Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Ilyas dan Jejak Kotatua

|| Ilyas's pov | 5052 words || 

Aku pernah ke Kotatua satu kali.

Saat itu, umurku hampir 8 tahun. Pak Gun terlibat proyek pembangunan gedung perkantoran di Distrik Baruna yang letaknya tak jauh dari Kotatua, mengharuskannya tinggal satu bulan lebih di lokasi konstruksi. Di penghujung minggu pertama, Bu Miriam mengajakku naik bus travel dari Renjani ke Baruna untuk menjenguk suaminya.

Sampai saat itu, yang ada di pikiranku saat mendengar 'Pak Gun tukang pipa' hanya gambaran dirinya menjejalkan diri ke bawah konter dapur seseorang dan memukul-mukul saluran pakai tang. Lalu, aku melihatnya bekerja di proyek besar untuk pertama kali. Pekerja konstruksi dan arsitek gedung mengobrol lama sekali dengan Pak Gun—mereka mungkin akan duduk di sana sampai hari Jumat tanpa ingat makan dan mandi saking asyiknya membahas saluran air dan gas gedung yang akan mereka bangun.

Karena menyenangkan menonton Pak Gun bekerja, aku bertingkah layaknya anak 8 tahun—aku tidak mau diajak pulang ke Renjani. Bu Miriam mesti pulang sendiri, sedangkan aku ikut Pak Gun tinggal di mess yang disediakan perusahaannya.

Ketika pekerjaannya selesai, Pak Gun meluangkan waktu menerima satu lagi pekerjaan yang lebih kecil dan mengajakku ke Kotatua sehari sebelum kami pulang ke Renjani.

Kami mengunjungi salah satu sepupunya yang tinggal di sana, melihat perpustakaan tertua di Nusa, masuk ke pusat perbelanjaan buat duduk di bawah pendingin udara, beli dua gelas air es di kafe mahal supaya bisa menumpang pipis di toiletnya yang gratis khusus pelanggan, lalu makan siang di sebuah kedai kecil yang dikelilingi bangunan komersil di tengah kota. Menjelang sore, kami menebeng mobil Fatimah—salah satu kenalan Bu Miriam semasa mereka kuliah—yang hendak pergi ke kota lain dan akan melewati Renjani.

Sebelum keluar dari kota, Pak Gun mengetuk kaca jendela dengan jarinya dan berkata, "Aku dulu terlibat proyek yang itu juga, Ilyas. Tapi proyeknya dibatalkan."

Aku melongok, lalu melihat di sisi jalan besar ada sebuah jalan masuk kereta bawah tanah yang ditutup rapat dan ditempeli larangan masuk.

"Oh, itu—" Aku menggoyang-goyangkan lutut, berusaha mengingat. "Metro Daksina! Proyek kereta bawah tanah yang akan dibangun sepuluh tahun silam dan rencananya akan menjadi penghubung semua kota besar di Nusa. Betul, 'kan?"

"Betul." Pak Gun menepuk kepalaku singkat. "Untuk pembangunan fasilitas bawah tanah apa pun, tukang pipa dan para fitter selalu dibutuhkan agar tidak ada kerusakan saluran air. Harus ada pemetaan agar jalur kereta tidak mengganggu jaringan yang sudah ada di bawah tanah."

Aku mengangguk-angguk. "Sudah ada jaringan terowongan bawah tanah di Kotatua, peninggalan masa-masa teror zombie sebelum Tembok W dibangun. Karenanya proyek itu dimulai di sini. Tapi aneh sekali—proyeknya tidak terdengar lagi. Jadi, konstruksinya batal?"

Pak Gun tidak berkata apa-apa. Matanya masih menelaah ke luar kaca jendela meski jalur bawah tanah tersebut sudah terlewat jauh.

"Batal atau gagal?" tanya Fatimah yang mengemudi. Matanya menelaah Pak Gun dari kaca spion tengah. "Menurutku aneh sekali, kalian para pekerja konstruksi sudah dipanggil ke lokasi, tapi mendadak proyeknya batal."

Aku mengerjap. "Apakah masih ada sisa zombie di sana?"

"Itu juga mustahil," kata Fatimah. "Beberapa tim sudah diturunkan untuk survei lokasi. Semuanya kembali dengan selamat dan tidak melaporkan keanehan apa pun selain bahwa terowongan itu butuh dibersihkan. Mereka sudah memetakan sampai ke tiap ujungnya, semua tembusan, dan jalan buntu. Proyeknya tetap dijalankan sampai rancangannya selesai dan pengerjaan siap dilakukan. Tapi kemudian jadi terbengkalai saat para pekerja konstruksi baru akan memulai."

Kala itu, aku berpikir bahwa mungkin memang ada sisa teror zombie yang membuat proyek itu dibatalkan dan terowongannya ditutup. Pak Gun dan Fatimah barangkali tak mengatakannya secara gamblang agar aku tidak ketakutan. Namun, kalau dipikir lagi, ada begitu banyak situs bekas pembantaian zombie di Nusa. Semuanya selalu dapat dimanfaatkan kembali.

Distrik Turan masih memiliki parit-parit beton dan tanah lunak penuh ranjau bekas perlawanan militan lokal terhadap serbuan kaum terinfeksi yang mencoba menginfiltrasi—kini lokasi tersebut dijadikan wilayah museum dan wisata untuk mengenang perlawanan di masa teror zombie.

Di Sandria, sebuah universitas ternama berdiri di atas tanah yang dulunya adalah pemukiman yang seluruh penduduknya terinfeksi.

Bahkan Distrik Nava tempat Cal berasal ... wilayah itu dulunya menjadi checkpoint saat Tembok W tengah dibangun—di sanalah pasukan militer mendorong keluar para manusia terinfeksi yang tersisa dan membiarkan mereka menyeberang sendiri ke Neraka sebelum menutup tembok sepenuhnya.

Semua titik terparah bekas teror zombie selalu dibangun kembali karena Nusa tidak punya pilihan. Kami harus memanfaatkan semua lahan yang ada. Terowongan bawah tanah itu seharusnya bukan pengecualian.

Jadi, apa yang membuat terowongan itu ditutup permanen?

.Aku tidak tahu apakah ini hal bagus atau buruk—kami sudah berada di sini selama lebih dari sebulan dan Kotatua masih bertahan.

Hari itu—hari di mana aku tergigit dan akhirnya mengetahui bahwa diriku kebal dari penyakit zombie, bangunan tempat kami bersembunyi dikerubungi beberapa mayat hidup tipe 2. Percaya tidak, kalau kubilang ancaman terbesar bagi kami hari itu justru bukan para zombie, melainkan para kurir?

Para kurir datang mengepung bangunan restoran terbengkalai tersebut hanya beberapa menit setelah alarm berbunyi. PN mengarahkan warga sekitar untuk mengungsi. Dalam sekejap, para tipe 2 sudah ditangani dan kami dibawa untuk diintrogasi. Joo hampir ketahuan, mereka juga nyaris melihat bekas gigitan Khandra yang belum hilang di tanganku, dan yang terburuk para kurir ini bisa saja melaporkan kami ke PN hingga Randall Duma bisa melacakku lagi. Andai tidak ada Prama di sana, yang mampu meyakinkan para kurir itu untuk melepaskanku, kami semua mungkin akan dikembalikan ke Batavia. Dari sana aku menyadari bahwa Kotatua memiliki sistem yang ... unik. Sistem yang membuat mereka masih bertahan meski memiliki tingkat infeksi tertinggi nomor tiga di Nusa dan belum jatuh total seperti Duane: para penduduknya telah menerima kenyataan bahwa mereka hidup di tengah zombie; bahwa akan selalu ada mayat berjalan yang hidup di antara mereka.

Di kota lainnya, termasuk Renjani dan Batavia, tugas pembasmian zombie selalu menjadi tanggung jawab Polisi Nusa; Kurir hanya bertanggung jawab atas pengantaran. Resminya begitu. Pada praktiknya, yang paling banyak berurusan dengan zombie adalah kurir; yang lebih dulu dipercayai warga untuk mengatasi korban infeksi adalah kurir, tetapi yang mendapatkan catatan baik dan bayaran-bayaran untuk pembasmian zombie selalu personel PN. Sistem korup macam itu bertahan bertahun-tahun dan tidak ada yang bisa melakukan apa-apa karena semua orang sudah kepayahan hanya untuk bertahan dari hari ke hari.

Namun, di Kotatua, PN secara terbuka lepas tangan dan membiarkan para kurir yang menangani krisis zombie. PN tidak mengklaim pencapaian para kurir di sini. Para kurir mendapat kompensasi yang sesuai atas semua mayat hidup yang mereka habisi. Maka dari itu, Prama menyebut bahwa para kurir yang menetap di Kotatua adalah orang-orang yang bosan hidup—orang-orang yang tidak takut mati, maka dari itu mereka mampu mempertahankan kehidupan sedikit lebih lama daripada di kota lain. Hal ini, menurutku, sama seperti Khandra—polisi yang terinfeksi dan menggigitku di Batavia. Dia sudah tergigit saat itu, maka dia tidak merasa takut pada apapun lagi. Kami melihatnya menyentuh mulut para zombie dan menonjok gigi-gigi mereka karena, toh, dia sudah terinfeksi. Kotatua persis seperti itu. Kota ini sudah sedemikian terinfeksi dengan jumlah mayat hidup yang hampir seimbang dengan populasi manusia sehat. Maka, mereka yang masih bertahan hidup hanya menjalani hari-hari mereka seolah kematian sudah pasti datang esok hari, menciptakan ilusi bahwa tidak ada zombie di antara mereka, dan mereka semata menjalani rutinitas seolah Tembok W tidak pernah runtuh.

Lantaran para kurir menangani zombie lebih baik daripada PN, para polisi yang bertugas di Kotatua juga secara terbuka menolak menangani zombie. Mereka hanya menangani masalah-masalah sipil. PN yang tanpa malu mengklaim pembasmian zombie, seperti yang sering kulihat di Renjani dan kota lainnya, jarang ditemukan di Kotatua. Sangat jarang. Meski bukan berarti tidak pernah sama sekali.

"Sangat jarang," omel Cal saat dia bercerita tentang hari-harinya mengantar paket ke Kotatua, "tapi karena aku anak bawa sial, tentu saja aku mengalami hal yang jarang terjadi itu saat pertama kali mengantar barang ke Kotatua. Aku membereskan tipe 3—bayangkan itu! Dan dua personel PN menahanku di kantor polisi karena menganggap tindakanku membahayakan warga sekitar! Ketika aku keluar, dijamin oleh temannya Prama, dua polisi yang menahanku ternyata sudah mengklaim pemusnahan zombie itu sebagai pekerjaan mereka. Hal menyebalkan semacam itu sering terjadi di kota lain, tetapi sangat jarang di sini. Tapi, tentu saja, aku anak bawa sial—"

Aku mengernyit ke arahnya. "Berhentilah menyebut dirimu sendiri seperti itu."

Sejak aku tergigit, Cal jadi seperti ini. Dia lebih sering mengata-ngatai dirinya sendiri, hingga mengingat kembali hinaan-hinaan dari mulut Ginna dan siapa pun yang pernah melontarkan celaan terhadapnya.

Sesekali aku mendapatinya melamun. Seringnya, dia akan melongo malam-malam saat tidak sedang mendapat pesanan untuk mengantar barang. Di siang hari, dia kembali jadi Cal yang biasa—energik, tidak berhenti bicara, menceletuk tanpa tahu situasi, dan menenteng-nenteng senjata seenteng aku menggendong Emma.

Bagian teranehnya? Kudapati diriku lebih nyaman saat melihatnya sebagai Cal yang biasa, dengan segala kelakuan di luar nalarnya, ketimbang dirinya yang mendadak jadi pendiam saat malam.

Bahkan saat Prama dan aku sependapat bahwa mungkin akan lebih aman bagiku untuk mengurung diri di tempat persembunyian kami selama beberapa lama, aku sempat berharap Cal akan jadi dirinya yang biasa dan memaksaku turun ke jalan tanpa peduli risikonya. Namun, gadis itu hanya mengangkat bahu dan berkata, "Oke," sebelum pergi keluar untuk mengantar barang.

Ada apa dengan gadis itu?

Apa dia masih merasa bersalah karena aku tergigit? Padahal aku sudah menegaskan itu bukan salahnya.

Satu kali, aku menanyainya tidakkah dia merasa kesepian karena dia selalu bepergian seorang diri sejak kami tiba di Kotatua. Kukatakan padanya, jika dia mau, aku bisa ikut di jok belakang kendaraannya kalau lokasi pengantaran paketnya tidak jauh. Lagi pula, Emma juga butuh keluar. Adikku hanya bisa keluar ke kota saat ada Prama, padahal pria itu hanya datang ke Kotatua seminggu dua kali. Kukatakan pada Cal, aku juga mulai tidak tahan jika harus terkurung dengan Joo tiap siang.

Aku benar-benar tidak menyangka jawaban yang keluar dari mulut Cal: "Jangan. Kau di sini saja. Lagi pula, hari ini aku tidak sendirian."

Ketika aku mengintip keluar jendela dari celah tirai, ada seorang anak laki-laki yang menunggu di atas kendaraannya, tampaknya seumuran kami, berseragam kurir, mengenakan kacamata persegi, dan senyumnya yang menampakkan deret gigi sempurna itu keterlaluan lebarnya saat melihat Cal. Entah mengapa, untuk suatu alasan, aku merasa lebih depresi seharian.

Semua komunitas kurir biasanya punya banyak basecamp yang tersebar di sepenjuru Nusa, dengan satu markas besar di satu kota yang paling mereka 'kuasai'. Semua basecamp selain markas biasanya dijadikan milik bersama di mana kurir dari komunitas lain bisa ikut singgah dan tinggal untuk beberapa hari.

Namun, komunitas kurir Prama dan Cal membuat banyak basecamp rahasia di luar Radenal. Berbeda dari komunitas lain yang basecamp-nya tampak kentara dan bisa diidentifikasi sebagai persinggahan kurir, basecamp milik komunitas Prama justru tidak terlihat seperti basecamp dari luar, jadi takkan ada kurir dari komunitas lain yang akan singgah di sana. Bangunan resto yang pertama kami kunjungi untuk mengurungku, misalnya. Terletak di bagian paling terisolasi di Kotatua, separuh bagian belakangnya masuk ke wilayah jalan tol yang diblokade, dan secara resmi masih jadi hak milik orang lain. Pemilik bangunan resto itu tahu dan membiarkan saja komunitas kurir milik Prama menjadikannya persinggahan karena, toh, usahanya sudah bangkrut. Namun, tetap saja itu basecamp tanpa izin resmi. Jika ini sampai ke telinga PN, si pemilik bangunan dan komunitas kurir Prama bisa kena masalah.

Saat ini, tempat kami menetap dan bersembunyi adalah basecamp rahasia lainnya. Sebuah rumah split-level minimalis dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tamu.

"Rumah ini tadinya ditempati oleh keluarga beranggotakan tiga orang," ungkap Prama seraya menekan saklar lampu saat kami pertama tiba di sini. Pria itu kemudian melepaskan sepatunya dan duduk di sofa seolah sedang berada di rumah sendiri. "Sepasang suami-istri dan anak mereka yang masih seumuran kalian berdua. Si ayah memesan banyak sekali obat-obatan—katanya dia dan istrinya punya banyak penyakit komplikasi yang berbeda-beda. Si ibu memesan banyak sekali bahan makanan untuk dimasak. Aku sampai bertanya-tanya kenapa mereka sesembrono itu menghabiskan uang di tengah krisis seperti ini. Mereka bahkan mengajakku makan malam bersama, lalu menawariku bermalam di ruang tamu ini. Itu ... kurasa 3 tahun lalu kejadiannya. Aku baru memulai jadi kurir. Aku belum mengerti. Dan tidak ada yang memberitahuku tanda-tandanya. Mereka pergi tidur seperti biasa. Aku baru sadar keesokannya, aku dibiarkan menginap karena mereka ingin ada yang menemukan mayat mereka bertiga pagi itu juga."

Kulepaskan mantelku dan kuletakkan di gantungan yang tersedia. "Depresi di tengah krisis zombie? Atau ketiganya terinfeksi?"

"Hanya anaknya," jawab Prama. "Anaknya yang masih remaja—apa aku sudah bilang dia seumuranmu dan Cal? Yah, sejauh yang kulihat, hanya anaknya yang punya luka gigitan. Kurasa, orang tuanya takut melapor ke PN dan tidak siap berpisah dengan anak mereka. Jadi, mereka memutuskan untuk pergi ke alam baka bertiga."

Kupandangi rumah ini, yang kelihatannya masih sangat terawat dan dijaga tetap bersih. Meski ada bau debu tipis-tipis dan karpetnya agak apak, rumah ini kelihatannya seperti rumah yang hanya ditinggal tiga hari, bukan tiga tahun.

"PN tidak mengambil alih rumah ini?" tanyaku.

Prama mengangkat bahu. "Mereka tidak tahu penghuni rumah ini sudah tidak ada."

Aku mengangkat kedua alisku. Barangkali tanpa kusadari, aku melemparkan tatapan menghakimi pada pria itu. "Kau tidak melaporkannya?"

"Tidak. Sejauh yang terdaftar di catatan sipil, keluarga itu masih hidup di sini. Orang-orang mungkin mengira keluarga ini hanya menutup diri dan memutuskan untuk mengisolasi diri secara permanen—itu sangat sering terjadi sejak teror zombie kedua, 'kan? Terlebih dengan seringnya kami, para kurir, bolak-balik kemari dan pura-pura mengantar barang. Para tetangga di sini juga pasti terlalu sibuk dengan hidupnya masing-masing untuk mengecek. Malah, bisa saja ada rumah lain yang seperti ini. Komunitas kurir yang membuat persinggahan rahasia dengan cara ini bukan cuma kami."

"Bagaimana dengan jasad keluarga tadi?"

"Saat itu aku langsung menghubungi kawanan kurirku yang lebih berpengalaman. Mereka menguburkan jasad suami-istri itu di suatu tempat di pinggiran kota ini, sedangkan jasad si anak mereka selundupkan ke antara jasad-jasad lain yang akan masuk krematorium." Prama meringis sambil memainkan ujung tirai di sisi sofa yang didudukinya. "Yah ... sebetulnya mereka hampir memotong-motong jasad si anak dan menguburkannya secara terpisah—itu bisa jadi salah satu cara aman untuk memastikan mayatnya tidak bangun lagi. Memang butuh usaha lebih keras, tapi lebih aman daripada menyelundup ke krematorium yang dijaga ketat. Kalau ketahuan jumlah mayat di sana kelebihan dari yang mereka data, PN bisa curiga dan memulai razia. Para kurir akan jadi yang pertama mereka curigai. Itu juga bisa membuat komunitas kurir lain memusuhi kami kalau PN memperketat aturan untuk kurir memasuki Kotatua. Tapi saat itu, aku benar-benar masih anak baru dan tidak sanggup membayangkan anak yang sempat makan semeja denganku dipotong-potong dan dipencar-pencar. Syukurlah tidak ketahuan."

Kurasa, saat itulah Cal mulai jadi lebih pendiam daripada biasanya. Matanya terus memandangi sepatunya sendiri yang belum dia lepas. Aku bisa melihat dia menyimak ucapan Prama sejak tadi, tetapi aku tidak tahu apa yang dipikirkannya hingga melamun seperti itu.

"Cal?" Kusentuh bahunya. "Kau tidak apa-apa?"

Dia mendongak, seperti kaget kutegur.

"Enggak apa-apa." Dia menjawab begitu saja, lalu menghela napas panjang. "Aku mau cari makan."

Tanpa menunggu responsku, gadis itu langsung berbalik dan pergi ke jalan sambil masih menyandang ranselnya.

Aku berbalik memandangi Prama. Pria itu tidak tampak cemas sama sekali. Tangannya menggoyang-goyangkan ujung tirai ke atas kepala Emma yang duduk di sampingnya. Saat menyadari tatapanku, pria itu hanya melambaikan tangannya singkat.

"Jangan dipikirkan." Prama memberi gestur padaku untuk menutup pintu depan. "Biarkan anak itu menerima kenyataan dengan caranya sendiri."

"Apa maksudmu?"

"Nanti kau akan paham maksudku. Itu ... kalau dia memutuskan buat cerita padamu."

Apa maksud Prama saat itu? Ini sudah lewat sebulan dan Cal masih tidak menceritakan apa-apa. Cal dan aku jadi makin jarang bicara. Malah, kelihatannya dia lebih sering bicara pada Joo daripada aku. Kelihatannya dia hanya berada di dekatku saat ada Emma di antara kami. Kelihatannya ....

Kelihatannya dia hampir tidak menginginkanku di sini.

Apakah dia menyesal membawaku bersamanya?

Dia hampir menyusup ke bank otak dengan Prama karena aku—apakah dia mulai menyadari betapa tidak sepadannya semua tindakannya selama ini hanya demi aku?

Dulu, aku mengira bahwa kami saling membutuhkan—aku butuh dia menjagaku dan adikku, dia membutuhkanku untuk hal-hal teknis seperti mencarikan jalur aman untuk bepergian dan menghentikannya dari perbuatan-perbuatan bodoh. Sekarang aku tidak yakin lagi. Sejak melihat Prama, aku sadar Cal tidak pernah benar-benar membutuhkanku untuk apa pun. Ada begitu banyak anggota dalam komunitas kurirnya yang mampu dan bersedia membantunya untuk hal-hal yang selama ini kupikir hanya aku yang bisa melakukannya buat Cal.

Aku juga menyadari, selama kami bepergian dari Renjani sampai Batavia, Cal tidak pernah menerima pekerjaan kurir apa pun—karena dia harus menjagaku, Emma, dan Joo 24 jam sehari. Kini, begitu kami mendapat tempat persembunyian di Kotatua, dia mulai kembali aktif mengantarkan orang-orang dan barang pesanan. Cal biasanya kembali sebelum senja, tetapi ada hari-hari tertentu di mana dia tidak kembali sama sekali dan harus menginap di kota lain. Malah, aku berfirasat, satu-satunya alasan Cal masih kembali ke Kotatua adalah kehadiranku, Emma, dan Joo di sini. Karena hanya di sini gelombang zombie tidak mengikutiku entah untuk alasan apa.

Sekarang, kelihatannya aku cuma menjadi beban untuk Cal.

Waktu itu, kami punya kesepakatan. Aku ingin ke Batavia; dia ingin keluar melewati Tembok W. Saat itu, Randall masih bersedia menyediakan transportasi yang mustahil kami dapatkan. Aku bisa memberikan apa yang paling Cal inginkan.

Sekarang ... aku sudah tidak punya apa-apa untuk diberikan padanya, dan dia tetap kembali ke sini. Aku juga tidak berubah jadi zombie, dan entah mengapa aku merasa yakin ada rasa kecewa di benak Cal tiap kali dia masuk ke sini dan melihatku masih belum berubah jadi zombie, dan itu membuatku agak sakit hati. Namun, aku tetap mengerti, andai aku berubah jadi zombie, mungkin akan lebih mudah bagi Cal buat kembali ke kehidupannya, alih-alih terjebak denganku di sini.

Wajar saja dia mulai menjaga jarak dariku.

Kalau itu aku ....

Kalau posisi kami ditukar ... aku pasti sudah meninggalkannya sejak lama.

Malah ... sebetulnya aku memang selalu berencana meninggalkannya sejak kami pergi dari Renjani. Kubenturkan kepalaku ke meja makan karena tidak tahan pada pemikiranku sendiri—bahwa aku pernah bersikap seperti sampah macam itu.

Kuamati Emma dan Joo yang dari sudut mataku—keduanya duduk di karpet, mengobrol dengan bahasa yang tidak dipahami oleh siapa pun. Aku bahkan ragu mereka memahami satu sama lain. Emma berceloteh dengan kata-kata yang masih belum terbentuk utuh sementara Joo menggeram-geram seperti orang yang sedang konstipasi.

Mulai terpikirkan olehku, andai tidak ada mereka berdua di sini, dan hanya ada aku, apakah akan lebih mudah bagi Cal buat pergi? Mungkin yang menahannya tetap di Kotatua bukan aku, melainkan Emma dan Joo.

Mungkin ... cowok kurir berkacamata itu? Belakangan, dia makin sering kemari menjemput Cal. Sepertinya dia orang sini. Mungkin dia tidak sekadar membantu Cal sebagai sesama kurir. Mungkin hubungan mereka lebih dari itu. Mungkin Cal bertahan di Kotatua karena ada dia. Namun, kenapa Cal tidak pernah menyinggungnya padaku? Harusnya dia mengatakan sesuatu. Aku masih temannya sejak kami masih 7 tahun, 'kan? Aku lebih dulu mengenalnya daripada kurir itu. Hubungan kami jauh lebih lama daripada hubungan rekan kerja yang mereka miliki.

Namun, kalau pun Cal memutuskan untuk memperkenalkan si kacamata itu padaku, apa pula yang bakal kulakukan? Apakah aku bahkan akan mampu meresponsnya?

Apa pula yang Cal lihat dari si ceking berkacamata itu? Aku tidak bermaksud hipokrit dan aku sadar benar bahwa aku juga termasuk kaum ceking, tetapi setidaknya aku lebih tinggi, tuh.

Apakah tipe Cal memang yang culun seperti itu? Menurutku, kalau bertanding masalah culun, aku tidak bakal kalah.

Apa pula yang kupikirkan saat ini?

Kupejamkan mataku, berusaha membuang pikiran aneh itu jauh-jauh. Sialnya, dalam gelap kelopak mata pun aku malah melihat Cal di atas kendaraan laki-laki itu.

Haruskah aku belajar naik motor?

Aku masih tidak mengerti ... apa gunanya aku memikirkan semua ini? Ada banyak masalah yang harus kurenungi sekarang—Randall, Joo, kekebalan tubuhku dari penyakit zombie, dan suasana Kotatua yang menurutku tidak wajar ....

Di mana Cal sekarang?

Apa dia ingat untuk makan di sela pekerjaannya?

Kenapa aku memikirkannya lagi?

Jangan-jangan, aku ....

Aku ketiduran.

Samar-samar telingaku mendengar suara Cal dan celotehan Emma di latar belakang. Namun, kedengarannya suara Cal dekat sekali.

"—tidak mirip zombie sama sekali," kata Cal saat otakku mulai mencerna kalimatnya dengan utuh. Dari nada suaranya, dia sedang bicara pada Emma. Kurasakan sesuatu menusuk-nusuk ke celah bibirku. "Prama terlalu paranoid. Padahal taring zombie saja tidak ada."

Aku tersentak ketika menyadari apa yang tengah dilakukannya. Sentakan itu pula yang justru membuatku tanpa sengaja menggigit jarinya.

Cal yang kaget menarik kembali jarinya, tetapi aku langsung menangkap pergelangan tangannya. Satu tanganku yang lain menangkup mulutku sendiri. Mataku membelalak padanya.

"Kau menyentuh gigiku?" tanyaku tidak percaya, bertepatan dengan Prama yang berjalan masuk ke area dapur. Kutatap Prama dengan ngeri. "Dia menyentuh gigiku. Telunjuknya mungkin tergores—"

"Kau anak tolol!" pekik Prama begitu saja. Kedua tangannya langsung mencengkram bahu Cal. "Aku baru bilang untuk menghindari peralatan makan yang pernah dipakainya dan kau malah MENYENTUH GIGINYA!"

"T-tapi apa masalahnya?" Cal tergagap. "Ilyas kebal—"

"Kita tidak tahu itu!" balasku. "Kita tidak tahu apakah aku benar-benar tidak terinfeksi atau cuma silent carrier!"

"Aku tidak sebodoh itu!" Cal balas membentakku. "Kita sudah mengecek darahmu, ingat? Dan hasilnya negatif! Kalau kau penderita tanpa gejala, harusnya hasilnya positif saat itu!"

"Alat itu tidak 100% akurat, Cal!" Suaraku kian meninggi. Kucengkram tangannya lebih erat. "Ada banyak kasus korban infeksi yang tidak terdeteksi atau alat pengecek darahnya yang rusak! Ada alasannya tim penanganan wabah selalu menjalankan serangkain tes dan berjam-jam observasi terhadap orang yang dikarantina ketimbang bergantung pada alat itu!"

"Kau pikir, buat apa aku menyuruhnya mendekam sebulan lebih di sini?!" sambar Prama lagi.

"Prama," ujar seseorang di belakangnya. Ketika Prama bergeser sedikit, aku bisa melihat si lelaki kurir berkacamata itu. Dia berdiri di ambang lengkung yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah. "Maaf aku masuk, tapi suara kalian terdengar sampai luar."

Prama mengusap wajahnya dengan satu tangan, tangan lainnya tertadah ke si lelaki berkacamata. "Cakra, pinjami aku alat pengecek darah milikmu. Milik kami sudah tidak berfungsi sejak Emma mencemplungkannya ke akuarium."

Cakra bergeser saat menyadari kotak akuarium tanpa ikan yang dimaksud bertengger tepat di sisinya.

Lelaki itu merogoh tasnya, lalu mengulurkan tangan yang memegangi alat pengecek darahnya. Namun, tidak satu langkah pun dia ambil untuk mendekati Prama. Aku pun sadar alasannya selalu menunggu di depan tanpa pernah masuk.

Dia takut padaku yang dikarantina di sini.

"Tuh," kata Cal jengkel begitu hasil alat pengecek darah menunjukkan 'negatif'. Matanya memelotot sedemikian rupa dan alisnya menukik terlalu tajam sampai-sampai, untuk sesaat, kukira dia hendak menangis. "Kalau kalian takut hasilnya tidak akurat—"

Gadis itu dengan cepat merebut alat pengecek darah di tangan Prama dan, tanpa mengganti jarumnya, kembali menusukkannya berulang-ulang di beberapa jari tangannya. Prama merenggut alat itu kembali darinya dan aku seketika mencengkram kembali tangannya, tetapi ujung semua jari Cal sudah kacau berdarah-darah.

Melihat kemarahan sungguhan di matanya, aku mempertimbangkan untuk meminta maaf karena sudah membentak dan menyudutkannya seperti ini. Namun, kudapati mulutku berkata, "Kesembronoanmu bisa menyebabkan seseorang terbunuh, kau tahu?"

Aku tidak bermaksud mengatakannya demikian.

Aku tidak bermaksud menyiratkan bahwa aku khawatir akan ada orang lain yang terbunuh karena Cal.

Aku tidak peduli kalau ada orang lain yang mati selama orang itu tidak tersangkut paut denganku.

Namun, masih ada sisa rasa pahit dan ego yang tengik tertahan di kerongkonganku, membuatku kesulitan mengakui bahwa yang kukhawatirkan adalah dia, Cal sendiri, bukan yang lain. Namun, jelas saja siapa pun yang mendengarku barusan pasti akan berkesimpulan bahwa kata-kataku persis seperti kedengarannya—bahwa aku sedang menyalahkannya jika ada orang yang celaka di sini.

Lalu, tatapan mata Cal berubah. Kemarahan di matanya hilang. Cepat sekali. Rasanya seperti melihat kaca yang pecah berkeping-keping tanpa sempat kuhentikan—cahaya matanya hilang. Kosong. Dia kembali jadi Cal yang merenung dengan aneh tiap malam tanpa suara. Lalu, salah satu alisnya berkedut. Lalu, air matanya mulai menggenang.

Saat itu pula aku tersadar apa yang mengganggunya selama sebulan ini. Alasannya jadi lebih pendiam tiap malam dan mulai menghindariku kecuali ada orang lain di dalam ruangan.

Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

Bagaimana bisa aku baru sadar setelah mengatakan hal barusan?

"Cal, aku tidak bermaksud—"

Kemudian, dia mulai terisak-isak.

Ini bukan tangisan hening seperti saat dia hampir mati ditusuk, atau isakan histeris saat akan meninggalkanku terikat di bangunan bekas resto bulan lalu. Tangisannya kali ini lebih seperti bendungan air mata yang sudah ditahannya berhari-hari dan jebol tanpa dikehendakinya sama sekali. Dia menangis bukan karena dia ingin menangis, tetapi karena tumpahan air matanya yang menolak ditahan lebih lama dan berjatuhan tanpa bisa dikendalikannya—persis seperti saat aku menangisi kehilangan Pak Gun.

Aku tergagap dan kedua tanganku bergerak tidak keruan. Prama sendiri hanya bisa terdiam. Emma dan Joo yang duduk di seberang meja sama-sama melongo melihat Cal menangis.

Aku merasa panik luar-dalam dan tidak tahu harus melakukan apa, sampai kemudian Cakra berderap masuk dan mengulurkan tangannya seperti hendak meraih Cal.

Ujung jarinya sudah di bahu gadis itu dan aku yakin keparat ini berusaha memeluknya, jadi aku mendahuluinya—tanganku bergerak begitu saja.

Cal, yang masih sesenggukan sampai kedua matanya mengatup rapat, untungnya tidak mendorongku ke atas meja. Kalau dia lakukan itu pun, aku tidak bakal menyalahkannya.

"Bisa kalian keluar sebentar?" tanyaku dengan suara tegang. Tanganku masih melingkari bahu Cal. "Aku ... butuh bicara dengan Cal. Berdua saja."

Aku benar-benar bersyukur ada Prama di sini. Pria itu langsung menarik Joo dan menggendong Emma, lalu mendorong Cakra mundur ke ruang tamu. Begitu mereka semua berada di luar, aku mencoba menarik tanganku kembali dan melepaskan Cal. Namun, kudapati sikuku terasa berat dan jari-jariku malah mengerat di bahunya.

Dari yang tadinya hanya satu tangan, kini kedua tanganku merengkuhnya. Bahunya bergetar dan tangisannya masih belum berhenti.

Aku mendongak ke langit-langit, teringat saat Cal datang pertama kali ke rumahku sebagai kurir setelah sekian tahun kami tidak bertemu. Saat itu, muncul pikiran picik di benakku: berani-beraninya cewek ini, yang selama bertahun-tahun merundungku saat kami masih kecil, sekarang malah mencoba bersikap baik seolah itu bisa memperbaiki keadaan dan mengobati luka yang dulu disebabkan olehnya sendiri.

Sekarang, di sinilah aku, memeluk Cal untuk meredakan tangisannya yang disebabkan olehku sendiri.

"Dulu, saat Bu Miriam masih hidup," kataku seraya mengobati ujung-ujung jari Cal yang berdarah oleh tusukan jarum alat pengecek darah, "beliau sering mengobati lukaku seperti ini, sambil berkata, jika aku terluka, akan lebih baik jika sesekali melepaskan perbannya setelah diobati ketimbang ditutupi terlalu lama sampai jadi borok jelek."

Aku mendongak dan menatap Cal, yang tangisannya sudah mereda. Dia sedang duduk di kursi yang tadi kududuki, sementara aku berlutut dan mengecek semua bekas darah di tangannya.

"Bu Miriam mengatakan itu karena aku suka menyembunyikan luka di badanku." Aku melanjutkan. "Bu Miriam mengatakan itu untuk meyakinkanku, bahwa setidaknya sesekali aku harus memakai baju lengan pendek yang membuatku lebih nyaman ketimbang sweter lengan panjang untuk menutupi bekas luka di tanganku. Agar aku memberi tahunya saat aku merasa sakit, bukannya meringkuk di dalam selimut diam-diam. Agar aku lebih jujur padanya dan Pak Gun, daripada menyimpan semua ketakutanku sendirian. Karena semua bekas luka yang disimpan terlalu rapat,"—kuusap punggung tangannya dan dengan gerakan ringan menyentuh perban-perban di ujung jarinya—"mereka akan membusuk. Kau harus membuka perban penutupnya setelah mengobatinya, bukannya mempertahankan perban itu tetap menyembunyikan bekas lukamu sampai jadi benyek."

Cal membuka mulutnya ragu-ragu, tetapi kemudian merapatkannya kembali.

"Kau tahu, Cal," lanjutku, "meski aku tidak berubah jadi zombie, aku selalu merasa ada yang membusuk dalam diriku."—Kucengkram dada sweterku—"Sampai saat ini rasanya aku tidak pernah bisa berdamai dengan apa yang terjadi selama aku di panti asuhan. Itu sebabnya aku jadi histeris di depan Bu Raiva. Aku tidak tahan dengan kehadiran Toren. Aku tidak bisa menatap Kamelia dengan benar. Dan masih ada satu bagian dalam diriku yang berharap agar bangunan itu terbakar atau ambruk menimpa mereka, meski aku tahu ada banyak anak-anak dan balita yang bahkan tidak ada hubungannya di dalam sana. Aku merasa marah saat mereka mencoba membantu kita, tetapi aku lebih merasa marah lagi saat mereka bertingkah biasa-biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Tiap kali aku memikirkan kata-kata Bu Miriam, aku jadi menyesal ... karena tidak menyambut bantuan yang ditawarkannya. Aku bisa saja membuka perban itu, mengatakan semuanya pada Bu Miriam dan Pak Gun sampai habis tak bersisa, dan di saat bersamaan mengonfrontasi apa yang dulunya tidak berani kuhadapi .... Andai aku melakukan itu, mungkin aku tidak akan menjadi manusia yang sebusuk sekarang. Jadi, Cal, aku ... tidak mau isi hatimu ikut membusuk sepertiku karena menyembunyikan luka yang seharusnya sudah bisa kau buka."

Kemudian, air matanya berjatuhan lagi.

"Ibuku ...." Dia terisak-isak. "Pak Radi. Nayna. Ulli. Nenek Aya ...."

Cal terus menyebutkan nama-nama, yang sebagian besarnya tidak kukenali. Namun, aku tahu jelas, sebagian besar adalah nama kliennya, yang dulu pernah meminta Cal agar dia menghabisi mereka. Cal pernah menceritakan sekilas padaku tentang para pelanggan itu.

Seperti Nenek Aya.

Orang-orang yang terinfeksi.

Orang-orang yang merasa tidak punya harapan lagi.

Cal membunuh mereka sebelum berubah menjadi zombie.

Seperti yang dilakukan kurir lainnya.

Namun, kini, seseorang yang sudah tergigit dan tidak berubah malah berada tepat di hadapannya.

Cal bukannya kecewa aku tidak berubah jadi zombie karena alasan picik yang kuperkirakan selama ini. Dia bukannya merasa terbebani olehku.

Dia terbebani oleh perbuatannya sendiri.

Ada berapa banyak korban terinfeksi yang telah dibunuhnya?

Berapa banyak di antara mereka yang, mungkin saja, kebal dari penyakit zombie sepertiku?

Cal menyesal karena tidak menunggu. Karena dia merasa dia tidak memberi mereka waktu untuk hidup lebih lama dan mencari tahu sendiri. Karena dia telanjur membunuh mereka sebelum mereka tahu apakah mereka benar-benar akan berubah atau tidak.

Aku tidak menyadari kegundahannya sekian lama karena aku sudah membusuk. Aku bukan Cal. Aku tidak akan menyesalinya saat melakukan apa yang telah dia lakukan. Aku akan membuat berbagai alasan dalam benakku: mereka yang memintaku. Ini bukan salahku. Aku hanya menjalankan tugas. Aku cuma menuruti permohonan mereka. Apa lagi yang bisa kulakukan?

Namun, Cal takkan pernah sampai pada pemikiran macam itu. Alhasil, dia menggebuki dirinya sendiri secara mental satu bulan belakangan.

Jika dipikir lagi, kelegaan di wajahnya memang nyata saat dia mendapatiku masih manusia dan tidak kunjung berubah menjadi zombie. Namun, di saat bersamaan, kehadiranku saat ini juga seperti ejekan atas semua nyawa dan kesempatan hidup yang hilang di tangannya. Padahal selama ini, seperti kurir lainnya, Cal percaya bahwa apa yang dilakukannya sudah benar—bahwa kematian permanen lebih baik daripada kulit yang membusuk dan mayat yang bergerak.

Kusentuh bahuku, yang dulu pernah terluka karena goresan kaca. Cal membantuku mengobatinya saat itu, lalu mendaratkan kecupan di atas perban bahuku seperti yang pernah dilakukan ibunya saat dia terluka.

Kukatup bibirku rapat-rapat dan kudekatkan buku-buku jarinya yang separuh tertutup perban, lalu melakukan hal yang sama dengan yang dulu pernah dilakukannya untukku.

Meski gadis ini pernah menjadi mimpi burukku, dia telah menyelamatkanku dari penjara yang kuciptakan sendiri di Renjani. Kehadiran Cal justru menjadi satu-satunya hal yang membangunkanku dari mimpi buruk. Dia mempertaruhkan nyawanya dan mengorbankan banyak sekali waktunya untuk mengobati lukaku—bahkan luka yang tidak disebabkan olehnya.

Sekarang giliranku.

Maap lama yak (⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)❤️



ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro