Bab 15
Sepanjang hari Kiara dibuat gembira, bukan hanya makan dan menonton bersama Milea tapi juga belanja serta ke toko buku. Khusus untuk menonton, Kevin membooking satu studio premiere, dengan begitu bisa bebas dan privat. Makan siang di restoran yang menyediakan sushi dan sashimi. Saat belanja pun, Kevin dengan senang hati menunggui adiknya yang sibuk memilih pakaian serta aksesoris bersama Milea. Untuk kali ini hanya mereka yang pergi diikuti oleh sopir karena Retno tidak mau ikut.
"Milea, ini bagus buat kamu." Kiara menunjuk sebuah tas mungil untuk Milea.
"Nggak usah, aku sudah punya banyak dari Laura."
Mulut Kiara membentuk huruf 'O', menarik lengan Milea dan berbisik. "Kapan-kapan, kenalin aku sama si superstar sahabatmu itu."
Milea mengedipkan sebelah mata. "Beres!"
Selesai berbelanja, mereka memutuskan untuk pulang karena Kiara kelelahan. Meskipun sudah menolak tetap saja Kiara membelikan pakaian, tas, dan sepatu untuk Milea. Tidak tega menolak pemberian yang penuh harap seperti itu. Sebelum pulang Milea berjanji pada Kiara akan sering-sering datang bermain. Sebuah jani yang membuat wajah Kiara berbinar. Kevin mengantar Milea pulang sekaligus ingin tahu di mana tempat tinggalnya.
"Rumah saya kecil, Pak. Kontrakan sepetak saja."
"Memangnya kenapa kalau rumahmu kecil?"
Milea menggigit bibir menahan malu. "Takut Pak Kevin kurang nyaman."
"Milea, apa peduliku dengan tempat tinggalmu? Kalau kamu memang kurang cocok di sana, bagaimana kalau pindah ke rumahku? Ada banyak kamar untukmu."
"Eh, nggak, Pak. Saya nyaman kok di sini."
Milea tidak memberitahu rencananya untuk pindah karena memang belum cukup uang yang terkumpul. Ia hanya merasa tidak enak hati kalau Kevin yang terbiasa tinggal di rumah besar, mendatangi kontrakannya yang kecil.
"Ini tempatmu?"
"Iya, Pak. Kamar paling ujung!"
Kevin menghentikan kendaraan di halaman yang sepi. Kontrakan Milea terdiri atas petakan berderet dengan warna pintu yang sama. Cukup rapi dengan halaman yang memadai untuk memarkir kendaraan.
"Dulu saya di kamar nomor lima. Tepat di depan gerbang utama. Sekarang pindah ke kamar nomor dua belas."
"Kenapa pindah?"
"Kamar ini lebih besar, Pak. Buat nyimpan barang-barang dari Laura. Belum lagi belanjaan dari Kiara. Orang-orang ini suka sekali memberi saya barang. Silakan masuk, Pak."
Kevin melangkah ke dalam ruang tamu mungil dengan sofa kecil. Milea menyalakan pendingin ruangan yang sudah cukup tua terlihat dari warnanya yang kekuningan. Meski begitu cukup untuk membuat ruangan menjadi sejuk meski tidak sedingin yang diinginkan.
"Mau minum apa, Pak?"
Kevin menggeleng. "Nggak usah bikin apa-apa. Air mineral saja cukup. Boleh aku lihat-lihat?"
"Oh, ya, silakan, Pak," ucap Milea dengan gugup. Merasa minder karena kontrakannya yang kecil dan sedikit lusuh didatangi oleh Kevin. Ia tidak ingin dianggap tidak sopan, karena itu meskipun malu tapi membiarkan Kevin berkeliling.
"Ini kamarmu?" tanya Kevin. Membuka ruangan kecil dengan ranjang, meja, serta lemari. Semua perabotan yang ada serba mungil.
"Iya, Pak."
"Kamar ini untuk apa?"
"Menyimpan barang-barang. Pak Kevin mau lihat?"
Milea membuka kamar yang tetutup dan menunjukkan ada banyak kotak serta lemari penuh dengan pakaian.
"Laura baru saja memindahkan barang-barangnya ke rumah saya."
"Teman yang baik."
"Memang, karena Laura saya jadi punya pakaian keren."
Kevin menatap Milea, mengangkat dagunya lalu mengecup bibirnya dengan lembut. "Padahal tanpa pakaian-pakaian itu kamu sudah keren Milea. Terima kasih sudah menemani adikku selama dua hari ini."
Milea mendongak lalu menggeleng. "Nggak perlu terima kasih, Pak. Saya sendiri sangat senang bisa berteman dengan Kiara."
"Penerjemah yang hebat, aku bangga memilikimu."
Milea tidak punya kesempatan untuk mengelak saat Kevin menunduk dan melumat bibirnya. Ia membuka mulut dan membiarkan bibirnya dipagut serta dihisap. Kevin berciuman dengan penuh nafsu dan panas. Seakan tidak ingin memberikan kesempatan pada Milea untuk bernapas.
"Dari semalam aku sudah bergairah, Milea. Membayangkan dirimu di bawah atap yang sama denganku. Ingin sekali menyentuh tapi tidak biasa. Sialan! Aku terangsang sepanjang malam."
Milea mendesah saat jarinya dibawa ke selangkangan Kevin dan merasa tonjolan yang keras di sana. Kevin tidak bohong, memang sedang terangsang dan Milea pun merasa demikian. Tidak menolak saat Kevin membuka kancing bajunya satu per satu, dan membiarkan mini dress menumpuk di bawah kaki.
"Ah, dada ini yang membuatku rindu."
Kevin membuka kaitan bra dan meremas dada yang membusung dengan bibir terus melumat serta memagut. Tersenyum saat mendengar Milea mendesah. Ia menarik tubuh Milea ke aras sofa mungil dan memangkunya.
"Cantiknya kamu, Milea."
Milea membuka paha lebar-lebar dan meletakan kaki di samping tubuh Kevin. Kepalanya terlontar ke belakang saat bibir Kevin menjelajahi dadanya. Putingnya menegang penuh damba dan dihisap hingga mengkilat dan membesar.
"Pak, apa nyaman di sini?" tanya Milea di antara hasrat yang membara. Bibir dan mulut Kevin membuat gairahnya meningkat dengan pesat. "Aah, kecil soalnya."
"Biarin aja kontrakanmu kecil, yang penting dadamu besar."
"Paak ...."
"Aku serius, Milea. Nggak peduli di mana tempatnya asalkan bisa sama kamu." Kevin dengan enggan meninggalkan bibirnya dari dada Milea. Jarinya terus meremas dari dada hingga turun ke pinggang. "Kamu mau pindah ke hotel? Boleh aja, tapi setelah satu sesi."
Milea menggeleng, jarinya dengan nakal bergerak di selakangan Kevin yang tertutup celana. "Bukan saya tapi Pak Kevin takutnya nggak nyaman."
"Aku aman dan nyaman bersamamu, Milea. Ya, usap terus. Pintar ya jarimu ngusap-ngusap."
Kevin meneruskan apa yang baru saja dihentikannya, melumat puting dada tegak menantang. Mendesah karena jari Milea yang bergerak di selangkangannya dengan gerakan meremas. Ia mengangkat tubuh Milea, mulai melucuti diri hingga telanjang sepenuhnya. Kembali menarik Milea kembali ke atas pangkuan setelah celana dalam mini terlepas.
"Bukan cuma dadamu yang besar, pinggulmu juga aduhai Milea."
Akhir-akhir ini Milea sering mendengar pujian Kevin tentang tubuhnya, tetap saja suka mendengarnya. Menikmati pijatan lembut di pinggang, hisapan di dada dan dilanjutkan dengan belaian di area intim.
Milea dengan berani menggerakan jarinya di kejantanan Kevin yang menegang. Mengimbangi gerakan Kevin yang juga membuat tubuhnya panas dingin menahan hasrat. Ia membelai penuh perhatian, berusaha memusatkan pikiran pada cumbuan yang memabukkan.
Selalu seperti ini setiap kali mereka bersama. Satu sentuhan dan membuat semuanya luluh lantak. Dalam benak yang buram karena gairah, Milea teringat akan tulisannya tentang Lady dan Johan. Ternyata seperti ini menjadi keduanya yang tidak bisa menahan gairah tiap kali bersama, Milea terlontar dalam hasrat yang tinggi dan membara.
"Milea, Sayang. Ah, tubuhmu lembut sekali."
Jari Kevin meninggalkan dada Milea menuju ke area intim yang hangat. Membelai perlahan hingga membuat Milea menggelinjang.
"Sudah basah ternyata. Sudah siap untuk bercinta?"
Milea menggigit bibir dan mengangguk. "Iya, sudah siap."
Kevin tersenyum, melumat bibir Milea sekali lagi sambil terus membelai. Memastikan kalau area intim Milea benar-benar basah dan siap untuk dimasuki. Tidak ingin menimbulkan rasa sakit atau kondisi yang tidak nyaman karena percintaan mereka. Setelah yakin, Kevin mengangkat pinggang Milea tepat di atas tubuhnya dan mulai menyatukan diri.
"Aaah, siaal! Enaknya," erang Kevin sambil menggerakan tubuh.
Milea pun mendesah tak kalah keras, membiarkan Kevin memasuki dirinya sepenuhnya. Di ruangan kecil yang untuknya berpendingin udara, ia memeluk Kevin dengan erat dan bercinta dengan penuh hasrat. Tidak pernah terpikir kalau akan melakukan percintaan di tempat seperti ini.
"Ah, Pak. Saya, aah."
"Kamu kenapa, Milea? Enak?"
"Iya, Pak."
"Baguslah. Tubuhmu memang sepertinya tercipta untuk tubuhku."
Kevin terus mendesak, membuat Milea tidak hentinya mengerang. Keringat membanjiri tubuh dengan wajah memerah serta napas tersengal. Tidak puas dengan posisi yang sama, Kevin menjatuhkan Milea ke atas sofa lalu menindihnya. Sofa kecil itu berderit karena gerakan dan bobot tubuh mereka.
"Milea, aku bisa berlama-lama seperti ini bersamamu."
Milea mengatupkan bibir, pahanya terkait di pinggul Kevin dan menjepitnya. Bergerak seirama dengan tubuh Kevin yang keluar masuk di tubuhnya. Ia menggigit bahu Kevin yang kokoh saat mencapai puncak, memeluk leher dan mengecup bibir. Melakukan hal-hal intim yang tidak akan pernah terjadi dalam kesempatan biasa. Milea ingin menikmati saat seperti ini selama mungkin, hanya berdua bersama laki-laki yang sedang memenuhi tubuhnya.
"Aku suka bercinta denganmu, Milea."
"Pak, saya juga suka," ucapnya dengan parau. Di antara serbuan panas oleh percintaan mereka yang seolah tidak akan pernah berakhir. "Bercinta dengan Pak Kevin. Yaa, jangan berhenti, Pak."
Kevin tidak ada keinginan untuk berhenti, ingin terus menyatu bersama Milea seperti ini. Tidak peduli kalau mereka berada di ruangan sempit dan bercinta di atas sofa kecil yang lusuh.
"Tubuhmu enak sekali, Milea dan juga lembut."
Milea tidak dapat menjawab saat gerakan Kevin berhasil menusuk ke pusat dirinya. Hasrat memijar dari dalam dirinya dan menyebar dari kepala hingga ujung kaki. Ia memeluk Kevin erat-erat sambil mengerang dengan panjang. Merasakan kepuasan melingkupinya.
"Aaah, Milea. Terima kasih untuk hari ini," bisik Kevin saat mencapai puncak dan berbaring lemas di atas tubuh Milea.
Tanpa kata-kata manis penuh rayuan apalagi pernyataan cinta, keduanya saling memeluk dengan tubuh bersimbah peluh. Kalah oleh nafsu yang merongring jiwa dan membuat tubuh bergejolak. Milea merasa bagian terbaik dari hidupnya adalah saat Kevin berada dalam dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro