu semua orang punya penglihatan; mata. Hanya saja, istilah penglihatan di sini ditujukan untuk orang-orang dengan kemampuan spesial. Jika dengan mata biasa, kita langsung bisa melihat penampilan luar orang, dengan penglihatan, mereka justru akan melihat lebih. Bukan hanya melihat, mereka justru bisa ikut merasakan.

Ada berbagai macam hal yang bisa dilihat oleh orang yang punya penglihatan, dan sialnya, Shelen punya penglihatan melihat kenangan terburuk yang dialami orang lain.

Parahnya, penglihatan Shelen tidak terkendali. Dia tak hanya bisa melihat kenangan orang di hadapannya saja, tetapi orang-orang yang berjarak kurang dari satu meter akan ikut terlihat.

Dan Arthur, adalah orang yang punya kenangan terburuk yang paling buruk yang pernah Shelen temui.

Shelen mengembuskan napas, berdiri sendirian di hadapan jendela koridor yang sepi. Sekolah sudah berakhir sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Shelen!"

Shelen memutar bola matanya, menutup mulut secara refleks ketika seorang pemuda yang memakai kacamata kotak besar berjalan menghampirinya. Jangan lupakan senyum lebar yang terlihat imut itu.

"Shelen bilang sudah terbiasa." Melihat Arthur mengerucutkan bibir saat berhenti satu meter di depannya, Shelen ingin sekali melempar ranselnya ke muka Arthur.

Shelen melepaskan telapak tangannya. "Habis, kebiasaan." Dia mengendikkan bahu sambil kembali memutar badan ke arah jendela, yang menampakkan lapangan lari sekolah mereka.

Tatapannya melunak sedikit, ada ekspresi sendu saat ia menatap ke luar.

Saat bayangan akan memori Arthur mulai berkelebat, Shelen tahu pemuda itu sedang mendekat. Namun, satu bulan sudah cukup bagi Shelen untuk cukup terbiasa--setidaknya dia tidak akan muntah lagi.

"Shelen sedang melihat apa?"

Shelen tidak menjawab, matanya tidak lepas dari siswa-siswi anggota ekstrakurikuler lari yang sedang bersiap-siap melakukan latihan.

"Kulihat, Shelen suka sekali melihat mereka. Kenapa tidak bergabung saja?"

Aroma parfum maskulin langsung merebak ke hidung Shelen saat Arthur merendahkan kepalanya sedikit agar jadi sejajar. Shelen menoleh, membalas tatapan itu dengan tajam. Mata bulat Arthur yang selalu bersinar membuatnya sebal. Dia tidak tahu apa-apa.

"Bukan urusanmu." Shelen mendorong bahu Arthur, memalingkan wajah sedikit sambil mengelus perut menahan mual, sebelum berbalik dan meninggalkan Arthur dengan langkah lebar.

"Shelen! Tunggu!"

Jika Shelen bisa melihat kenangan terburuk, maka Arthur adalah kebalikannya. Dia melihat kenangan paling membahagiakan dalam hidup seseorang. Makanya pemuda itu cerianya minta ampun. Tiap bertemu orang, dia pasti selalu ikut merasa bahagia.

Shelen sebenarnya sangat heran dengan kenangan super buruk yang dia miliki.

"Kubilang tunggu dulu, Shelen!"

"Jangan sentuh aku!" Shelen menghentakkan tangannya yang ditangkap Arthur. Pemuda itu cuma bergumam minta maaf. Jujur saja, Shelen sendiri tidak enak dengan sikap pedasnya pada pemuda berambut pirang ini.

Arthur memperbaiki kacamatanya yang melorot. "Sebelum Shelen pulang, ayo mampir dulu di kafe. Kudengar, Shelen suka makanan manis." Senyum lebarnya seakan menyinari koridor yang mulai menggelap.

"Kau tidak cepat menyerah, ya."

"Tentu saja!"

Yang mengantarkan Shelen ke UKS di pertemuan pertama mereka adalah Arthur. Dia sama sekali tidak keberatan sepatunya kena muntahan Shelen. Justru, Arthur langsung tahu kalau Shelen punya penglihatan.

"Kenangan paling membahagiakan Shelen, sama sekali tidak terasa bahagia."

Itu yang Arthur bilang sambil mendekati ranjang Shelen, membuat Shelen sekali lagi terpaksa mengeluarkan isi perutnya.

Shelen tidak tahu persis apa momen paling bahagia yang dilihat Arthur. Apa saat dia berkumpul dengan anak-anak di panti asuhan karena kenangan mereka hanya sebatas terpeleset atau jatuh dari pohon? Atau sesuatu yang lain? Shelen sendiri tidak begitu ingat punya momen bahagia. Setiap bertemu orang, dia merasalan kepedihan atau kengerian.

"Shelen, kau tidak suka kuenya?" Arthur kelihatan cemas. Mereka berdua sudah duduk di kafe yang Arthur janjikan. Sejak deklarasi aneh Arthur di hari itu, Arthur selalu mengajak Shelen berjalan-jalan hampir setiap hari.

Katanya, mau membuat Shelen senang. Tapi di minggu pertama, Shelen selalu muntah saat berdekatan sedikit saja dengan Arthur.

"Shelen?"

Shelen menyendok kue tart cokelat mungil di piringnya. "Aku suka, kok."

"Yee! Kau kalah!"

"Hukumannya minum susu sampai habis sekali teguk!"

Baik Shelen maupun Arthur sama-sama terkejut saat meja di belakang Shelen tiba-tiba berteriak heboh. Sepertinya anak SMP yang bermain permainan hukuman.

"Ayo minum!"

Seorang gadis berkepang dua yang sepertinya jadi orang tersial di permainan itu kelihatan ragu. Tangannya tampak gemetaran saat menggapai gelas susu. Duduknya tepat sekali di belakang punggung Shelen.

Sekelebat memori mulai merayap, tentang seseorang yang tidak sengaja meminum susu basi hingga muntah-muntah dan masuk rumah sakit.

Cuma ini? Hidupmu sangat menyenangkan, bocah.

"Hei!"

Tangan Shelen seolah bergerak sendiri, dia merampas gelas susu itu dan langsung meminumnya sampai tandas. Shelen mengelap bibir dengan lengan baju sebelum langsung meletakkan kembali gelas ke atas meja.

"Maaf, aku penggemar susu nomor satu." Setelah bilang begitu, Shelen langsung melenggang pergi. Tak ketinggalan ranselnya dia gaet dan meninggalkan segerombolan anak SMP dan Arthur yang menganga.

"Hoeeeeek!"

"Shelen baik-baik saja?"

Shelen mengabaikan ketukan pintu bilik toilet umum dan tetap mengeluarkan isi perutnya.

Dia sama sekali tidak benci susu, tetapi meminum susu dengan kenangan buruk bocah SMP tadi terbayang dengan sangat nyata, ditambah Arthur yang langsung mengejarnya membuat Shelen tidak bisa menahan gejolak perut lebih lama lagi.

Sebotol minuman nyaris menabrak wajah Shelen saat dia baru saja keluar dari toilet umum.

"Untukmu." Arthur tersenyum--agak meringis.

"Terima kasih."

Shelen menerima botol itu dan langsung minum. Mereka kemudian beristirahat di bangku terdekat. Tak ada suara selama beberapa menit, keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Shelen tadi menolong anak itu, 'kan?" Arthur akhirnya buka suara.

"Bukan," Shelen mendengkus,"aku hanya malas merasakan memori buruknya."

Arthur terkekeh membuat Shelen melotot tajam. "Meskipun ucapan Shelen suka kasar, aku tahu Shelen sebenarnya baik." Shelen hanya memutar bola mata kesal. "Tindakan Shelen juga selalu hati-hati, Shelen tidak mau membuat orang teringat dengan kenangan buruknya."

"Aku tidak sebaik itu."

"Iya, Shelen sebaik itu."

Baru kali ini Arthur menatap Shelen dengan ekspresi serius begini. Biasanya, Arthur akan tersenyum lebar seperti orang bodoh. Sekarang Arthur benar-benar kelihatan serius.

"Kekuatanku membuat aku selalu ikut merasa bahagia ketika di dekat orang. Bahkan aku tak sempat untuk memahami maksud orang lain. Aku tak tahu mana yang jahat dan mana yang baik. Semuanya terasa menyenangkan."

Kenangan terburuk Arthur adalah menyaksikan kedua orang tuanya dimutilasi hidup-hidup saat perampokan sadis di rumah neneknya ketika Arthur berusia sebelas tahun. Arthur bersembunyi di dalam lemari, terlalu syok untuk berkata apa-apa. Suara orang tua yang meminta tolong, darah yang terciprat ke mana-mana, bau anyir yang tajam, suara kapak yang mencincang. Semua terekam jelas dalam memori Arthur. Rasa takut bukan main, sedih, tak berdaya, sengsara. Berpadu menjadi sebuah memori paling buruk.

Shelen jadi memaksa dirinya menonton film yang penuh dengan adegan darah dan pembunuhan sadis selama sebulan belakangan supaya dia terbiasa setiap bertemu dengan Arthur.

"Shelen hebat sekali, bisa tegar dengan semuanya, lalu masih pula sempat berbuat baik."

"Tapi, kau selalu bisa membuat orang-orang senang dengan hanya berada di dekatmu." Shelen tak menyangka dia mencoba menghibur Arthur. "Dan untuk orang dengan trauma semacam itu, kau hebat sekali bisa bangkit."

"Kurasa aku makin menyukai Shelen." Arthur mengerling membuat Shelen benar-benar melempar ransel ke wajahnya. "Sakit!"

"Siapa suruh bercanda saat orang sedang serius!" Shelen jadi menyesal karena bersimpati dengan Arthur barusan. Dia langsung berdiri, hendak pergi dari sana. Namun, tangannya ditahan.

"Satu bulan. Hari ini aku yakin kenangan paling membahagiakan Shelen akan berubah."

"Huh?"

Awalnya, Shelen kira Arthur akan membawanya ke tempat seperti bioskop, kebun binatang, taman bermain, atau tempat-tempat yang katanya bisa menjadi sumber kebahagiaan orang-orang. Tapi, Shelen salah total.

Shelen nyaris kehilangan kata-kata saat mereka sampai di sebuah stadion olahraga dengan jalur lari sprint yang panjang.

Shelen tentu ingat tempat ini. Dulu sekali, lokasi ini adalah tempat favorit Shelen dulu.

"Aku tidak tahu apa yang membuat Shelen berhenti berlari, dan kenapa kenangan Shelen tentang itu bisa berganti. Namun, foto ini cukup menjadi bukti kalau sebenarnya Shelen sangat suka berlari."

Sebuah foto seorang anak perempuan yang tersenyum lebar sambil memamerkan sebuah medali perunggu ke arah kamera, Arthur sodorkan pada Shelen.

"Darimana kau--"

"Jatuh sebulan yang lalu saat aku menggendongmu ke UKS. Maaf, aku tidak langsung mengembalikannya."

Shelen merampas foto itu, matanya mulai berair.

Kenangan tentang berlari yang sudah susah payah Shelen kubur, kini kembali ke permukaan. Menyerangnya bertubi-tubi, hingga air mata tak bisa berhenti keluar.

Shelen dulunya adalah atlet lari, tetapi lututnya cedera tiga tahun yang lalu, membuatnya harus mengubur mimpi menjadi seorang profesional. Dia mencoba mengalihkan pikiran, membenci olahraga lari sebisa mungkin. Namun, Shelen tahu ia tidak bisa.

Berlari adalah hal yang ia cintai. Dengan berlari, rasanya ia bisa bebas. Shelen serasa bisa lari menjauh dari semua kenangan buruk orang-orang. Saat berlari, Shelen tidak merasakan kenangan menyakitkan apa pun. Dia merasa bebas.

"Foto itu tidak asing. Saat Shelen masih pingsan, aku jadi ingat. Tujuh tahun yang lalu, saat aku masih begitu terpukul dengan kematian orang tuaku, Paman mengajakku ke turnamen olahraga antarkota. Di sana, aku bertemu seorang gadis seusiaku yang menunjukkan kenangan paling bahagia yang pernah kurasakan. Padahal dia tidak meraih juara pertama." Arthur mengusap air mata Shelen dengan jempol. "Kenangan itu membuatku bangkit, dan aku berniat untuk tak lagi bersedih."

Shelen kali ini tidak menepis tangan Arthur.

"Dan orang itu adalah Shelen. Shelen adalah pahlawanku. Oleh karena itu, aku ingin menjadi pahlawan untuk Shelen juga." Senyum lembut itu terukir lagi.

Shelen tertawa kecil. "Kau ini memang bodoh, ya?"

"Apa?"

Makin terkekeh, Shelen tiba-tiba mengambil kacamata Arthur sebelum berlari kencang. "Coba tangkap aku kalau bisa!"

"Hei! Curang!"

Sore itu, menjelang matahari terbenam, dua sejoli sibuk bermain kejar-kejaran. Shelen tertawa lepas. Suatu hal yang amat jarang ia lakukan. Rasa bebas ini, betapa Shelen merindukan rasa bebas ini.

"Kena kau!"

"Tidak!"

Hampir saja Shelen dan Arthur jatuh sampai berguling-guling, keduanya tertawa lepas saat akhirnya terjatuh ke tanah tanpa terluka. Shelen melirik Arthur, tak menyangka kenangan buruk Arthur bagai tersapu oleh gelak tawa keduanya.

"Berhasil!"

Mata bulat Shelen melebar saat Arthur tiba-tiba memeluknya.

"Ada aku! Ada aku di kenanganmu!"

Wajah Shelen memerah, sontak dia langsung mendorong tubuh Arthur keras dan langsung berdiri.

"Shelen? Aku salah apa lagi?"

"Pikirkan sendiri, Bodoh!"

Sepertinya, Shelen akan menunda ucapan terima kasihnya dulu.

Kau bilang aku pahlawanmu? Bukan, kaulah yang pahlawanku sekarang, Arthur.

"Shelen!"

"Aku mau pulang!"

Mulai hari ini, sepertinya hari-hari Shelen akan jadi berbeda. Tentu saja, ada pahlawan di sampingnya.

-Fin-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro