Bab 8
Pandangan Johan menggelap menatap dada yang basah dan tegang milik mantan adik iparanya.
"Biar aku bersihkan."
Mengambil tisu, tanpa sungkan Johan mengelap dada yang basah.
"Kak, aku bisa sendiri," ucap Lady dengan suara bergetar. Bagaimana tidak, tangan laki-laki yang lebar dengan jemari lentik mengusap dadanya. Putingnya yang sudah menegang kini makin tegang hingga rasanya menyakitkan. Ingin disentuh, dibelai, dan Johan membuat keinginannya tercapai.
"Ah, Kak, akuu, enaknya."
Johan tidak sabar dan mengangkat kaos, meremas dada yang besar dan bergumam dengan penuh nafsu. "Dadamu gede sekali, Lady. Siaal, gedenyaa. Putingnya juga gede."
"Ahh, Kak. Aku sukaa."
"Aku juga suka, Lady. Kenapa tiga tahun nggak ketemu bikin kamu jadi binal begini? Pingin ditiduri? Belum pernah dimasukin anu laki-laki, ya?"
Lady malu untuk menjawab karena perkataan Johan ada benarnya. Ia memang ingin bercumbu dengan laki-laki, tapi sampai sekarang belum punya pacar. Sudah lama iri dengar petualangan teman-temannya, bukan hanya tentang ciuman tapi juga petualangan sex yang menggebu-gebu. Lady merasa sudah cukup dewasa untuk mrelakukannya. Sentuhan Johan yang panas di dadanya membuatnya tanda sadar mendesah dan menyingkirkan rasa malu.
"Iya, Kak. Aku pingin, ah."
"Pingin apa?" Johan menjilati telinga Lady.
"Ditiduri."
Johan mendorong tubuh Lady ke meja dan membuka kaosnya. Menunduk untuk mengisap puting, jemarinya turun ke celana yang pendek, merogoh masuk dan tersenyum saat menyentuh area kemaluan yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Nakal, nggak pakai celana dalam ternyata."
"Di rumah, jarang pakai. Ah, Kak, aku, aah."
Johan tidak memberikan kesempatan pada Lady untuk berkelit, terus meremas dada, mengisap puting dan kini melorotkan celana dalam. Tersenyum pada gadis telanjang di depannya. Terlihat bukan hanya cantik tapi juga ranum dan mempesona. Lady yang dulu pemalu kini dengan berani mengatakan ingin ditiduri. Membuat gairah Johan melonjak tajam.
"Nakaaal kamu, tapi aku suka. Lady, nggak perlu malu-malu sama aku. Biar aku tunjukkan apa namanya bercinta dan seperti apa rasanya."
Johan berjongkok, mengangkat satu paha Lady dan mengecup paha yang mulus dan putih. Kepulangannya setelah beberapa tahun ternyata berbuah manis. Awalnya hanya ingin bertemu dengan mantan istri dan juga keluarga mantan mertua. Siapa sangka disambut oleh mantan adik ipar yang jelita dan penuh pesona. Suara erangan Lady bergema di dapur kecil dengan jendela yang terbuka. Tidak peduli kalau sampai ada yang melihat.
"Ahh, enaaknya, Kak."
"Nikmati saja, Lady. Nggak usah malu-malu kalau mau mengerang."
"Iya, aku, senang."
"Sama, aku juga senang kalau bisa bikin kamu basah dan menggelinjang seperti ini. Adik kecilku nggak lagi gadis lagu tapi jadi penuh nafsu."
Lady tidak dapat berkata-kata, hanya tersengal sambil menggigit bibir. Ternyata apa yang dikatakan teman-temannya itu benar. Bercumbu dengan laki-laki memang menyenangkan. Baru bertemu setelah beberapa tahun, Johan yang makin tampan dan keren membuat Lady menginginkannya. Lidah dan bibir Johan membuatnya terangsang dan basah. Ia meremas dada sementara pahanya membuka lebar. Hari ini apa pun yang terjadi ia harus bercinta dengan Johan. Merasakan kenikmatan cumbuan seperti halnya teman-temannya. Lady sudah menunggu lama waktu ini dan bersama mantan kakak ipar, siap berpetualang dalam percintaan.
**
Buket bunga bukan hadiah terakhir dari Kevin, setelah itu selalu ada hadiah yang datang untuk Milea. Dari mulai makanan yang tiba tepat di jam istirahat, kopi dari kedai terkenal, dan juga cokelat mahal. Milea kehabisan kata-kata untuk menjelaskan pada teman kerjanya yang bertanya dan hanya bisa menerima pemberian Kevin tanpa berani menolak.
Siapa yang akan menolak sushi lezat, kopi yang terbuat dari biji asli, serta cokelat impor yang harganya setara dengan dua bulan gajinya? Tidak ada yang akan menolak semua kemewahan itu termasuk Milea. Tidak peduli kalau kiriman yang diterimanya menimbulkan desas-desus yang penting makan dan bisa menghemat uang. Demi pindah ke tempat baru yang lebih layak dan jauh dari keluarganya yang serakah, Milea sanggup menerima beragam cibiran.
"Mukanya kayak orang bener, nggak tahunya simpenan."
"Eh, yang bener, lo? Dia ani-ani?"
"Lah, makanan, buket bunga, sama cokelat mahal dari mana kalau bukan om-om kaya?"
"Emang, sih, mencurigakan."
"Gaji dia berapa, sih? Mana sanggup beli cokelat mahal gitu?"
Milea tahu desas-desus berawal dari mana, tentu saja dari Atika yang sampai sekarang tidak terima dengan kekalahannya. Masih mengungkit-ungkit tentang pekerjaan kali lalu padahal sudah lama terjadi. Yang membuat kemarahan Atika dan Haris makin menjadi-jadi adalah Sektetaris Kevin yang makin sering memberikan pekerjaan untuk Milea, padahal semestinya pada senior dulu. Alih-alih merasa curiga akan sesuatu, mereka justru memilih untuk menjelek-jelekkan Milea di belakang punggung.
"Emang bener kamu ani-ani?"
Pertanyaan yang dilontarkan Danton saat Milea sedang menyeruput kopi membuatnya hampir menyemburkan cairan dari dalam mulut. Milea mendesah, menatap laki-laki muda berkacamata yang berdiri di depannya.
"Mulai kapan anak IT terlibat gosip?"
Danton mengangkat bahu. "Nggak tahu, cuma iseng aja dengar gosip soal kamu."
"Biarin aja, terserah mereka mau bilang aku apa."
"Kalau bukan ani-ani, harusnya kamu bela diri."
"Lah, kalau orang udah terlanjur nggak suka memangnya mempan apa?"
"Nggak sih."
Milea menatap Danton yang menjauh sambil menunduk. Merasa heran karena akhir-akhir ini laki-laki itu sering mengajaknya mengobrol. Padahal sebelumnya selalu bersikap acuh tak acuh dan hanya saling sapa seperlunya saja. Milea senang karena di antara orang-orang yang memusuhinya, masih ada yang ingin mengajaknya mengobrol.
"Mereka udah heboh perkara kiriman, gimana kalau tahu identitas yang ngirim?" gumam Milea menekuni pekerjaannya. "Jangan-jangan pada kena serangan jantung."
"Milea, dipanggil ke Bu Siska!"
Bukan karyawan lain yang mendapatkan serangan jantung tapi Milea saat namanya disebut. Ia bangkit dengan gugup, melewati deretan kubikel dan menerima lirikan sengit dari Atika. Dipanggil oleh si Sekretaris berarti ada pekerjaan baru dan penting untuknya. Bukan rahasia lagi, semakin banyak pekerjaan penting dilakukan maka kemungkinan untuk naik gaji dan jabatan akan makin cepat. Padahal Milea pegawai baru tapi bisa dekat dengan sekretaris adalah sebuah keistimewaan.
"Masuk! Tuan Kevin menunggu!"
Milea melongo di hadapan Siska si Sekretaris. "Apa? Pak Kevin?"
"Iya, beliau manggil kamu. Masuk sana!"
Milea tidak tahu kalau Kevin ternyata ada di kantor ini. Apakah masuk lewat pintu samping atau dirinya yang tidak fokus saat laki-laki itu datang? Ia merapikan kemeja dan rok lalu mendorong pintu hingga membuka.
"Pak, saya datang."
Kevin mengangkat wajah dari atas laptop. "Tutup pintunya!"
Milea menutup pintu di belakang, berdiri ragu-ragu mengamati Kevin yang sepertinya sedang sibuk.
"Malah bengong di sana. Kemari!"
Milea mengangguk, menghampiri Kevin dengan dada berdebar keras. Setelah percintaan malam panas waktu itu dan berakhir dengan dirinya melarikan diri, ini pertama kalinya mereka bertatap muka. Pandangan tajam Kevin membuat bulu kuduk Milea meremang. Ia baru mencapai sisi meja saat Kevin meraih pinggangnya dan menjepit di antara paha.
"Kenapa datangnya malu-malu gitu?"
Milea menggeleng cepat. "Nggak malu, Pak."
"Oh, lalu apa? Takut?"
"Nggak juga."
"Malu nggak, takut juga nggak, kamu bingung?"
"Ya, itu. Saya bingung."
"Apa yang bikin kamu bingung?"
Milea menelan ludah, kali ini benar-benar gugup dengan rentetan pertanyaan dari Kevin. Ia tanpa sadar mengusap lengan dan Kevin menjepit tubuhnya makin keras.
"Nggak ada, Pak. Cuma kaget tiba-tiba dipanggil. Nggak tahu kalau Pak Kevin ngantor di sini."
"Oh, masalah itu. Kirain apa yang bikin kamu bingung. Sudah beberapa hari aku ngantor di sini. Kamu lupa ada pintu VIP?"
Milea melongo. "Oh, benar juga. Ada pintu VIP."
"Aku sengaja nggak ngasih tahu kamu karena sibuk sekali. Sekarang waktu yang tepat." Kevin menarik leher Milea untuk mendekat hingga wajah mereka berjarak beberapa inci saja. "Mana ciuman selamat datangnya?"
"Pak, di luar ada Bu Siska."
"Nggak ada yang berani masuk tanpa ijin dariku."
Mile tidak membantah saat bibirnya dilumat dan dipagut, kenangan tentang percintaan yang panas kembali membanjirinya dan tanpa sadar membuatnya mendesah. Ia membuka mulut lebih lebar, membiarkan Kevin melumat bibirnya dengan lidah menyapu bagian dalam mulutnya.
"Bibirmu lembut, aku suka sekali Milea. Lebih suka lagi sama dadamu."
Kevin mengusap dada Milea dari atas permukaan kemeja, bibirnya bergerilya tiada henti untuk menghisap dan melumat.
"Dari waktu kamu pergi, aku sudah memimpikan hal ini terjadi dan sekarang kamu di sini."
Kevin menarik Milea hingga terjatuh di atas pangkuannya. Membuka kancing kemeja sementara bibir mereka bertaut. Saat kemeja terbuka, ada kamisol serta bra yang menghalangi. Kevin dengan tidak sabar menyelipkan tangan dari bawah kamisol untuk menyentuh dada Milea.
"Ah, lembutnya dadamu."
Milea menggelinjang, tidak mengerti tentang sikap Kevin. Di saat jam kerja bisa-bisanya mengajak bercumbu. Milea pun tak kuasa menolak, menerima ciuman, cumbuan, dan sentuhan Kevin di tubuh dan bibirnya.
"Paak, kita masih harus kerja," desah Milea.
"Kenapa kalau kerja?" Kevin kali ini mencumbu dada yang menyembul dari balik bra. "Dadamu tegang sekali. Pasti kamu nggak konsen kerja kalau terangsang."
Apa yang dikatakan Kevin ada benarnya, tidak akan konsen kerja dalam keadaan terangsang oleh ciuman dan cumbuan. Milea hanya bisa pasrah dengan Kevin yang kini meremas dada dan menghisap puting menegang. Tidak ada gunanya menolak karena Milea pun menginginkannya. Selalu teringat akan percintaan yang dasyat dan baru kali ini terulang.
"Rasanya nggak pernah puas untuk selalu dekat dan cumbu kamu, Milea."
Milea melenguh dengan Kevin menjelajah dadanya yang membusung.
.
.
Tersedia di google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro