Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Adwaya Badi

Bentuknya seperti mawar; berwarna putih di jajaran mahkota luar, tetapi hitam pada kelopak terdalam; tangkainya sebening kaca dan memancarkan cahaya kehijauan bila disentuh; apabila angin berembus bukan semerbak yang terhirup, melainkan amis pekat yang tercium, tetapi hampir semua mencari.

Untuk mereka yang menyangka Tuhan tidak lagi berpihak, ke lereng gunung barat-lah mereka memanjat hajat. Ditemani sebatang lilin merah, wadah berbahan tembikar untuk bakar kemenyan, dan secarik kertas berisi jampi, mereka berdiam diri setelah meyakini tempat di mana Ki Agung Barat bertapa; meleburkan diri dalam moksa. Di bawah purnama, mereka tidak tahu kalau sudah ada satu yang diawasi dari dulu. Satu yang diizinkan mengambil Adwaya Badi. Setangkai yang dipercaya bagian dari Ki Agung Barat. Setangkai yang mampu menjangkau keinginan apa pun.

***

Seperti malam tahun lalu, rombongan wayang Ki Abdi Daluman mampir di pelataran kantor wali kota. Sudah banyak orang berpangkat yang mengisi bangku empuk di barisan depan. Pun warga yang ingin melihat pagelaran, dari magrib rela berdiri di belakang barisan bangku. Wayang Ki Abdi Daluman memang dikenal humoris dan sarat akan kisah masa silam. Namun, yang membuat warga dan para pejabat desa punya semangat tinggi menonton adalah salah satu pesinden yang dimiliki Ki Abdi Daluman. Seorang pesinden yang tersohor karena pesonanya.

Sri bersimpuh di sebelah Ningrum. Menyentuh hati-hati kepalanya. Tidak seperti tiga pesinden lain, Sri merias dahinya dengan gajahan, pengapit, penitis, bahkan godheg (lekukan yang menyerupai cambang). Dia juga menambahkan cithak kecil berbentuk belah ketupat yang ditempelkan tepat di tengah dahi. Rambut sepinggangnya yang disanggul bokor mengkurep dan ditutupi rajutan melati, ditancapkan lima cundhuk mentul. Sekilas, Sri tampak seperti pengantin. Semakin ditatap, Sri membuat semua pria di sana berlomba-lomba dalam hati untuk mengucap ijab kabul.

Sri mengibaskan kipas lipatnya dengan gerakan yang lambat. Mata bulatnya tidak berhenti menyisir wajah-wajah yang terpana. Diiringi gamelan yang mulai dimainkan, bibir tebal Sri terbuka sedikit, lalu tersenyum. Riuh penonton barisan depan menyambut secuplik daya tariknya. Dan ketika mikrofon menyalurkan suaranya, tidak ada yang protes kecuali Ningrum yang langsung menimpali suara Sri agar nada tinggi tidak terdengar sember.

Ningrum—sambil membantu nada tinggi Sri—masih terus menggali pikiran; mencari kesimpulan yang bisa dibeberkan untuk membongkar ilmu yang dipakai Sri. Sri memang tidak berubah menjadi cantik. Muka temannya itu masih bopeng walau sudah ditempel bedak dan riasan wajah yang lain. Kulit Sripun masih hitam dan berkeriput di sekitar luka bekas gigitan nyamuk. Lalu, bau amis bercampur harum melati. Aroma ini yang membuat dia semakin yakin Sri pergi ke orang pintar. Bagaimana bisa badan berbau aneh itu dipeluk dan dipuja? Bahkan Risma—teman pesinden sekaligus rekannya yang selalu menjauhi Sri—sekarang menempel bak dayang. Risma bahkan tidak jijik mencium punggung tangan Sri.

Sri melirik Ningrum sekilas. Senyumnya semakin lebar mendapati tatap tajam Ningrum. Sedari kecil hingga dua bulan lalu, banyak yang mencemooh. Tidak ada yang mau mendekat, apalagi menanggapi omongannya. Hanya Ki Abdi yang mempersilakan untuk mengamati dan mengikuti latihan para pesinden. Meski belum memiliki kemampuan mumpuni, dia bisa mendapatkan profesi yang diharapkan; berada di rombongan Ki Abdi Daluman. Satu-dua inginnya sudah tercapai, termasuk membiarkan Ningrum menghimpun jengkel.

Sri, Ningrum, dan Risma kompak menghentikan nyanyian. Membiarkan kelompok nayaga memainkan instrumen gamelan; mengiringi Ki Abdi Daluman menyampaikan kisah. Sritanpa malu menyengir, membiarkan gigi taringnya yang sudah tanggal terekspos. Bapak wali kota yang duduk di barisan terdepan langsung mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. Sri hanya tersipu sambil menutup mulut dengan kipas.

Ningrum berdecih, dalam hati mengumpat. Seminggu lalu Sapardi—pamannya—ngotot melamar Sri, yang buat heran bibinya setuju saja. Dua hari kemudian, Tejo—mantan pacarnya—yang baru kembali dari Jakarta langsung membentuk perkumpulan pelindung Sri. Dan sekarang, si wali kota yang sudah berkepala botak itu terus menatap Sri, seolah Sri adalah bidadari yang wajib dibawa pulang. Entah sajen apa yang dipakai Sri.

***

"Kamu, tuh, seharusnya bersyukur masih bisa nyinden di sini. Kalau bukan karena Sri yang mohon ke Ki Abdi, sudah dari dulu kita didepak, Rum."

Ningrum mendengkus. Selalu seperti ini. Namun, mengingat kejadian semalam hatinya kembali sesak. Dulu, Sri yang memijat tubuhnya dan Risma, tetapi sekarang Risma yang memijat Sri. Tidak hanya itu, Risma juga mencuci baju Sri dan pagi ini berkutat di dapur karena Sri. Melihat sahabat baiknya seperti itu, dorongan untuk memberi pelajaran kepada Sri semakin kuat. Dia sadar tentang posisi Sri yang sedang di atas. Dan dia tidak sabar mengembalikan tempat Sri yang berada di bawah.

Ningrum beranjak dari kursi panjang rotan di seberang kompor ke samping Risma yang tengah mengaduk teh. Dia tahu siapa pemilik mug dengan corak bunga melati itu. "Ris, ini bukan cuma masalah nyinden. Tapi, pernah ndak kamu berpikir sedikit saja, kalau si Sri itu sudah memperbudak kamu." Dia menggenggam kuat pergelangan tangan Risma. "Apa perlu kamu aku bawa ke Mbah Sarmi buat disembur? Biar guna-guna si Sri hilang!"

Risma tampak tidak senang. Tangan Ningrum yang masih mencekal pergelangannya, ditepis dengan kuat. Tidak mengindahkan Ningrum yang meringis, dia mengangkat mug. "Kamu yang mesti disembur, Rum. Wong orang baik, kok, terus dicela. Aku mau antar ini dulu. Sri pasti lagi nunggu."

"Tehnya taruh di sana saja, Ris."

Risma dan Ningrum menoleh kompak ke pintu dapur. Sri dengan dandanan seperti sedang menyinden berdiri di dekat pintu, lengkap dengan senyuman.Sri bergerak. Suaraklotakkelom yang dipakainya membuat jarak mereka semakin dekat. Risma masih menatapnya penuh kekaguman, sementara Ningrum membuang muka. Biar begitu, dia tetap lebih menyukai ekspresi Ningrum. Pancaran air muka dari orang yang masih waras.

"Ris, kebayaku masih tergeletak di kamar." Sri mengambil mug yang masih dipegang Risma, meletakkan lagi di meja. "Sekalian ganti seprainya."

Risma mengangguk patuh dan langsung melakukan apa yang dititahkan Sri.

Lagi-lagi Ningrum mendengkus hebat. Lalu dengan cepat menutup hidung. "Sudah mandi kamu, Sri?" Dia mundur. Aroma amis yang dibawa Sri memang lebih pekat di pagi, siang, dan sore. Hal itu pasti karena jampi Sri kurang berguna ketika matahari masih ada.

"Rum, Rum ...." Bukannya menjauh, Sri malah mendekati Ningrum. "Gimana rasanya ndak ada yang dengar? Kamu pernah bilang, aku ndak bakal jadi pesinden. Ndak bakal ada yang deketin, apalagi jadi bos. Kalau aku mau, kamu bisa aku jadikan kacung."

Telunjuk Ningrum langsung mengarah ke cithak di kening Sri. "Kamu lihat nanti. Aku bakal ungkap dukun kamu! Kamu yang bakal jadi kacung! Dasar burik! Setiap hari pakai baju pengantin. Kalau burik akan tetap burik!" Dia berbalik, tetapi lengannya ditahan Sri. Tubuh mereka kembali berhadapan.

"Kamu pernah dengar soal Adwaya Badi?"

Perasaan Ningrum menjadi tidak enak. Tangannya mulai digerakkan, mencoba lepas dari pegangan Sri.

"Ndak perlu sentuh atau lihat wajah." Sri semakin mendekatkan wajah ke Ningrum. Jantungnya bergemuruh. Padahal setiap kekesalan dan kecemburuan Ningrum mampu menghiburnya. Namun, sudah cukup sampai hari ini. Persetan dengan desas-desus Ki Abdi Daluman yang ingin mempersunting Ningrum. Ningrum bahkan lebih buruk dari koreng yang masih muncul di betisnya. "Cukup mengatakan, wahai Adwaya Badi dalam darahku, buatlah Ningrum Hastuti mengikuti semua perintahku."

Aroma amis yang terhirup semakin kuat, hingga Ningrum nyaris memuntahkan sarapannya. Selain itu, matanya merasakan panas dan gatal. Otot-ototnya menjadi kejang dan kaku. Dia ingin berteriak, tetapi beberapa detik kemudian justru senyum yang terpampang. Ekspresinya tidak lagi bermusuhan ketika menatap Sri.

Sri melepaskan genggamannya dan beralih mengelus untaian melati di bahu kiri. "Ningrum."

"Inggih, Sri." Suara Ningrum jauh lebih halus dan pelan, membuat Sri terkekeh singkat.

Sri memegang kedua bahu Ningrum. Ditatapnya sepasang iris kecokelatan itu. "Kamu pergi ke lereng barat. Naik terus dan jatuhkan diri kamu di jurang. Paham?"

Ningrum mengangguk. "Dengan senang hati akan aku lakukan buat kamu, Sri. Kamu tunggu di sini, yah. Ah, boleh cium tangan kamu?"

Sri mengulurkan tangannya. Setelah dicium bolak-balik, dia melihat keceriaan Ningrum yang melambaikan tangan.Ini pertama kali Sri memengaruhi orang bertindak sejauh itu. Namun, Ningrum dan orang-orang yang selalu mengajak untuk menjatuhkan orang lain memang harus dibasmi. Mereka perusak yang menggerogoti langsung ke hati. Jadi, Sri tidak akan menyesal. Ningrum pantas mendapatkan perintah itu.

"Ndhuk."

Sri tersentak dan langsung menghampiri Ki Abdi. Tidak dapat memprediksi sejak kapan sosok yang sudah dia anggap sebagai orang tua kandung ini duduk di sisi paling ujung kursi rotan.

Jika tadi Sri merasa tidak perlu khawatir, sekarang hawa tidak enak langsung meremangkan bulu kuduknya. Bagaimana jika Ki Abdi mendengar semua yang dia perintahkan pada Ningrum? Bagaimanapun juga, malam itu Ki Abdi yang menuntun jalannya untuk membakar kemenyan dan berkonsentrasi membaca jampi. Dan ada perjanjian di antara mereka setelah itu.

"Ndhuk." Suara serak dan berat Ki Abdi kembali terdengar. Sri sudah duduk di sebelahnya dengan kepala yang menunduk.

"Inggih, Romo."

"Sudah berapa lama panjenengan ikut saya?"

Sri mencuri pandang sekilas ke wajah Ki Abdi. Walau sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, Ki Abdi masih memiliki kulit yang kencang serta tubuh yang tegap. Perawakannya inilah yang membuat semua orang yang mengenalnya, termasuk Sri, tidak hanya segan, tetapi juga terpukau.

"Saya hanya yatim piatu yang setiap hari numpang makan di sini. Jadi sudah sangat lama, Romo." Kedua tangan Sri tidak berhenti saling meremas. Di satu sisi, sensasi membayangkan tubuh kurus Ningrum yang terjun bebas masih memaksa senyumnya tetap utuh. Di sisi lain, terasa sangat menjepit, membuat susah bernapas.

Ki Abdi mengangguk. "Dan hanya kamu yang boleh panggil saya Romo. Ndhuk, kita tahu apa yang sudah kamu alami sedari kecil. Dan sampai sekarang pun, romo-mu ini tidak menyesal sudah menurunkan hal yang hanya muncul sekali dalam seabad. Bahkan romo-mu ini rela mengalah." Ki Abdi menepuk-nepuk kepalan tangan Sri. Mengembuskan napas berat dan kembali menatap cecak yang diam di dekat jam dinding.

"Maaf, Romo." Sri yakin Ki Abdi pasti memergoki ucapannya ke Ningrum.

"Sekali ini saja, Ndhuk." Ki Abdi mengangkat dagu Sri dan tatapan mereka bertemu. "Sekali ini saja. Ingat, apa yang menjadi dasar kamu memakan Adwaya Badi."

"Bukan untuk menjadi cantik, tapi untuk keadilan."

Ki Abdi mengangguk dan berdiri. Namun, sebelum tubuhnya berbalik, Sri memegang pundaknya. "Wahai Adwaya Badi dalam darahku, buatlah Abdi Daluman tunduk dan patuh kepadaku."

Sri memang pernah berikrar bahkan sebelum Ki Abdi Daluman mengajaknya ke lereng gunung barat, bahwa hanya lelaki itu yang tidak akan dia jadikan sasaran atas kehebatan Adwaya Badi. Namun, Sri tidak ingin hidup dalam pengekangan lagi. Dia senang pada vonis untuk Ningrum. Dan dia tahu, di luar sana masih banyak Ningrum yang lain. Jadi, hal pertama yang harus dia lakukan adalah mematikan sakelar pengingat, agar jalannya lancar.

"Romo mau teh?"

Ki Abdi Daluman tampak sedikit linglung. "Jangan pakai gula," sahutnya.

Sri tersenyum, beranjak, dan menyiapkan teh.

"Kenapa kamu pakai baju pengantin, Ndhuk?"

Senyum Sri semakin lebar. "Biar seperti ratu, Romo." Dia berbalik dan menantang sorot Ki Abdi Daluman yang menatapnya dengan kagum. "Buat menghakimi orang-orang yang sudah menindas saya."

Ki Abdi Daluman mengangguk semangat. "Bagus, Ndhuk."

-Fin-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro