Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Cal dan Imunitas Mayat Hidup

|| 30: Cal's pov | 5907 words ||

"Penyakit prion itu penyakit langka," ujar Randall saat itu. Padahal dia tidak menjawab sama sekali saat kami masih duduk di dalam, tetapi mendadak bicara ketika kami di luar sini. "Tidak banyak penderitanya. Sebagian besar penderitanya meninggal tanpa mengetahui dia mengidap penyakit tersebut. Bagi orang sehat, kelangkaan penyakit itu adalah anugerah—kecil kemungkinan mereka akan mati karenanya. Tapi bagi yang sudah mengidapnya, kelangkaan penyakit itu justru jadi bencana, karena sedikit sekali kesempatan yang diterima umat manusia untuk menelitinya, apalagi menemukan obatnya."

Kukepalkan tanganku. "Dan?"

Randall melirik pentungan yang terselempang di punggungku. "Kau mengingatkanku pada seorang perempuan yang dulu pernah kukenal. Namanya Btari. Orang-orang bilang, dia punya masalah mengontrol emosi. Padahal, di setiap situasi, dialah yang emosinya paling terkendali. Tapi Btari hidup di lingkungan yang orang-orangnya tidak tahu diri, jadi mereka menyalahkannya saat perempuan itu marah—karena orang-orang itu tidak mampu melihat kesalahan mereka sendiri."

"Apa hubungannya itu dengan zombie?!"

"Tidak ada. Aku hanya basa-basi." Randall tertawa lagi. "Ah, ya, dulunya monster-monster itu tidak disebut zombie. Mereka disebut scrapie."

Aku hampir yakin pria ini sengaja. Dia berusaha membuatku kesal, supaya aku mementungnya, dan dia punya alasan mencantolkan borgol ke pergelangan tanganku. Aku bicara begini dari pengalaman pribadi. Karena membereskan zombie ada dalam ketentuan kerja PN dan bukannya kurir, PN biasanya mendapat bonus jika mereka bisa menghabisi atau menangkap zombie, kurir tidak.

Jadi, satu kali saat dalam tugas mengantar barang di Kotatua, aku menghabisi tipe 3 yang bersemayam di sebuah rumah kosong dan sudah seminggu belakangan meresahkan penduduk sekitar. Personel PN baru datang satu jam setelah penghuni rumah lain membuat laporan bahwa si zombie berhasil dilumpuhkan, padahal mereka mengabaikan semua laporan sebelum itu. Ada dua petugas PN yang datang ke lokasi. Salah satunya menginterogasiku dan menyiratkan bahwa aku telah membahayakan warga dengan mengonfrontasi si zombie, petugas yang satu lagi melontarkan simpati palsu bahwa 'gadis kecil malang' sepertiku tidak seharusnya mengotori tangan dengan darah zombie. Aku hilang kesabaran menghadapi mereka. Jadi, aku meninju salah satunya di muka. Seolah telah menunggu-nunggu momen itu terjadi, temannya segera saja meringkusku. Aku dibawa ke kantor polisi, menunggu 48 jam sampai teman-teman kurirku datang dan menebusku keluar. Kedua polisi itu rupanya telah menulis laporan bahwa merekalah yang melumpuhkan si zombie di rumah kosong sementara aku menyia-nyiakan dua hari dua malam dalam sel.

Aku mendapat kesan yang sama dari Randall. Caranya bicara, tatanan kalimatnya, topiknya yang melompat-lompat, dan nada suaranya—semuanya dirancang untuk membuatku jengkel. Untuk membuatku terpeleset dan, sesuai ketakutan Ilyas, agar dia punya alasan menaruhku di penjara.

Meski mengetahui itu ... rasa gatal di tanganku tetap tidak mau hilang kalau aku belum memukulnya.

"Para scrapie dulunya tidak seperti sekarang, kau tahu?" lanjutnya. "Tidak ada yang memakan otak, atau menggigit, atau menyerang membabi-buta—hanya sekumpulan orang lumpuh yang berusaha bergerak, tidak punya ingatan tapi berjuang menjalani keseharian, tidak berdaya mengendalikan badannya sendiri tapi bertahan hidup. Neuron otak mereka mati dan beregenerasi berulang-ulang. Mereka sakit dan sembuh di waktu yang hampir bersamaan. Beberapa orang mulai berpikir bahwa barangkali kematian akan jauh lebih baik untuk para Scrapie."

Dia ini bicara apa?

"Tembok W adalah saksinya." Randall mengedikkan kepalanya seolah-olah tembok itu berada tepat di hadapan kami. Padahal, kami naik ke puncak bangunan panti asuhan sekali pun, mustahil bisa melihat tembok tersebut dari sini. "Tembok itu mulanya dirancang bukan untuk melindungi kita dari zombie."

"Apa maksudnya itu?"

Randall tersenyum, lalu mengangguk pamit. Dia masuk ke mobil, meninggalkanku dalam penyesalan mendalam karena tidak membuat lebam besar di matanya.

Aku kembali masuk ke dalam dan Toren merengut ke arahku.

"Buat apa kau mengonfrontasi mereka seperti tadi?" tuding lelaki itu. "Orang bernama Ahmed itu berita buruk! Dia hampir menggeledah bangunan ini gara-gara kau."

"Sudahlah," ujar Kamelia yang tangannya sibuk membereskan meja. "Lagi pula, pembicaraan kita berputar-putar. Nih,"—gadis itu mendorong nampan penuh gelas dan piring ke tangan Toren—"bawa ke dapur."

Toren masih mengomel ke nampan seraya menuju dapur.

"Dan aku harap kau juga lebih bisa menahan diri lain kali." Kamelia berkacak pinggang menatapku. "Aku paham kau marah. Aku juga jengkel setengah mati pada kedua polisi itu. Tapi tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menghantamkan kepalamu ke kepala orang lain. Mungkin menurutmu masalah ini bisa diselesaikan dengan cepat—memukuli mereka sampai mengaku. Tapi Pak Ahmed sama sepertimu—menurutnya, jalan keluar masalahnya juga sesederhana mengobrak-abrik tempat ini sampai menemukan Ilyas dan menyeretnya keluar. Toren dan aku ingin menghindari eskalasi semacam itu. Jika skenario yang terburuk terjadi, kau dan Ilyas tinggal minggat dari sini, tapi bagaimana dengan kami? Siapa yang membereskan kekacauan setelah dua polisi adu jotos dengan seorang kurir di panti asuhan?"

Aku mengatup bibir rapat-rapat, lalu terduduk di sofa. "Sori."

"Sori juga. Aku tidak bermaksud mengguruimu. Tapi seseorang harus mengatakan itu padamu." Dia menuangkan teh terakhir yang masih tersisa di ceret ke gelasku dan gelasnya sendiri. Kamelia kemudian duduk di sampingku. "Jadi, Kepala Polisi tadi bilang yang sebenarnya padamu, 'kan? Aku mendengarnya mengucapkan 'prion'. Itu apa? Virus?"

"Tidak tahu." Aku mengakui. Kuceritakan apa yang kuingat dari percakapan kami. Toren muncul di tengah-tengah ceritaku.

"Itu mustahil," celetuknya. "Penyakit prion tidak membuat orang jadi zombie."

Aku berdiri dan langsung berderap menuju anak tangga. "Aku mau tanya Ilyas."

Aku terus mengulang-ulang kejadian itu dalam kepalaku. Kalau Ilyas kembali nanti, aku harus menceritakannya lagi, selengkap-lengkapnya, secara berurutan.

Sambil berbaring di lantai beralaskan selimut tebal terhampar di antara kasur Ilyas dan kasur Emma, satu bantal di kepala, dan bantal lain di pelukan, aku mengutak-atik salah satu rubik yang tadi kuraih dari atas nakas. Aku pandai main ini sejak kecil, tapi tidak pernah bisa mengembalikan keseragaman warna di semua sisinya. Yah, yang penting, 'kan, cuma digeser-geser sampai warnanya menyebar ke mana-mana.

Ilyas masuk ke kamar usai menaruh nampan di dapur. Saat itu aku sedang berbaring miring menghadap Joo yang duduk manis di samping kasur Emma. Ketika aku menoleh, Ilyas sudah menutup pintu. Di tangannya, Ilyas membawa kotak P3K.

Ilyas meletakkan kotak itu di dekat kakiku. "Ini dari Kamelia. Dia bilang, kita bisa membawanya buat perjalanan besok."

Aku membuka kotak itu dan seketika memuja keapikannya. Perban, kapas, kain kasa, plester, dan tisu terkemas bersih dalam plastik terpisah. Semua botol dan setrip obat ditempeli kertas putih berselotip bertulisan tangan mengenai nama obat dan kegunaannya—pereda nyeri, obat alergi, hand-sanitizer, tetes mata, balsem, salep, dan sebagainya. Dalam kotak itu ada kotak lagi yang jauh lebih ramping berisi gunting, pinset, dan peniti.

Sementara aku mengganti perban di tangan, Ilyas mengganti perban di kakiku.

Saat Ilyas merapikan kembali isi kotak P3K, aku menceletuk, "Menurutmu kalau Joo minum hand-sanitizer, patogennya mati atau tidak?"

"Zombie tidak mempan diracun maupun dibius. Menurutmu bagaimana?"

Aku berdecak dan kembali menggeletak ke alas tidurku, lalu bangun lagi karena ada kotak rubik terganjal di bawah bantal.

"Dulu kau suka sekali main ini." Kuangkat rubik di tanganku. "Kenapa rubik-rubik itu tidak ada lagi saat terakhir aku datang ke rumahmu?"

Ilyas meraihnya dan dalam waktu singkat menyamakan warna-warna di semua sisinya lagi.

"Rubik-rubik itu membuat hidupku tidak tenang," jawabnya sembari meletakkan mainannya kembali ke nakas. "Emma terus mengacak warnanya, dan tanganku spontan membenarkannya. Padahal pekerjaan rumah terus menumpuk. Bahkan di saat Emma tidak mengutak-atiknya, mataku tertuju ke rubik-rubik itu dan tanganku gatal untuk menyentuhnya. Lama-kelamaan, aku tidak tahan melihatnya. Jadi, aku mengunci semuanya di laci."

"Aku paham perasaan itu. Tanganku juga gatal sekali ingin mampir ke wajah Randall dan Ahmed. Andai bisa, aku juga mau mengunci keduanya dalam laci."

Ilyas mendenguskan tawa kecil seraya menanggalkan mantelnya. Dia kelihatan begitu capek sampai-sampai tidak peduli lagi kalau aku bisa melihat beberapa bekas luka di lengannya karena yang dia kenakan saat ini hanya baju kaus abu-abu polos lengan pendek

"Ilyas, coba dengarkan aku sekali lagi."

Aku duduk bersila. Ilyas sendiri juga naik ke atas kasurnya dan duduk di sana, mendengarkanku tanpa bicara. Aku berusaha menjabarkan sekali lagi percakapanku dengan Randall sesuai kronologinya, tetapi kudapati diriku tetap melupakan detail-detail tertentu, yang mengharuskanku kembali ke bahasan sebelumnya, lalu melanjutkan cerita lagi ke tengah.

Bahkan setelah kukira ceritaku selesai, kudapati diriku menambahkan detail baru. Ternyata ingatanku buruk ....

Jawaban Ilyas masih tidak berubah. Menurutnya, mutasi pada protein tidak menyebabkan penyakit seekstrem wabah zombie dan kecil kemungkinan menjadi pandemi.

"Prion tidak mengendalikan sel inang seperti fungi, Cal. Padahal zombie-zombie tipe 1 itu, setelah dimutilasi pun, anggota badannya yang terpotong masih bergerak. Itu mustahil kecuali ada mikroorganisme lain bersarang di sana. Beda dengan virus atau bakteri yang bersifat parasit. Prion berbahaya karena penumpukannya. Yang membuatmu sakit saat terinfeksi adalah plak yang dihasilkan oleh terkumpulnya protein-protein yang salah melipat itu. Endapan protein-protein abnormal itu yang menyebabkan kematian sel, membuat otakmu berlubang-lubang kecil sampai jadi mirip spons."

Aku memandangi Joo dan mendadak paham kenapa kadang dia lebih bodoh dariku. Soalnya di dalam batok kepala itu ada busa cuci piring alih-alih otak.

"Kau mengerti, Cal? Itu sebabnya butuh bertahun-tahun sampai gejalanya muncul. Analoginya ... seperti kalau ada satu kurir pemalas di komunitasmu. Lalu, dia memengaruhi kurir lain. Butuh waktu lama untuk membuat sekian banyak kurir di sana jadi seperti dirinya. Tapi, saat dia berhasil, itu akan meruntuhkan komunitas kurirmu dari dalam."

"Wah, kurang ajar."

"Karena prosesnya panjang. Karena prion tidak beranak-pinak atau mereplika dirinya. Ia memengaruhi protein normal yang sudah ada agar menjadi prion abnormal sepertinya. Meski prion mengalami mutasi, aku tidak bisa melihat bagaimana bisa semua itu terjadi hanya dalam 6 jam. Bagaimana bisa gejalanya bisa seekstrem itu. Bagaimana bisa inangnya tidak mati-mati meski jantung mereka ditusuk dan lehernya dipenggal. Tidak masuk akal. Cacahan tubuhnya pun masih bergerak—itu pasti disebabkan parasit lain."

Lalu, aku teringat ucapan Randall mengenai para Scrapie.

"Ilyas, sel otak yang rusak bisa diperbaiki lagi, tidak?"

"Kemampuan regenerasi sel otak manusia memudar seiring pertambahan usia. " Ilyas berbaring kali ini, telentang menatap langit-langit, jari-jari kedua tangan terkait di atas perut. "Regenerasi itu takkan cukup untuk memperbaiki kerusakan."

"Jadi, kalau pun penderita prion bisa sembuh—"

"Tidak bisa sembuh, Cal." Ilyas menegaskan. "Prion bahkan tidak bisa musnah meski memakai alkohol, asam, radiasi, formalin, maupun dengan cara dipanaskan. Itu sebabnya kau akan tetap sakit kalau memakan daging sapi yang terinfeksi, tak masalah kau memasaknya sampai matang. Proses denaturasinya pun harus diekspos ke temperatur 475 derajat celsius ke atas. Itu seperti ... permukaan planet Venus, kurasa. Harus sepanas itu agar prion tidak bisa menginfeksi protein normal lainnya. Ia juga tidak bisa dihancurkan enzim tubuhmu. Ia bahkan berkembang jadi resistan terhadap obat antiprion di masa lalu."

"Tapi dulu kau pernah bilang tubuh manusia punya banyak reaksi apalah itu untuk menyembuhkan secara alami."

"Sistem imunmu juga tidak membantu sama sekali kalau kau kena infeksi prion. Prion itu mirip dengan protein yang sudah dikodekan dalam tubuhmu, jadi sistem imun di tubuhmu menoleransinya. Analoginya ... seperti PN yang harusnya menangkap penjahat. Tapi karena si penjahat memakai seragam polisi, mereka mengabaikannya."

"Tapi, katakanlah seseorang bisa sembuh dari prion." Aku bersikeras. "Bagaimana dengan sel tubuh yang sudah rusak?"

Ilyas menjawab, "Sel yang mati di tubuhmu bisa saja dikeluarkan, lalu digantikan sel baru. Jaringan tubuh manusia mampu melakukan itu. Untuk kerusakan yang terjadi di otak ... itu sulit. Tidak mustahil, tapi kau barangkali butuh obat-obatan dan terapi untuk mempercepat proses regenerasi sel otak. Sebagian besar kasusnya, kematian bakal mencapaimu lebih dulu sebelum otakmu memperbaiki dirinya. Kenapa kau ngotot sekali bertanya begitu?"

"Aku kepikiran kata-kata Randall mengenai para scrapie yang sakit dan sembuh di saat bersamaan. Atau ... hidup dan mati berulang-ulang. Atau apalah. Aku tidak paham apa maksudnya, tapi—" Aku mengerjap saat mendapati tatapan sengit dari Ilyas. "Aku belum bilang bagian itu, ya?"

Ilyas kelihatan jengkel luar biasa. "Kau tidak menyebutkan bagian itu sama sekali. Bagaimana kalimat persisnya?"

"Yah ... itu tadi. Tadi kusebutkan." Aku memutar-mutar bola mata, tetapi kalimat itu sudah hilang dari kepalaku. Sebelum Ilyas marah-marah, aku menyambar, "Tapi gejala zombie dan prion memang sama, 'kan? Selain bagian di mana mereka makan otak, maksudku."

"Memakan otak," kata Ilyas seraya bangun untuk duduk lagi. Dia mengangkat jari tangannya satu-satu. "Menggigit, dan memiliki kekuatan untuk mengoyak kepala manusia. Orang sehat sekali pun mustahil melakukan ini. Kau tahu seberapa kerasnya tengkorak kepala manusia, Cal? Rahang kita tak cukup kuat untuk memecah tengkorak manusia lain sampai terbuka seperti yang para zombie lakukan. Gigi kita tidak cukup tajam untuk itu. Meski seluruh fungsi tubuh zombie di bawah manusia normal, tapi kekuatan gigitan mereka setara beruang. Itu juga tidak masuk akal untuk pengidap penyakit prion.

"Tambahan lagi, kenapa penularan hanya lewat gigi? Kita bukan ular—kita tidak punya kantung racun di bawah mata untuk menyetok patogen sampai mengalirkannya ke gusi dan gigi. Kecuali penyakit itu bisa mengubah kelenjar ludah. Jika demikian, bertambah lagi gejala yang tidak sesuai dengan penyakit prion."

Ilyas diam sebentar. Matanya menelaah Joo.

"Joo," kata Ilyas mendadak. "Angkat tangan kananmu."

Joo melakukannya dengan gerak lambat dan sedikit gemetar.

"Usap kepalamu dengan tangan kananmu."

Joo mengangkat tangan kanannya lebih tinggi, berusaha mencapai puncak kepalanya sendiri. Butuh waktu lama, tetapi dia tetap berhasil melakukannya. Yah, meski kelihatannya lebih seperti menepuk-nepuk rambutnya ketimbang mengusap.

"Angkat tangan kirimu."

Kali ini, Joo mendapat masalah sedikit. Tangan kirinya tanpa sengaja mengenai mukaku saat dia berusaha mengangkatnya sejajar bahu. Padahal jarak tangannya dan mukaku lumayan jauh. Kelihatannya, tangan kiri itu seperti punya pikiran sendiri untuk terulur ketimbang terangkat.

Kemudian, aku teringat, Joo memang selalu menggendong Emma dengan memposisikan beban anak itu ke tangan kanannya. Joo juga hampir tidak pernah menggunakan tangan kirinya kecuali tangan kanannya ikut bergerak untuk menyokong gerakannya.

"Usap kepalamu dengan tangan kiri."

Joo baru mengangkatnya sejajar wajah saat tangan kiri itu tremor dengan hebatnya. Joo buru-buru menahan tangan kirinya dengan tangan kanan. Dia mati-matian mengarahkan tangan kirinya yang masih gemetaran ke ubun-ubun. Alih-alih mengusap, kelihatannya kedua tangan Joo seperti berkelahi dengan kepalanya sendiri.

"Itu," kata Ilyas seraya menunjuk Joo, "salah satu gejala CJD yang kutahu. Persis seperti gerakan tubuh Joo barusan. Tapi kekuatan tidak masuk akal yang dimilikinya untuk membobol pintu, memecah kaca, dan membuntuti kita sepanjang jalan sama sekali tidak mirip penyakit, apalagi gejala CJD."

"CJD?"

"Creutzfeldt—"

"Wah, oke, oke. Iya. Koit-felt jakun cakep desis. Penyakit yang disebabkan prion. Ingatanku oke, 'kan?"

"Creutzfeldt-Jak—"

"Ilyas, sudah, dong."

Ilyas menatapku datar. Ketika aku juga terdiam, dia menyambar kesempatan itu untuk merapalkannya seperti jampi-jampi, "Creutzfeldt-Jakob Disease."

Rasanya kepalaku ikut tremor seperti tangan kiri Joo.

"Karenanya kubilang penyakit prion tidak punya gejala seekstrem zombie yang kita tahu," lanjut Ilyas. "Gejalanya bahkan bisa saja berbeda-beda. Selain tremor, penderitanya bisa saja mengalami insomnia akut, ketidakseimbangan dan inkoordinasi, kesulitan berjalan dan bicara, depresi, kecemasan, kerusakan daya ingat dan pikiran, kaku otot ...."

Ilyas sepertinya juga menyadari apa yang kusadari.

"Mirip Joo," celetukku. "Itu semua gejala yang Joo punya. Dan beberapa zombie tipe 3 yang pernah kulihat. Bahkan ...." Aku berpikir sejenak, lalu bertanya pada Ilyas. "Apa kau pernah melihat perubahan dari manusia ke zombie, Ilyas?"

Ilyas menggeleng. "Bahkan ketika ada beberapa kurir yang tergigit di depan pintu rumah dan berubah di sana, aku takkan sebodoh itu untuk menontonnya."

"Yah, semua dokumenter dan film lawas itu selalu menampilkan para zombie yang menggelepar dan mengamuk tidak keruan selama masa perubahan maupun setelah berubahnya. Tapi, yang kulihat tidak begitu Ilyas. Tidak pernah sedramatis itu. Hanya sedikit gemetar seperti orang kedinginan, lalu mereka berubah begitu saja dengan begitu diam dan tenang. Ada pula yang seperti sedang meregang nyawa di atas tempat tidurnya—napas yang tidak teratur, menggigil ketakutan, lalu mendadak tidak ada respons lagi dan hanya menganga di sana sepanjang hari. Kita selalu diberi tahu kalau perubahan mereka begitu brutal, drastis, dan menakutkan. Tapi di mataku, orang-orang itu seperti jatuh lumpuh."

Ilyas kelihatan merenungi kata-kataku. Matanya menatapku dan Joo bolak-balik. Jari tangannya berputar-putar di atas seprai kasurnya. Cukup lama dia tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya Ilyas bicara lagi.

"Hanya karena kesamaan gejala, bukan berarti kita bisa mengabaikan gejala lainnya. Malah, penyakit yang membuat penderitanya menggigit orang itu disebabkan virus rabies."

"Berarti Randall membual." Aku menguap, lalu langsung berbaring telentang. Kupandangi langit-langit dengan mata berair karena mengantuk. "Aku yakin Kepala Polisi itu tahu sesuatu. Apa pula untungnya menyembunyikan informasi seperti itu? Kenapa tidak dibocorkan saja semuanya? Dia melontarkan hal-hal tidak masuk akal mengenai kerahasiaan dan keamanan dan sebagainya. Tapi, aku tidak bisa mengerti, bagaimana bisa tidak mengetahui sesuatu membuatmu aman?"

"Cal," kata Ilyas seraya berbaring miring menghadapku. "Coba bayangkan jika kesimpulan kita benar."

"Kesimpulan yang mana?"

"Bahwa memakan otak manusia bisa mengembalikan zombie jadi manusia. Asumsikan saja hal itu benar adanya, dan pemerintahan Nusa tahu. Lalu mereka mengumumkannya. Menurutmu, apa yang akan terjadi selanjutnya saat orang-orang tergigit zombie?"

"Apa?"

Ilyas mengernyit seolah heran, bisa-bisanya aku masih tidak mengerti.

"Katakanlah ayah dan ibumu masih hidup," kata Ilyas, "lalu mereka terinfeksi. Kau tahu otak manusia lain yang masih sehat bisa mengembalikan mereka. Tidakkah kau akan—"

"Tidak," jawabku penuh kepastian. "Orang tuaku takkan suka itu. Aku juga takkan suka jika seseorang melakukan itu saat aku terinfeksi. Mending mati dikremasi sebagai zombie daripada sembuh dengan membunuh manusia yang masih sehat."

Ilyas kehilangan kata-kata cukup lama. Pemuda itu melipat kedua lengannya di depan dada, lantas berpaling dariku, berbaring miring menghadap dinding.

"Mungkin kau tidak," ujarnya. "Tapi, aku akan melakukannya. Dan banyak orang sepertiku di luar sana. Karenanya, tidak semua informasi bisa kau berikan begitu saja."

"Tapi aku mungkin akan mempertimbangkan jadi perampok." Aku mengakui. "Ada beberapa bank otak di kota-kota besar untuk riset masalah zombie, 'kan? Kalau mereka tidak terima uangku, aku mungkin bakal merampok bank otak."

"Satu lagi alasan mereka merahasiakannya kalau begitu."

Aku melirik Joo yang masih duduk manis di sampingku. "Kau makan berapa banyak otak untuk bisa seperti sekarang?"

Si zombie menatapku seperti sedang mencerna pertanyaanku. Lalu, dia mengangkat bahu.

"Kau tergigit di mana, sih?" Aku berguling sampai berposisi tengkurap. Tanganku jail menyingkap kemejanya. "Permisi."

Saat menyibak ujung bajunya, aku melihat ada banyak bekas luka gigit di sisi kanan dan kiri dada sampai pinggangnya. Ada banyak bekas luka gores dan tikaman juga. Lalu, mataku jatuh ke lubang kecil kehitaman di bawah dada kirinya.

Kutunjuk luka itu. "Ini kenapa?"

"Seperti luka tembak," celetuk Ilyas. Kulihat pemuda itu tengah mengangkat tubuhnya sedikit dari posisi berbaring, kedua siku menyangga badannya yang tidak sepenuhnya duduk. "Andai dia tidak berubah jadi zombie, pria itu pasti sudah mati."

Aku mengerutkan kening. "Kalau Joo kembali jadi manusia nanti ... apa luka ini bakal membunuhnya?"

"Entahlah." Ilyas kembali berbaring. "Kita bahkan tidak tahu apakah perubahan mereka kembali jadi manusia itu artinya kesembuhan total atau hanya gejalanya yang jadi lebih ringan."

Aku menurunkan kembali baju Joo, lalu berguling ke posisi telentang dan menguap.

"Esc-z-3 ..." gumam Ilyas lagi. Aku tidak bisa melihat wajahnya dari bawah ini karena kami sama-sama berposisi telentang. Dia mulai bicara, tetapi aku tidak terlalu mendengarkan karena mataku telah terpejam dan kesadaranku mulai hilang. "Sistem imun ... scrapie yang sembuh dan sakit secara bersamaan ... yah, kalau protein menempel ke asam nukleat dan membentuk kapsid, ia bisa menjadi virus. Cal, mengenai Escapade yang pernah kau ceritakan itu, mereka sebenarnya unit macam apa?"

Aku ingin menjawab, tetapi tidak punya jawaban karena Serge jarang mau menceritakan masalah itu. Aku tidak ingat apakah aku membalas perkataan Ilyas atau tidak karena tahu-tahu aku sudah ketiduran.

Aku bangun saat mendengar suara di jalanan sayup-sayup. Ilyas masih tidur. Dan lagi-lagi tangannya melingkar di pinggangku. Kakinya menjepit kakiku. Padahal, aku yakin dia tidur di atas kasur tadi malam.

Ini bahkan tidak romantis lagi. Pemuda ini berguling semaunya, jatuh dari kasur, dan memeluk benda pertama yang bisa diraihnya. Kurasa ini refleks yang dia punya karena tidur dengan Emma selama bertahun-tahun, tetapi tetap saja ini kebiasaan tidur paling jelek. Bagaimana kalau yang ada di sampingnya ini bukan aku, tetapi Joo? Atau zombie lain? Atau orang lain?

"Ilyas." Aku menepuk punggung tangannya.

"Sebentar lagi," gumamnya malas di tengkukku.

Aku menarik napas dalam, sempat mempertimbangkan untuk menggaruk lengannya atau mencabut sehelai bulu di kulitnya. Namun, mataku jatuh ke garis kulit pada lengan atas bagian dalamnya, dekat lipatan lengan, terlihat lebih pucat daripada kulit di sekitarnya—mirip bekas luka sobek. Ini mirip luka yang dimiliki temanku dulu di Distrik Nava, saat kami main ke salah satu proyek bangunan terbengkalai yang belum jadi, dan betisnya tertancap paku. Temanku menarik kakinya karena kaget, membuat paku itu merobek kulit dan dagingnya sampai terbuka. Karena letak rumah sakit berjarak satu gunung dan satu sungai jauhnya, luka itu ditangani seadanya di puskesmas dan meninggalkan bekas yang sangat jelek.

Bekas luka di lengan Ilyas panjangnya seukuran jari kelingkingku. Tidak hanya satu, tetapi tiga garis. Entah benda apa yang menggoresnya. Kuurungkan niatku mencakarnya. Sebagai gantinya, aku mendorong perutnya pakai siku.

Mendorong. Bukan menghantam. Namun, sepertinya tenagaku kebesaran. Ilyas berguling kaget menjauhiku. Tangannya memegangi titik yang tadi kusikut.

Pemuda itu tersengal menatapku. Dia kebingungan sambil menengok ke kasurnya. "Kenapa aku di bawah sini?"

"Diangkut hantu," jawabku asal sambil menggaruk ke bawah baju, lalu menguap. "Jam berapa ini? Tadi rasanya aku mendengar suara di luar—apa itu pengumuman evakuasi?"

Tidak ada jam di ruangan ini karena kamar yang kami tempati memang sudah lama kosong. Jadi, aku berjalan ke jendela dan menyibak tirai.

Langit masih gelap, tetapi personel polisi memenuhi jalan. Mereka mendatangi tiap bangunan, barangkali mengisukan perintah evakuasi, lalu bergerak ke pintu bangunan lain yang masih berpenghuni.

Ilyas menyeruak ke sebelahku. "Suara mereka kecil sekali, tidak ada yang membawa pengeras suara, dan ini lantai dua. Bisa-bisanya kau mendengar mereka saat masih tidur."

"Telinga dan instingku bagus, tahu? Terutama kalau aku dalam keadaan waspada seperti sekarang. Kau ingat, 'kan, aku sudah mendeteksi Joo membuntuti kita sejak dari Renjani malam itu ketika kita baru pulang dari apotek—"

"Ya, dan kau tidak berkata apa-apa."

"Pokoknya, instingku kuat di saat-saat tertentu." Kualihkan pembicaraan lagi. "Serge saja sering menyebutku anjing terbaik sekampung karena aku bisa merasakan kalau ada maling atau hewan dari hutan yang masuk ke perkampungan."

"Kedengarannya itu bukan pujian, Cal."

"Makanya aku tidak mengambil tempat yang nyaman buat tidur." Kutunjuk alasku tidur semalaman di lantai yang terapit antara kasur Emma dan kasur Ilyas. "Soalnya kalau tidurku terlalu nyenyak, bisa-bisa aku tidak mendengar apa pun."

"Ah, ya, seperti saat kita disergap preman bayaran di penginapan di Distrik Arum." Ilyas mengatakan itu sambil bersedekap kasual tanpa menatapku. Mataya masih menelaah jalanan lewat kaca jendela. "Susah sekali membangunkanmu."

Cowok ini pendendam sekali, sih.

"Haruskah kita pergi saat evakuasi dimulai?" tanya Ilyas, masih memerhatikan jalan. "Atau setelah area ini dikosongkan?"

Aku menimbang-nimbang. Kulipat kedua lenganku di depan dada, meniru sikap tubuh Ilyas sekarang.

"Instingku bilang kita pergi sekarang."

Ilyas membalas, "Akal sehatku bilang mobil kita akan dicegat oleh barisan polisi ini jika pergi sekarang."

"Instingku yakin aku bisa menyetir menerobos mereka semua."

"Akal sehatku yakin itu akan membuat kita dikejar dan menarik perhatian Randall."

"Pakai instingmu sekali-sekali, Ilyas."

"Akal sehatmu di mana?"

Kami akhirnya saling melempar tatapan sengit pada satu sama lain.

"Pilihannya hanya dua." Ilyas berkeras. "Menunggu saat evakuasi baru akan dilakukan lalu langsung pergi lewat jalan belakang yang lebih sepi, atau keluar saat lingkungan ini kosong sama sekali begitu evakuasi selesai."

"Sekarang pun pasti jalanan belakang sepi. Rumah di barisan belakang hampir tidak ada penghuninya—kau lihat sendiri tadi malam saat kita masuk garasi."

"Tapi bagaimana dengan blok di belakangnya lagi? Bagaimana dengan jalur ke jalan tol? Lebih baik kita menunggu sampai semua polisi bergerak ke arah jalur evakuasi—"

"Itu terlalu lama!"

Ilyas baru hendak membalas lagi ketika pintu kami diketuk. Tanpa menunggu sahutan, Kamelia membuka pintu dan mengintip ke dalam. Ilyas langsung mundur selangkah ke belakang dan menyempilkan badannya ke celah antara dinding dan lemari, satu tangannya menarik tirai ragu-ragu, persis anak perempuan kepergok tidak pakai baju di dalam kamar. Lalu aku teringat dia memakai baju kaus lengan pendek di atas siku dan tidak suka bekas lukanya kelihatan oleh siapa pun.

"Baguslah kalian sudah bangun," kata gadis itu. "Bu Raiva tanya apakah kalian mau pergi sekarang. Sudah dua kali ada polisi yang menawarkan diri untuk membantu evakuasi anak-anak panti. Kata Bu Raiva, mereka bisa saja suruhan Randall yang diperintahkan memeriksa panti ini diam-diam untuk mencari Ilyas."

Aku mengulas senyum menang ke arah Ilyas. Namun, agar dia tidak terlalu mengambek padaku nanti, aku tetap menyuarakan kecemasannya.

"Kalau kami pergi sekarang, apakah mobil kami bakal dicegat PN?" tanyaku ke Kamelia. "Soalnya kami hendak pergi ke arah jalan tol."

Kamelia berjengit. Dia menatapku seolah-olah aku habis mendorong Ilyas dari lantai dua.

"Jalan tol sudah terinfeksi."

Aku mengangguk. "Kami tahu. Makanya kami ke sana."

"Sudah gila, ya?"

"Jawab saja pertanyaannya." Ilyas mendebas, agak terlalu ketus. "Kami bisa lewat atau tidak?"

"Jalanan belakang memang sepi. Dari sana sampai tiga blok belakangnya, tidak ada lagi bangunan yang berpenghuni. Tapi aku tidak bisa jamin di sana tidak ada PN sama sekali."

"Tidak masalah." Aku beralih menatap Ilyas. "Memang mustahil menemukan jalan yang tidak dijaga PN sama sekali. Bahkan usai evakuasi sekali pun, bakal tetap ada personel yang tinggal di sini untuk berjaga. Selama jalanan itu tidak dijaga ketat, aku bisa mengemudikan kita ke jalan tol dalam 5 menit."

Ilyas mendesah kalah. "Baiklah."

"Kalian sungguhan ke jalan tol?" Kamelia memastikan lagi. "Mobil takkan bisa lewat karena akses masuk sudah dibarikade. Kalau kalian nekat jalan kaki di jalan tol, kalian tidak waras."

"Saat wabah merebak tiba-tiba di sana, pasti ada banyak mobil ditinggalkan." Aku beralih menatap Ilyas lagi. "Artinya kita harus bawa aki dan mempersiapkan setidaknya satu jeriken bensin. Mobil-mobil itu sudah 7 bulan lebih tidak dinyalakan sejak jalan tol ditutup." Lalu, aku berbalik lagi ke Kamelia. "Kau punya denahnya sampai Kotatua, 'kan?"

Kamelia kelihatannya ingin memukulku. "Cal, kau membawa anak kecil, orang sakit, dan Ilyas. Kau serius—"

"Serius, Kamel." Aku mengacungkan ibu jari padanya. "Minta denah, ya."

Kamelia membuka mulutnya, tetapi kelihatannya sudah kehabisan kata. Akhirnya gadis itu mendesis menyerah. "Aku sudah memperingatkan. Turunlah buat mandi dan makan. Aku akan ambilkan denahnya."

Instingku dan akal sehat Ilyas setuju untuk mandi cepat-cepat dan tidak ikut sarapan di meja. Kami hanya menerima apa yang Bu Raiva berikan untuk bekal di jalan dan berusaha untuk tidak berlama-lama lagi. Kami semua sudah siap ke garasi saat beberapa anak bangun dan mengintip keluar dari masing-masing pintu kamarnya. Ilyas buru-buru mendorong Joo turun lebih dulu agar si zombie tidak menakut-nakuti mereka.

Tidak ada pamitan penuh haru atau acara salaman. Toren dan Ilyas bahkan masih tidak saling tegur sampai kami berada di garasi.

"Tunggu di sini sebentar, jangan jalan dulu." Bu Raiva memberi tahu dengan satu tangan menghentikan kaca yang baru akan kunaikkan. "Akan ada mobil boks dan minivan yang masuk sebentar lagi untuk membantu evakuasi anak-anak dan barang-barang mereka. Kalian bisa mengekori salah satu mobil yang jalan lebih dulu."

Benar juga. Dengan begitu, para polisi yang berjaga akan mengira mobil kami hanya salah satu kendaraan yang membantu evakuasi. Aku bisa langsung berbelok dan memisahkan diri di tikungan pertama.

Hanya berselang dua menit, mobil-mobil itu datang. Dua mobil boks, dua minivan, dan dua mobil polisi yang sirenenya dimatikan. Untunglah kaca jendela sedan kami super gelap karena, sesuai dugaan, Randall turun dari salah satu mobil polisi tersebut. Ilyas mengerut di kursinya dan memeluk Emma erat-erat di pangkuannya.

"Joo tidak pakai sabuk pengaman," celetukku untuk mengalihkan perhatian Ilyas.

Pemuda itu melirik kaca spion tengah untuk melihat si zombie di jok belakang. "Sabuk pengamannya kupakai untuk mengait handle pintunya. Joo keluar tadi malam dari mobil ini dengan mendobraknya sampai kuncinya rusak."

Aku menoleh dan melihat tali sabuk pengaman mengencang, melilit kuat pada gagang pintu, menjaganya agar tidak terbuka.

"Kayak Serge," komentarku. "Kakek tua itu dulu pernah mendobrak keluar dari mobil polisi karena tidak mau dievakuasi."

Ilyas akhirnya menegakkan diri di tempat duduknya. Mengapa dia mendadak tampak tertarik mendengar tentang si tua bangka, aku tidak paham.

"Kejadiannya beberapa hari setelah kehebohan mengenai lubang di tembok," ungkapku. "Tim evakuasi berusaha mengungsikan para manula lebih dulu. Soalnya di kampungku banyak orang tua yang tersisa sendiri atau tinggal berdua saja dengan pasangannya. Kurasa mereka dibawa ke panti jompo di kota terdekat. Serge tidak mau. Tim evakuasi saja sampai angkat tangan. Beberapa tentara yang saat itu bertugas menjaga perbatasan sampai mengancam bakal membuldoser rumahnya, dan Serge bilang dia tidak keberatan tinggal di hutan. Gara-gara Serge, para manula lain jadi ikut-ikutan tidak mau pergi. Karena saat itu belum diberlakukan darurat militer, dan para tentara tidak punya wewenang lebih dari sekadar berjaga, jadi PN yang turun tangan. Serge diangkut terakhir, dan dia mendobrak mobil polisi sampai kuncinya rusak, berguling keluar saat kendaraan itu masih melaju, lalu lari ke hutan. Beberapa hari kemudian, dia muncul lagi di rumahnya dan mengunci diri—menembaki siapa pun yang mendekat pakai ketapel."

"Kau bilang dia veteran, bukan? Apakah tidak ada catatan atau apa pun itu mengenai masa pengabdiannya?"

Aku menggeleng. "Hal semacam itu disampaikan dari mulut ke mulut saja. Generasi ke generasi. Malah, bagi beberapa orang tua di kampungku, cerita mengenai Serge itu bohongan. Aku mungkin juga bakal menganggap itu bualan andai tidak melihat foto-foto masa mudanya. Maksudku, siapa yang bisa percaya kakek itu sudah hidup sejak tembok dibangun dan masih sanggup bergelut dengan kerbau? Lagi pula, Serge bukan orang yang mudah diajak bicara—dia hampir tidak mau menceritakan detail apa pun tentang masa lalunya kecuali apa yang dianggapnya bisa mengajariku melawan zombie."

Sembari bercerita, mataku mengawasi pergerakan Randall sesekali. Pria itu sempat melirik ke sedan kami, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa—di hadapan anak buahnya sebanyak ini, dia butuh alasan untuk buka-buka mobil orang. Jadi, dia hanya berdiri di dekat mobil polisinya, mengawasi semua kendaraan. Seringnya, mata pria itu menatap ke pintu yang mengarah ke dalam bangunan, seolah menunggu Ilyas muncul dari sana.

Kamelia mengendap ke sisi mobil dan mengetuk kaca jendelaku. Dia bolak-balik mengangkat aki dan dua jeriken penuh bensin yang kelihatan masih baru dengan susah payah.

Aku baru akan keluar saat Ilyas menarik tanganku. "Ada Randall di luar."

"Tidak apa-apa. Dia tidak sedang melihat ke arah sini."

Karena pintuku memepet dinding garasi, aku bisa turun diam-diam dan membungkuk rendah untuk membantu Kamelia. Kubuka pintu belakang dan menaruh aki di samping Joo duduk. Dua jeriken bensinnya kutaruh di antara kedua kaki si zombie agar tidak jatuh.

"Dapat dari mana ini?" tanyaku pada Kamelia.

"Pondokan kecil di tikungan jalan ini bengkel. Pemiliknya mau memberikan ini saat Bu Raiva menawarinya barter."

"Barter?"

Kamelia menunjuk dua mobil boks yang terparkir. "Bu Raiva meminjaminya salah satu mobil boks itu. Saat evakuasi, cuma beberapa barang yang benar-benar dibutuhkan saja yang boleh dibawa. Tapi dengan mobil boks itu, dia bisa membawa barang-barang di bengkelnya dan seluruh keluarganya mengungsi ke kampung halamannya di Dhavlen."

Aku membelalak. "Mobil boks? Hanya untuk satu aki dan dua jeriken bensin? Bagaimana kalau mobilnya tidak balik lagi? Akses keluar-masuk Batavia pun ditutup. Dia mau lewat mana?"

"Entahlah. Kurasa tidak ada yang terlalu memikirkan sampai sana di tengah kepanikan, 'kan?" Kamelia mengawasi para personel PN yang sibuk mengangkuti kerdus-kerdus penuh barang anak-anak panti, lalu berbisik, "Semua orang kelihatan terburu-buru dan radio komunikasi mereka terus menyampaikan laporan beruntun. Tiap aku mendengarkan, mereka seperti mengubah tujuan evakuasi berkali-kali. Beberapanya karena sudah penuh ... atau tempat sebelumnya kena infeksi."

Kuedarkan pandangan ke semua kendaraan yang memenuhi garasi. "Saranku, kalian jangan keluar dari mobil apa pun yang terjadi. Aku dan Ilyas lolos dari gelombang zombie di pusat kota dengan berdiam di mobil."

Dari kursinya, Ilyas melirik ke arah kami. Dia pasti merasakan sengatan tatapanku karena kemudian dia memutuskan bicara.

"Cal benar," katanya ke Kamelia. "Bahkan sesampainya di kamp pengungsian, tetaplah di dalam mobil. Buatlah anak-anak menangis, bikin mereka merengek agar tidak mau dibawa turun, bawa stok makanan serta air dan wadah-wadah plastik bersama kalian—apa pun yang terjadi, bertahanlah di dalam mobil selama mungkin. Ajak sopir mobil-mobil ini tinggal juga."

Kamelia berubah murung. "Toren mengatakan hal serupa. Dia bilang ke Bu Raiva, tidur di mobil lebih menjamin."

Ilyas mengangguk. "Infeksi yang masuk ke kota ini masih sangat baru. Orang-orang yang tergigit pun pasti baru saja mulai berubah. Wabahnya tidak akan bisa dikendalikan sampai beberapa hari. Kamp pengungsian juga tidak sepenuhnya aman. Skenario terburuknya, hanya dengan satu kesalahan saja, kamp itu bisa berubah jadi tempat karantina. Jika begitu, kalian akan terjebak di sana bersama orang-orang yang baru terinfeksi. Mengurung diri dalam mobil akan memudahkan kalian langsung bergerak begitu gelombang zombie menyurut."

Kuberi Kamelia tips menghadapi zombie yang baru berubah—halangi dengan tongkat atau benda-benda berpermukaan lebar atau benda tumpul apa pun, jangan mencoba melawan, apalagi balas menyerang dengan benda tajam. Lari adalah satu-satunya pilihan. Jika zombie itu mampu berjalan agak cepat, bersembunyi dari pandangan mereka adalah pilihan terbaik. Jika zombie itu mampu berlari, tidak ada pilihan selain membela diri memakai senjata—incar mata dan telinga mereka, lalu cacah kakinya kalau bisa. Mendengar perkataanku, Kamelia kelihatannya seperti hendak menangis, jadi aku memeluknya sebentar.

Setelah mengucapkan terima kasih untuk kebaikan mereka, aku kembali ke jok pengemudi. Kupasang sabuk pengamanku.

Beberapa anak berbaris keluar dengan masing-masing menyandang satu ransel di bahu mereka. Anak-anak yang lebih tua menggandeng yang paling muda. Para polisi mengangkat keranjang-keranjang bayi dengan hati-hati, sesekali mengintip ke dalam sambil membuat muka-muka lucu.

Di sampingku, Ilyas kelihatan gelisah luar biasa.

"Kau cemas sama anak-anak ini?" tanyaku. "Atau kau takut Randall mengikuti mobil kita?"

"Bukan." Ilyas mengentak-entakkan sebelah kakinya dengan cemas. "Entahlah. Aku ... perasaanku tidak enak."

Sebetulnya, instingku juga merasakan tanda bahaya—seolah sebentar lagi akan turun hujan zombie atau para polisi mendadak mengepung mobil kami. Ini kurasakan sejak bangun tidur tadi. Namun, tidak ada gunanya aku menambah kepanikan Ilyas.

"Tidak ada yang perlu dicemaskan," kataku.

Kuturunkan kaca mobilku sedikit saat beberapa personel PN berderap lewat. Salah satunya tengah bicara ke radio komunikasi mereka. Aku berusaha mendengarkan isi laporannya, tetapi tidak bisa menangkap apa-apa.

Aku bersandar ke pintu dan menurunkan kaca sedikit lagi. Aku masih tidak bisa menangkap isi laporan dari radio komunikasi mereka, tetapi kedengarannya heboh sekali dan laporan-laporan itu masuk secara beruntun.

"Kenapa?" Ilyas mengernyit ke arahku.

"Semuanya baik-baik saja."

"Jangan bohong, Cal."

"Aman," dustaku. Tanganku siaga di kunci mobil karena salah satu mobil boks sudah dinyalakan mesinnya.

"Cal," kata Ilyas lagi. "Katakan—ada apa?! Kau ingat, tiap kali kau merasakan atau melihat sesuatu tapi tidak mengatakan apa-apa, keadaannya malah jadi buruk? Lubang di tembok, zombie yang membuntutimu sampai rumah kami, bahkan—"

"Biar adil," balasku, "jangan cuma aku saja. Seharusnya kau juga jujur kalau sedang menyembunyikan sesuatu."

"Apa?"

Sebetulnya aku tidak mau membahas ini sekarang, tetapi lama-lama muak juga jika tiap kali dia memojokkanku begini.

Aku tidak setolol itu sampai tak menyadari bahwa cowok ini berencana pulang lagi ke rumah lamanya di Renjani.

"Ayo kita buat perjanjian," desakku. Kunyalakan mesin mobil kami, membuat Randall yang masih menyender ke mobil polisinya menoleh. "Akan kuberi tahu padamu tiap kali instingku merasakan sesuatu—entah benar atau salah, aku akan memberitahumu. Sebagai gantinya, katakan padaku semua rencana atau kecurigaan yang dimiliki akal sehatmu. Semuanya. Jangan setengah-setengah. Jangan menghindari pertanyaanku."

Ilyas menelan ludah. Dekapannya ke tubuh adiknya mengencang. "Aku ... memikirkan perkataan Bu Raiva mengenai diriku yang mengendalikan gelombang zombie."

Bukan ini yang kumaksud, tetapi tetap saja aku terkejut.

"Kukira kau bukan tipe yang memusingkan hal tidak masuk akal macam itu."

"Aku berusaha tidak memusingkannya karena tidak masuk akal." Ilyas mengakui. "Tapi, Cal, gelombang zombie bergerak seperti arus sungai yang dalam dan deras. Tentu saja tidak masuk akal kalau ada manusia yang bisa mengendalikannya. Tapi, katakanlah gelombang zombie itu benar-benar bergerak ke mana pun aku berada ... ini sudah dua minggu sejak kita meninggalkan Renjani—jadi, maksudku ... Joo mampu tetap membuntuti kita sedekat ini karena dia sendirian, tidak menarik perhatian, dan sudah hampir kembali jadi manusia. Dia tidak lagi terdistraksi otak-otak orang hidup. Sedangkan zombie-zombie tipe 4 yang berlari memasuki Renjani saat kita pergi itu ... yah, mereka pasti membuat banyak pemberhentian, entah untuk mencari otak manusia atau dihentikan PN dan kurir. Jika begitu, masuk akal kenapa yang memasuki Batavia sampai saat ini hanya tipe 1 dan 2. Tapi ini sudah dua minggu. Para tipe 4 itu pasti sudah ...."

Aku langsung menginjak pedal gas. Aku tidak menunggu mobil lain keluar. Aku tidak menunggu Randall menghampiri kami. Aku tidak menunggu Ilyas menyelesaikan ucapannya.

Aku berbelok liar demi keluar dari garasi. Berkat manuver itu, tembakan yang diarahkan ke ban mobil kami berhasil kuhindari. Dari spion tengah, aku bisa melihat beberapa personel PN keluar dari garasi panti asuhan demi mengejar kami.

"A—" Ilyas tergagap. "Cal—"

"Untuk yang satu ini, instingku setuju dengan akal sehatmu."

Aku berbelok lagi. Emma menjerit heboh bersama decitan ban, lalu tertawa seolah kami sedang naik wahana. Di jok belakang, Joo terguncang hebat karena tidak memakai sabuk pengamannya.

"Bahkan jika kata-kata Bu Raiva tidak benar. Jika kau tidak bisa mengendalikan gelombang zombie, Ilyas—ketika gelombang zombie pertama menginfiltrasi Batavia kemarin, aku sudah menduga infeksi ini disebabkan para tipe 4 dari Renjani yang tengah berderap kemari."


Muehehehehehehehehehehehehehehehe trailer nya dah selesai


ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro