Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sektor Gabungan - Hari Keenam

[Nala: Boiwhodreams_]

Aku masih ragu.

Sangat ragu.

Melihat beberapa orang meminumnya dan yang keluar adalah reaksi yang berbeda-beda, aku semakin tidak yakin apakah cairan ini harus kukonsumsi, setidaknya sekarang.

"Aku akan meminumnya nanti." Keputusanku sudah bulat. "Mari kita berkeliling dulu, atau kalau kalian mau meminumnya? Ya sudahlah, tanggung sendiri," lanjutku sambil lalu.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Mada sedsri tadi diam. Ia memandang vial itu di tangannya. Minuman apa lagi ini?

Ah ... ia tak peduli, toh sudah siap mati jika itu racun. Mada membuka vial itu dan meminum habis isinya.

Glek.

### 

[Rin: rafpieces]

Mata Rin membulat. _Kai sialan!_ Kenapa akhirnya dia minum juga? Bagaimana kalau itu racun? Dengan cepat gadis itu memeriksa keadaan Kai.

"Kenapa kau mengambil risiko?!"

### 

[Kailani: amelaerliana]

Kai merasakan kepalanya seperti diperas. Kenangan demi kenangan terus melesak masuk, seperti menonton sebuah film tentang kisah hidupnya dengan sangat cepat.

Kini, dia ingat namanya adalah Ken, bukan Kai. Kai adalah nama pemuda yang dia bunuh.

Kini, dia ingat bahwa sebelum masuk ke tempat ini, dia bekerja sebagai penjaga toko barang bekas.

Kini, dia ingat bahwa dia dengan sukarela masuk ke tempat ini demi sebuah eksperimen yang masih belum jelas, bukan diculik.

Kini, dia juga ingat pada Blanca, gadis yang sempat beberapa kali dia dengar suaranya di saat-saat genting.

Selain mual dan pusing, dia tidak merasakan efek samping lain. Sepertinya, cairan itu berfungsi untuk mengembalikan ingatan mereka.

"Sejak awal, kita sudah mengambil risiko, Rin." Kai tertawa hambar. "Izinkan aku duduk dulu, terlalu banyak informasi yang masuk ke otakku."

"Apa kau mengalami hal yang sama Weiss dan Nona Rambut Cokelat?"

### 

[Weiss: Graizonuru]

"...berarti reaksinya memang sama ya?" Hanya itu komentar Weiss masih mencoba mencerna ingatannya.

Teringat sosok gadis pirang kaku yang selalu penasaran padanya. Salah satu pasiennya. Yang salah dia tangani. Bukannya membaik, gadis itu berakhir jadi mesin pembunuh ditangannya.

Dan tak pernah mengingatnya lagi. Sampai akhirnya dia menghilang. Weiss mencarinya hingga kehilangan arah. Pencarian itulah yang membuatnya berakhir disini.

Sayangnya sepertinya dia takkan menemukan apa yang ia cari ditempat ini. Yang ada dia mengalami situasi yang sedikit mirip dengan situasi ketika ia salah menangani pasiennya.

Ironis

"Aku tak tahu apa aku senang atau sedih sekarang dengan hasilnya" katanya angkat bahu.

Bagaimana tidak, dia bersyukur dia bisa kembali mengingat tujuannya, namun sedih karena ingatannya bukan ingatan yang menyenangkan.

###

[Rin: rafpieces]

Apa maksud Kai? Dari awal mereka sudah mengambil risiko? Dia tahu sesuatu ... atau sudah _ingat_ sesuatu?

Weiss juga sama. Apa yang mereka maksudkan?

"Katakan, apa yang kalian rasakan? Apa yang dibuat cairan itu pada kalian? Kai! Weiss!"

###

[Kailani: amelaerliana]

"Cairan itu membuatku ingat semuanya, Rin. Aku sendiri yang memilih masuk ke tempat ini, demi uang, bukan diculik seperti dugaan kita sebelumnya." Kai terdengar getir. Ah iya, namanya bukan Kai, tetapi biarlah tetap begitu. Supaya setiap kali seseorang memanggilnya, dia akan teringat pada kesalahannya di masa lalu.

###

[Mada: PatriciaAnggi]

Selama beberapa menit, tak ada reaksi dalam tubuh Mada. Tak ada sesak napas, batuk darah, atau muntah seperti yang ia bayangkan.

5 menit ....

Tubuh Mada mulai terasa panas. Seperti ada sesuatu dalam tubuhnya. Aliran darahnya seakan menjadi lebih cepat. Jantungnya berdebar-debar. Ia yang tadinya mengantuk, tak lagi merasakan kantuk. Pandangan matanya menjadi lebih jelas, bahkan ketika melihat lukisan atau pohon bidara di seberang sana yang tak lagi mengabur.

10 menit ....

Ia merasakan energi luar biasa dari tubuhnya. Ia tak merasakan lelah lagi, luka akibat serangan Chimaera di lengannya bahkan tidak terasa perih. Ia juga tak merasa kedinginan lagi.

"Kurasa, aku merasakan sesuatu di tubuhku. Aku seperti bangkit kembali. Badanku jauh lebih bertenaga sekarang."

###

[Rin: rafpieces]

"Kai ...."

Rin mengerti sekarang. Cairan itu memiliki efek untuk membangkitkan ingatan. Mungkin Weiss juga sama, mengingat raut wajahnya yang berubah seperti seseorang yang mengingat masa lalu yang kelam.

Di sisi lain, si gadis berambut cokelat sepertinya mendapat kekuatan baru. Seperti terlahir kembali.

Rin menatap vial yang ada di tangannya. Apa ia juga harus meminum cairan tersebut? Bagaimana kalau itu racun? Efek yang mereka rasakan bisa berbeda-beda. Haruskah—

Ia tidak ingin mengambil risiko. Tidak ada yang tahu ia akan mendapat apa setelah minum.

Digenggamnya vial itu lantas melihat ke arah pintu yang sedari tadi telah muncul. Pintu baru yang akan menuntun mereka ke tempat entah apa.

### 

[Kadensa: frixasga]

Kadensa sekedar menyaksikan mereka yang akhirnya memutuskan menenggak cairan yang tidak jelas efeknya. Mereka yang meminum tampak baik-baik saja, tidak ada masalah berarti.

Riuh-rendah terhenti sesaat pintu batu terbuka dan kubah tempat mereka berada kini semakin menggelap.

Hanya ada lorong dengan jalan yang tampak lurus di balik pintu. Apa mereka tidak punya pilihan selain mengikuti arus?

###

[Rin: rafpieces]

Gemuruh terdengar dari arah pintu batu yang sedari tadi tertutup. Diiringi cahaya di tempat tersebut yang kian memudar, pintu itu akhirnya terbuka!

Tidak punya pilihan lain, akhirnya Rin memutuskan maju.

"Ayo," katanya pada siapa pun yang mendengarnya.

Pintu itu mengarahkan mereka pada lorong panjang dengan penerangan dari obor.

Haruskah ia melangkah? Tidak ada pilihan lain sepertinya. Baru saja kaki kanannya menjejak, sebuah anak panah mengarah padanya.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Suara bergemuruh terdengar, di seberang sana, pintu batu terbuka, lalu tempat mereka saat ini kian menggelap.

Mada bisa melihat ada sebuah lorong di balik pintu itu. *Sebuah pintu lagi*

Mada maju mengikuti Rin. Ada obor di kanan kiri lorong itu. Rin memutuskan untuk maju duluan, tapi ... sebuah anak panah mengarah padanya.

"What?! Neraka lagi?"

###

[Kailani: amelaerliana]

Kai berjalan di sisi Rin, matanya awas menelisik setiap sudut ruangan baru yang mereka masuki. Tiba-tiba saja, terdengar desing keras, membuat Kai refleks melompat ke depan.

"Awas, Rin!" teriak Kai sambil menubruk tubuh gadis itu.

Sayang, Kai terlambat beberapa detik. Anak panah itu memelesat, menembus pundaknya dan menggores Rin. Dengan seketika, kemeja yang Kai kenakan basah oleh darah.

### 

[Weiss: Graizonuru]

"Pintu lagi?"

Weiss meneguk ludah melihat pintu terbuka yang tampak suram. Hanya ada obor sebagai penerangan. Biasanya setelah ini pasti ada yang aneh-aneh.

Melihat orang lain masuk satu persatu akhirnya dengan ragu ia pun masuk dengan kuali dia genggam erat.

Baru masuk beberapa langkah tiba-tiba di sampingnya ribut. Terdengar bunyi panah melesat di kiri kanannya.

Namun baru dia mencoba menangkis salah satu panah dengan kuali, dari arah berlawanan sebuah panah menembus perutnya dari punggung. Panah yang barusan dihindari gadis berambut coklat di belakangnya.

Mengawhy selalu dia kena duluan, dammit.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Hampir saja Mada terkena panah, ia merasa respon tubuhnya benar-benar di luar dugaan. Ia bisa menghindar dengan gerakan cepat.

Apakah ini efek vial itu? Kalau itu benar, beruntung sekali aku.

Ia tersenyum, selain energi, ternyata ia juga mendapat kemampuan lain.

###

[Kadensa: frixasga]

Panah datang, entah dari sisi dinding atau menghujam.

Niat Kadensa yang ingin berjalan santai sedikit terinterupsi oleh orang-orang yang berjalan tidak teratur.

Tuan Lembut terkena satu anak panah, melindungi si Nona Galak.

Tukang Masak yang menggunakan tameng kuali tidak selamat.

Sementara, Mada dengan mudah melewati panah dengan kondisi tubuh yang prima.

Kadensa mencoba sedikit merunduk, panah pertama lewat di atas ubun-ubunnya.

"Oh, wow." selamat.

Tapi, ujung lorong masih belum terlihat. Berapa banyak panah lagi yang akan memberondonginya?

###

[Rin: rafpieces]

"Kai!" pekik Rin. Sebuah anak panah menembus pundak pemuda itu. Darah membanjiri kemejanya. "Jangan mati .... Jangan mati .... Kau tidak boleh mati!"

Rin melangkah maju sambil memapah Kai. Di belakangnya, Weiss telah terkena serangan di perut. Orang itu mendapat luka yang dalam.

Di sisi lain, Kadensa dan gadis rambut cokelat berhasil menghindar. Mereka harus cepat ke sisi lorong agar bisa selamat.

Di tengah hujan panah, Rin sesekali dapat menghindar dengan menangkis menggunakan kotak P3K, tetapi satu panah memelesat ke arah Kai. Gadis itu refleks melindungi Kai dengan tubuhnya, membuat luka gores di pundaknya. Tidak dalam, tetapi cukup untuk membuatnya meringis perih.

"Kita akan keluar dari sini bersama-sama ...."

###

[Mada: PatriciaAnggi]

Suara mengaduh dan mengerang terdengar. Rupanya banyak yang kena. Mada melihat Weiss, Rin, dan Kai terkena panah.

Kadensa sepertinya baik-baik saja. Bagaimanna Nala?

### 

[Nala: Boiwhodreams_]

Kulihat, memang tidak ada efek yang diterima saat meminum cairan di dalam vial. Namun, yang tidak terlihat belum tentu "tidak ada".

Sekarang, lupakan tentang vial tersebut, aku marah sekali karena kami diarahkan ke pintu batu lain dan kami sepertinya harus jalan lurus sampai ke ujung koridor. Masalahnya hanya satu, si anak panah yang keluar dengan interval acak.

"Ck! Merepotkan."

Aku pun mau tak mau, maju.

"Akh!"

Sial sial sial! Bagaimana cara agar lolos anak panah? Tidak ada! Darah mengucur di beberapa tempat anak panah yang menancap di tubuhku. Aku masih berlari pelan sambil melepas paksa anak-anak panah yang tertancap.

Persetan! (Tunggu, kata apa itu?) Aku harus hidup!

###

[Mada: PatriciaAnggi]

"Nala!"

Mada melihat Nala terkena anak panah.

"Kau bisa berjalan?"

###

[Nala: Boiwhodreams_]

"Masih!" teriakku ke Kakak Tembaga (siapa namanya?) sambil menahan sakit.

### 

[Kailani: amelaerliana]

"Jangan Mati. Kau tidak boleh mati!"

Perkataan Rin justru membuat Kai melengkungkan senyum. Dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk tersenyum begitu, tetapi entah kenapa Kai merasa bahagia. Dari sorot mata Rin yang lembut, Kai dapat melihat gadis itu tulus mengucapkannya, bukan sekadar karena perjanjian mereka sebelumnya 

Darah terus mengucur dari pundak Kai. Rasanya perih sekali. Pemuda itu mulai merasakan sekujur tubuhnya mendingin. Mereka harus mencari tempat aman dan berusaha menghentikan pendarahan secepat mungkin.

Dengan dipapah Rin, Kai lanjut menyusuri lorong maut itu. Rin beberapa kali berhasil menangkis anak panah yang terus menghujani mereka. 

Tiba-tiba Rin mengaduh. Rupanya satu anak panah kembali menggores gadis itu, membuat mereka sedikit terhuyung.

Kai tidak peduli lagi pada rasa sakit yang mencengkram pundaknya. Dia segera menangkap tubuh Rin agar mereka tidak jatuh bergulingan di lantai.

"Ayo, Rin. Sedikit lagi," bisik Kai ke telinga Rin. "Butuh lebih dari hujan panah untuk membunuh kita di sini."

### 

[Weiss: Graizonuru]

"Si...alan..." Dengusnya memegangi perutnya. Mencoba bangun. Darah mengalir di sepanjang perut entah kenapa membuatnya kesal. 

Ia mengecek salah satu panah yang tergeletak. Untunglah tidak ada racun kali ini. Capek kena racun mulu walau situasi sekarang pun sama menyebalkannya. 

Ia melihat sekitarnya. Kai kena panah karena melindungi Rin, gadis berambut coklat hendak menolong si bocil. Lalu ia menatap si gadis merah jambu 

"..." 

Hah mana mungkin ya... 

Sejujurnya pikirannya barusan membuatnya sedikit salty. Ia mencoba berdiri sendiri. Dari awal meskipun dia selalu berusaha untuk orang lain ujung-ujungnya selalu berakhir sendiri.

Sendirian selamat tanpa diizinkan mati. Selalu selamat diatas kematian orang lain... 

Dengan langkah terhuyung memegangi perutnya dan satu tangannya lagi mencoba menangkis panah dengan kuali ia terus berjalan. 

jlep 

Ditengah usahanya mencoba menghindari anak panah, tahu-tahu sebuah anak panah menembus dadanya telak tanpa dia sadari. Sedikit meleset dari jantung sih, namun tetap saja itu cukup membuatnya memuntahkan darah dan ambruk. 

"....ahaha..." 

Namun anehnya dia tertawa. Sepertinya keberuntungan benar-benar sudah meninggalkannya. 

Will... 

Tidak. Dia belum boleh mati sekarang. Dia belum menemukan gadis itu. Sekali lagi dia mencoba bangun. Memaksakan tubuhnya untuk berdiri.

###

[Kadensa: frixasga]

Berlawanan dengan Nona Rambut Coklat yang baik-baik saja, Tuan Sinis tampak kesulitan. Panah-panah itu menancap di kaki, ia mulai payah berjalan. 

Kadensa menggunakan tongkat besi dari Tuan Ikan untuk menghalau panah yang datang. Dirinya beruntung panah itu jatuh dan tidak mengenainya. Sekarang, ia ada di tengah lorong, sedikit lagi. 

Ia baru ingat ia memegang parasetamol yang ia ambil dari Vii, entah itu akan membantu atau tidak. 

Soal lukanya ... Kadensa tidak bisa banyak membantu. 

"Tuan Sinis," ia berlutut di sampingnya. "Pakai parasetamol sisa ini, maaf saya tidak bisa merobek baju untuk menutup luka anda." 

Tapi, bukan hanya Tuan Sinis yang terluka. Dari kubu sebelah, tukang masak andalan mereka tersungkur bersimbah darah. 

"Tukang Masak!" lolong Kadensa. 

Kadensa pun memasrahkan tongkat dari Tuan Ikan untuk membantunya berdiri. "Pegang ini." 

Sisa jalannya, ia akan berlari menembus lorong.

###

[Mada: PatriciaAnggi]

Mada bernapas lega. Sekarang matanya menuju ke Weiss. Lelaki itu banyak terkena panah. Kadensa menawarinya pertolongan. Mada memutuskan untuk menghampiri mereka. 

Biar aku saja!" katanya kepada Kadensa. "Kakak, aku akan memapahmu hingga ke ujung lorong. Kalungkan tanganmu di leherku."

###

[Weiss: Graizonuru]

Ia menerima tongkat pemberian gadis merah jambu. Itu cukup mambantunya untuk berdiri. Lalu nona coklat datang menghampirinya. Menawari bahunya. 

"Ah...maaf" katanya mau tak mau meminjam bahunya

###

[Rin: rafpieces]

Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi mereka menuju ujung. Rekan-rekannya yang lain ada yang lebih parah darinya. Bahkan Weiss terkena panah di bagian yang lebih parah lagi. Si bocil sama saja. Kadensa dan si gadis rambut cokelat berebut membantu Weiss. 

Dengan susah payah, Rin memapah Kai sampai ke ujung. Senyum pemuda itu menemani di saat yang tidak tepat, tetapi hal itu membuat hatinya senang. 

 Walaupun gadis itu terkena panah untuk yang ketiga kalinya, ia terus berusaha sampai ke ujung. 

"Sedikit lagi ... Kai ...." 

Di ujung, gadis itu gagal melindungi Kai dari anak panah yang menggores tubuh pemuda itu. 

"Bertahanlah, Kai!"

###

[Kadensa: frixasga]

Lari, lari, lari

Punggungnya mulai terasa panas lagi. Singa itu telah mengukir punggungnya dengan sesuatu yang tak bisa dilupakan tubuhnya, sepertinya. 

Entah ia harus berterima kasih atas tubuhnya yang kecil atau kebetulan, panah sebelum ia mencapai ujung lorong kembali melesat di atas kepalanya. 

Hm, sepertinya memang ia terlalu pendek. 

Di belakangnya, satu-persatu dari lima orang tertatih menuju akhir dari lorong yang terasa panjang. 

Sayang, penderitaan belum berakhir. 

Sepertinya.

###

[Mada: PatriciaAnggi]

Sambil berjalan terseok, Mada mengimbangi langkah kaki Weiss. Anak panah melesat ke arah mereka lagi. Mada menghindar sekaligus menarik tubuh Weiss agar terhindar dari anak panak. Masih setengah jalan hingga ke ujung. 

Kalau begitu mana sempat. 

"Tuan, Weiss. Maafkan aku harus melakukan ini untuk menyelamatkan kita berdua." Sebelah matanya mengerling dan ia menunjukkan senyum semanis madu. 

Tanpa menunggu reaksi Weiss, ia mengangkat tubuh Weiss, memposisikannya seperti pengantin pria yang menggendong wanitanya. Entah berasal dari mana, backsound The Blue Danube dari Johann Strauss II tiba-tiba berputar di kepalanya. Ia bisa menghindari anak panah dengan mudah bak anak panah itu bergerak slow motion

Di saat genting seperti ini, entah kenapa suasana hatinya begitu cerah. Lorong remang-remang itu tak lagi menakutkan. Membayangkan hal-hal yang baik, seperti suasana musim semi sepertinya boleh juga. 

Ia berlari, kemudian bergerak lincah memutar ketika sebuah anak panah hampir mengenai Weiss. Sayangnya, pipi Mada sempat terkena lesatan anak panah itu. "Ups!" 

Pipinya sepertinya berdarah. 

Mada mempercepat larinya dan berhasil menghindari anak panah sekali lagi dengan sedikit menunduk. Hingga akhirnya ia berhasil mencapai ujung dengan membawa Weiss. 

"Huff, kita sudah sampai tuan Weiss. Apakah anda baik-baik saja?"

###

[Weiss: Graizonuru]

Hujanan panah tak berhenti-henti membuat pergerakan mereka makin sulit. Namun tahu-tahu saja gadis coklat itu mengangkatnya ala bridal style. 

"Be-bentar—" 

Belum selesai dia hendak menolak tahu-tahu gadis itu sudah berlari saja dengan kecepatan tinggi. 

"Anda baik-baik saja?" 

"Y-yaah...." Hanya itu yang bisa ia bilang 

Ya dia baik-baik saja sih. Harga dirinya yang tak baik-baik saja. Ngenes. 

Namun sedikit membuatnya nostalgia lagi entah kenapa

###

[Mada: Patricia Anggi]

Tapi, lukanya sangat parah batin Mada.Ah, andai saja ada tuan Vii. 

Tuan Vii pasti membawa banyak obat-obatan.

Mada melihat di lorong, Nala masih di sana. Ck, keras kepala sekali dia tidak mau ditolong Mada. Apakah karena Mada cewek hingga bocil itu malu meminta pertolongan? Bahkan Mada melihat Nala sudah berdarah. 

Baiklah, Mada akan kembali ke lorong dan membawa anak itu. Tubuh primanya itu membuat Mada tidak ngos-ngosan, bahkan bisa menggendong Weiss. Berarti, membawa Nala sampai ke ujung, tak ada masalah besar. 

Ia berlari secepat kilat menuju lorong, menghampiri Nala dan segera menggendongnya ke punggung. Tak peduli Nala berkata apa. 

Sama seperti ketika membawa Weiss, Mada berlari secepat kilat. Sebisa mungkin menghindari anak panah yang melesat, tapi ia tak bisa menjamin tak ada anak panah yang melukai Nala.

Yang penting sampai di ujung. 

Beberapa detik kemudian, ia sudah berhasil membawa Nala di ujung bersama yang lain. 

"Kau berhutang budi padaku, bocah keras kepala." 

Mada tersenyum, sambil mengusap pucuk rambut Nala.

###

[Kadensa: frixasga]

Ruang berikut yang menunggu mereka semua di penghujung lorong berupa kubus yang terasa lebih sempit dan sesak. 

Ada empat arca menjadi sudut ruangan, dan ada pahatan familier yang Kadensa tidak perlu lihat dua kali untuk memastikan. 

Ular yang menggigit ekornya - Ouroborus - simbol yang menandakan sebuah siklus, keabadian, atau kehidupan setelah kematian. 

Menilik bentuk ruangan, mereka berenam akan menunggu sampai saatnya kematian menjemput, atau mungkin "Tuhan" di luar sana dengan baik hati memberi pengampunan. 

Ah, tapi. Tapi. 

Kematian juga merupakan kebahagiaan yang dianugerahkan oleh Tuhan, bukan? Sebuah pelengkap dari siklus yang dinamakan kehidupan. 

Kita tunggu saja apa yang akan menutup ruangan ini - walau firasatnya berkata akan sukar untuknya bernafas lega setelah ini. 

Sepertinya kita bisa istirahat di sini." 

Kadensa menengadah ke atas, ke langit-langit yang kini terasa silau seperti tengah diikat di atas meja operasi.

###

[Kailani: amelaerliana]

Akhirnya mereka berhasil keluar dari lorong. Gadis berambut pink telah lebih dulu masuk ke ruangan di depan mereka. Kai dan Rin segera menyusul, sedangkan tiga orang lainnya masih tertinggal di belakang. Tampaknya eliksir yang diminum gadis berambut cokelat memberikan kekuatan super pada gadis itu. Mada dengan mudahnya menggendong Weiss--lalu bocah sinis itu--menyeberangi lorong. 

Kai mengintip ke balik kemejanya. Bibirnya meringis saat melihat luka di pundak. Kepala pemuda itu mulai pening, tanda-tanda kekurangan darah. 

"Rin. Kau masih punya kain? Maukah kau meminjamkannya untukku?" tanya Kai dengan bibir yang mulai memucat.

### 

[Rin: rafpieces]

Mereka semua dihadapkan lagi dengan sebuah ruangan, entah apa lagi yang akan menanti mereka.

Kai dalam rangkulannya meringis. Pemuda tersebut meminta kain, sepertinya untuk membalut luka. Dengan cepat, Rin mendudukan Kai di dekat pintu. Gadis itu membuka kotak P3K yang selalu dibawanya. Ia lantas mengeluarkan kain.

"Bertahanlah," katanya.

Sigap, Rin memeriksa luka di pundak Kai lantas membebatnya dengan kain. Darah di pundaknya merembes melalui kain, membuat gumpalan merah di sekitar luka yang tertutup.

### 

[Weiss: Graizonuru]

Pusing. Dia mengecek jaketnya. Apakah masih ada stok perban. Lukanya bertambah lagi. Kali ini lebih parah. Makin susah untuk bergerak.

Darah masih bocor di kedua luka barunya membuat pandangannya mulai berkunang-kunang. Untungnya perbannya masih ada. Tapi tak tahu apakah cukup apa tidak.

Dia pun mulai membelit luka di perut dan dadanya sendiri. Sekarang rasanya kegiatan ini sudah sangat biasa baginya sejak ingatannya kembali.

Begitu selesai menutupi lukanya ia kembali mencoba berdiri. Entah kenapa ia merasa harus segera mencaritahu tentang ruangan ini sebelum bencana selanjutnya datang.

Ular melingkar...ouroboros? Gumamnya menatap langit-langit. 

### 

[Nala: Boiwhodreams_]

Kakak Rambut Tembaga tiba-tiba saja menggendongku yang mulai kesulitan untuk berlari tadi, sekarang, kami sudah tiba di ujung lorong—tidak, bahkan di sebuah ruangan lain lagi. Ruangan tersebut hanya diterangi dengan 4 sumber cahaya yang ada di sudut-sudut ruangan, lalu di sisi kanan dan kiri dinding yang berceruk, terdapat patung. Di sisi dinding yang berlawanan dengan kami, di bagian atas lebih tepatnya, terdapat pahatan kupu-kupu yang dikelilingi ular melingkar.

Familiar, batinku.

"Ah, terima kasih Kakak Rambut Tembaga. Ingatkan aku untuk tanya namamu nanti ketika ini semua selesai," ujarku, kali ini dengan tulus.

Saat aku mengedarkan pandangan, aku melihat seseorang yang sibuk menutup lukanya dengan perban.

"Ah, bolehkah aku minta perban?" tanyaku pada lelaki tersebut.

###

[Weiss: Graizonuru]

"Hm? Tentu" katanya kembali mengecek sisa perban yang dia punya. Lalu menatap luka-luka bocah di depannya. Cukup berat juga. Tapi tak masalah sepertinya perbannya masih cukup.

Dia kembali duduk. Merentangkan perbannya.

"Sini biar aku membalutnya" katanya mulai mengobati bocah sinis di depannya.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Melihat ruangan setelah melewati lorong, kening Mada mengkerut. Ruangan lagi. Kapan kita akan bebas kalau begini?

Ruangan tempat mereka berdiri kali ini berbentuk kubus, ketika Mada menengadah ke atas, ada sebuah simbol.

Ouroboros.

Entah bagaimana Mada mengenalinya. Ular yang melingkar dan memakan ekornya sendiri itu adalah simbol keabadian. Apakah artinya siksaan kami tidak akan berhenti? Ah, baik sekali.

Menoleh ke samping di dinding ternyata ada arca berbentuk raksasa membawa pentungan. Lambat laun, Mada merasa sedikit lelah. Apakah efek dari vial sudah habis? Ia ingin berbaring dan beristirahat saja.

### 

[Kailani: amelaerliana]

Dengan bantuan Rin, Kai berhasil menghentikan pendarahan di pundaknya. Yah, walau untuk sementara. Melihat yang lain tampak serius memperhatikan langit-langit, Kai ikut mendongak.

Pemuda itu melihat sebuah pahatan berbentuk lingkaran. Setelah beberapa saat barulah dia sadar bahwa pahatan itu membentuk gambar seekor ular yang menggigit ekornya sendiri.

Kai menelan ludah. Perasaannya tidak enak. Apalagi, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh yang entah dari mana asalnya.

"Sebaiknya kita jangan berdiam terlalu lama." Kai memperingatkan penyintas lain.

Dia kemudian meraih tangan Rin. "Ayo kita pergi Rin. Kita periksa apa yang ada di balik pintu itu." Kai menunjuk ke arah pintu yang terbuka saat Mada dan Nala masuk ke ruangan berbentuk kubus itu.

###

[Rin: rafpieces]

Tangan Kai hangat. Entah kenapa ada sensasi yang aneh saat kulit mereka bersentuhan. Digenggamnya erat jari-jari pemuda.

"Ayo," jawabnya.

Ruangan itu penuh dengan teka-teki lain; patung, ukiran ular yang memakan ekornya sendiri. Belum lagi suara gemuruh yang tiba-tiba datang. Telinganya berusaha menangkap suara itu lebih jelas.

Di mana? Di mana—

"Awas!" peringat Rin yang seketika melihat sebuah batu menggelinding ke arah mereka.

Gadis itu mendorong Kai agar juga terhindar dari gilasan benda tersebut. Mereka berguling sebelum akhirnya berhenti. Di dekapanya Kai erat, takut ia akan kehilangan pemuda itu.

"Kau baik-baik saja, Kai?"

Ah, sial, perbanku baru saja dibalut dan sebuah batu menggelinding ke arah kami?!

Dengan sigap aku langsung menggamit tangan si laki-laki yang mengobatiku (aku lupa kalau aku belum berkenalan dengannya).

"Ah! Persetan!" Umpatanku keluar sekali lagi.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Baru saja Mada hendak berkeliling, gemuruh suara berat terdengar. Di pintu terbuka yang ada di depan, agak jauh darinya, sebuah batu raksasa yang asalnya entah dari mana tiba-tiba menggelinding ke arah mereka.

Mada mendengar Nala mengumpat. Benar. Apa yang bisa dilakukan saat ini selain mengumpat. Entah pada siapa yang membuat jebakan-jebakan gila ini, mereka gila!

"A-awas, selamatkan diri kalian!!"

Namun, sesaat kemudian ia sadar, bagaimana caranya menyelamatkan diri? Lari ke mana?

### 

[Kadensa: frixasga]

Kali ini, suara gemuruh. Perlahan semakin kencang, padahal tidak ada petir maupun pengaruh cuaca selama mereka berpesta pora berikutnya.

Ah.

Batu besar yang mungkin lebih tinggi dari dua meter datang ke arah mereka, siap melibas. Kadensa ada di belakang antrian, kakinya terasa tidur sejenak.

"Nona Rambut Coklat," panggilnya. "Pergilah."

Ia mendorong Mada sekuat tenaga, entah tenaganya sebenarnya masih ada atau tidak. Mada bisa saja masih terserempet batu berguling itu.

Tapi, dirinya tidak sekedar terserempet.

Apakah kalau ia memejamkan mata, rasa sakitnya akan berkurang? Atau, mungkin ia akan kembali lagi ke ruang awal, kembali di dalam kapsul tidur itu dan mereka semua statis dalam lengkungan waktu?

Yang Kadensa lihat saat ia memejamkan mata adalah ruangan serba putih, dirinya yang memakai jubah putih dan masker, juga sebotol kecil pil dengan label bertuliskan Kadensa.

Oh. Jadi itu alasannya memegang erat nama itu. Nama kreasinya sendiri, dan-

Heh, semoga anak-anak itu tidak trauma ketika mayatnya yang ditampar batu besar menghujani mereka dengan darah segar berbau besi yang mungkin akan mengantarkan mereka menuju surga yang lebih indah.

Syukur-syukur saja potongan tubuhnya tidak mengalung di leher mereka, ya.

### 

[Kailani: amelaerliana]

Waktu seakan berhenti bagi Kai. Dia tidak sedang bermimpi, kan? Rin tengah mendekapnya erat, sampai-sampai Kai seolah dapat merasakan detak jantung gadis itu.

Hal-hal yang mereka alami bersama tanpa sadar telah mengikis jarak di antara mereka. Rin tidak lagi menatap curiga padanya. Malah sekarang, sorot mata gadis itu terasa begitu teduh.

Gema suara Mada yang memperingatkan mereka membuat Kai tersadar.

"A-aku ba-baik saja," jawab Kai dengan suara serak dan wajah yang memanas. Dia sedikit berbohong karena sebenarnya pundaknya terasa sakit.

Saat Rin mulai mengurai pelukannya, Kai bangkit dan membantu Rin berdiri. Tidak ada waktu untuk mencari penjelasan atas perasaan aneh yang tengah melandanya.

Belum sempat mereka kembali berlari, teriakan Kadensa membuat Kai menoleh. Dia melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan. Sebuah batu besar melumat tubuh mungil Kadensa tanpa ampun

Ruangan itu mendadak gerimis, mengingatkan Kai bahwa sejak kecil dia sangat benci akan hujan. Dia mengusap wajahnya. Merah.

Mereka telah kehilangan satu orang lagi.

### 

[Mada: PatriciaAnggi]

Kaki Mada seakan sulit bergerak ketika batu besar itu semakin mendekat. Aku akan mati.

Namun, Mada mendengar suara Kadensa dan tanpa babibu mendorong tubuhnya ke samping, membuatnya terhuyung. Batu besar itu tepat di depannya sekarang, cuma sejengkal. Sebuah benturan hebat mengenai tubuhnya. Batu itu berguling dan mengenai bagian tubuhnya yang kiri.

Sakit.

Ia pun jatuh membentur tanah. Apa aku akan mati? Apa aku akan mati?

Selama beberapa detik, Mada tidak bisa bergerak. Mada merasa tanahnya tiba-tiba sedikit basah. Ia berusaha menggerakkan tangan dan kakinya yang terasa mati rasa. A-aku masih hidup. Apa yang terjadi?

Ia lantas tersadar, tanah yang sedikit basah itu bukan basah karena air, tapi cairan berwarna merah pekat.

Darah.

Ia melihat tubuhnya sendiri yang juga terciprat darah. Namun, ia yakin itu bukan darahnya. Badannya memang linu dan perih, tapi lengan dan pipinya hanya luka goresan seperri tergores aspal, bukan sampai luka yang berdarah-darah.

Lalu, darah ini?

Menoleh ke arah batu, ia melihat seseorang di sana yang sudah dalam keadaan mengenaskan. Tubuh itu, warna rambut itu ....

"Ka-kadensa?"

Matanya mengabur, ada air mata yang menggenang di pelupuk mata.

### 

[Rin: rafpieces]

Rin tidak yakin, apakah suara "krak" dan erangan itu berasal dari gadis bernama Kadensa itu. Yang ia yakin, kini tubuh itu telah tak bergerak di bawah batu yang menindihnya. Yang Rin yakin, satu orang telah diambil lagi dari mereka.

Darah menggenang seiring tangan lunglai Kadensa tak lagi bergerak. Rin melihatnya nanar. Sepertinya ia pernah merasakan perasaan ini. Tapi, kapan? Mungkin harusnya ia meminum vial itu agar ingatannya kembali. Ah, jangan. Jangan ingat itu lagi.

Rin bergumam, hampir tak terdengar, "Semoga engkau kembali ke Eden yang sebenarnya."

Sekarang, apa yang harus mereka lakukan?






















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro