Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Kevin bangun tidur dalam keadaan sedikit linglung karena terangsang. Pikiran yang terbentuk kalau ada Milea di dekatnya dan hanya terpisah beberapa jengkal saja, membuatnya berharap sepanjang malam. Ingin sekali Milea mengambil kesempatan mendatangi kamarnya. Dengan begitu mereka bisa mencuri-curi waktu untuk bercinta. Sayangnya harapan dan keinginan tidak terwujud karena dari malam hingga sekarang ini, Milea tidak menemuinya.

Bayangan erotis tentang percintaan penuh gairah dan berpeluh membuat Kevin menggerutu kesal. Baru kali ini sangat berharap seorang perempuan menemani tidurnya. Padahal biasanya selalu sendiri. Ia ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi lalu berganti pakaian. Ke ruang makan untuk sarapan bersama tapi ternyata tidak ada Kiara dan Milea.

"Kiara sama Milea pergi ke taman, Pak," ucap Retno dengan senyum lebar.

"Sepagi ini?" tanya Kevin heran.

"Pak, sekarang udah siang. Jam sembilan dan matahari juga udah tinggi."

"Oh, ya, benar juga. Mereka udah lama pergi?"

"Nggak, baru aja pergi. Kiara senang karena punya teman mengobrol. Ketawa melulu, Pak. Nggak pernah saya lihat Kiara sebahagia itu. Kayaknya Milea cocok sama dia."

Kevin menyesap kopi panas dengan hati gembira. Keluarga dekatnya yang tersisa hanya Kiara. Tentu saja kalau adiknya bahagia ia merasakan hal yang sama. Selama ini sangat sulit membujuk Kiara agar mau bergaul, alasan utama penolakan tentu sama ras minder. Kiara juga berpendapat tidak ingin berteman dengan orang hanya karena merasa kasihan melihat keadaannya, atau pun merasa tidak enak hati karena statusnya sebagai adik direktur besar. Ternyata bersama Milea semua ketakutan Kiara sirna. Seandainya tahu lebih awal ia sudah mempertemukan mereka berdua.

Dipikir lagi, tidak mudah mempertemukan Milea dan Kiara tanpa alasan yang jelas. Adiknya pasti curiga kalau ia membawa seorang gadis ke rumah. Begitu pula dengan Milea, belum tentu mau diajak ke rumah ini tanpa alasan jelas. Untungnya tadi malam Kevin membuat keputusan untuk mengajak Milea ke rumah sakit, dengan begitu pertemuan tanpa direncanakan dengan Kiara berhasil.

Selesai sarapan Kevin berniat untuk olah raga di ruang gym. Ada tamu tak terduga yang membuat rencana olah raganya gagal. Sang paman datang bertamu dan mereka mengobrol di ruang tengah.

"Aku dengar adikmu masuk rumah sakit?"

"Iya, UGD dan sudah pulang."

"Kenapa?"

"Makan cokelat. Asma dan ruamnya kambuh."

"Gadis penyakitan!"

"Paman, tolong dijaga ucapannya."

Ismael mengangkat bahu tidak peduli dengan kemarahan Kevin. Sudah biasa menghadapi sikap keponakannya. Ia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Di usia mendekati enam puluh, Ismael masih cukup bugar dengan tubuh kokoh dan rambut hitam. Dari semenjak orang tua Kevin meninggal, tugasnya untuk mengawasi rumah ini dan penghuninya. Tidak pernah ada masalah dengan Kevin, keponakan yang sempurna dan sangat membanggakan tapi tidak dengan si adik.

"Yang aku katakan benar adanya, Kevin. Kamu nggak bisa menyalahkan aku. Untuk apa marah kalau kenyataannya adikmu itu memang penyakitan?"

Kevin mengepalkan tangan di atas pangkuan, menahan gejolak amarah karena perkataan Ismael. Meskipun hubungan mereka dekat, tapi tetap tidak semestinya kata-kata kasar itu keluar dari bibir Ismael. Bagaimana kalau Kiara mendengar, hatinya bisa hancur karena hinaan dari sang paman.

"Paman boleh bicara kasar, apa pun itu terserah kalau soal aku. Tapi jangan sampai tercetus untuk Kiara apalagi sampai dia mendengarnya."

"Bukannya dia nggak ada di rumah?" Ismael celingukan menatap ruangan besar yang kosong dan hanya ada mereka berdua. "Biasanya dia mondar-mandir di kursi roda."

"Kiara ada di taman."

"Baguslah, jadi nggak dengar pembicaraan kita." Ismael mengetukkan rokok di asbak hingga membuat abunya berterbangan mengotori permukaan meja kaca. "Seharusnya kamu mendengar apa kataku. Membawa Kiara dan Bude ke luar negeri dan biarkan tinggal di sana. Dengan begitu kamu bisa menikah."

"Apa urusannya antara pernikahanku dan Kiara?" tanya Kevin dengan kesal.

"Banyak! Kamu aja yang nggak tahu. Selama ini aku banyak sekali memperkenalkanmu dengan para perempuan muda yang cantik dan setara dengan kita. Mereka anak-anak orang kaya yang akan mendukung bisnis kita. Semuanya menyukaimu tapi keberatan kalau harus mengurus Kiara."

Kevin menoleh cepat pada sang paman. "Mereka itu siapa saja? Kalau nggak salah, aku hanya ingat satu orang saja Davinka dan itu pun gagal karena aku merasa nggak cocok."

Ismael menunjuk Kevin dengan tangannya yang memegang rokok. "Davinka termasuk yang tidak neko-neko. Mau menerima keadaanmu biarpun punya adik cacat tapi yang lain? Mereka tidak sepakat kalau berumah tangga ada adik yang merecoki."

Kevin menyilangkan kaki dengan geram. Makin lama bicara dengan sang paman makin memancing emosinya. Ia tahu diri dan posisi karena itu menjaga sikap. Bagaimana pun sebagai keponakan harus menghormati Ismael sebagai adik dari si ibu. Namun cara bicara Isamel terus menguji kesabarannya. Di dunia, tidak ada seorang pun kakak yang suka kalau adiknya dihina dan direndahkan. Terlebih Ismael yang ikut campur dalam kehidupan pribadinya sudah dirasa sangat keterlaluan.

"Seingatku, urusan dengan Davinka sudah selesai. Aku sudah menegaskan kalau hubungan kami tidak akan ada masa depan."

"Kevin, dia itu perempuan yang cocok untukmu. Setara dengan kita dan juga mau menerima keadaan adikmu. Bersedia kalau harus merawat Kiara seumur hidup! Apalagi yang kurang sebenarnya?"

"Tidak ada yang kurang dari Davinka. Seperti kata Paman, dia perempuan hebat. Setara dalam segala hal tapi bukan untuk menikah. Aku tidak ingin hal pribadi tentang pernikahan menjadi urusan Paman!"

Keadaan ruang tamu menjadi sedikit tegang setelah bentakan Kevin. Ismael terdiam, menahan amarah karena penolakan keponakan untuk keputusan yang diambilnya.

"Susah payah aku mencari perempuan yang cocok untukmu, seeanaknya saja kamu menolak Davinka."

Kevin mendesah lelah. "Paman, aku nggak menolak secara langsung. Waktu diperkenalkan, aku sudah mencoba untuk mendekatkan diri dengannya. Mencoba bergaul dengan bijak tapi kenyataannya memang tidak cocok."

"Apanya yang nggak cocok? Kepribadian atau sikap? Bukannya itu bisa berubah seiring waktu? Yang penting adalah kalian setara!"

Kevin memang mengakui kalau dirinya dan Davinka adalah pasangan setara. Sama-sama kaya, mandiri, dan berasal dari keluarga pebisnis. Awalnya ia sempat punya pemikiran ingin mengenal Davinka secara lebih jauh tapi satu kejadian mengubah pendapatnya. Sampai sekarang pendapat itu tidak berubah meskipun Ismael mendorongnya untuk menerima Davinka.

"Paman, aku minta tolong mulai sekarang jangan ikut campur urusanku terutama soal jodoh. Aku bisa mencari sendiri mana yang cocok dan mana yang tidak buatku. Lagipula yang menikah adalah aku, kenapa Paman yang repot?"

"Anak tak tahu diuntung! Padahal yang aku lakukan demi kebaikan kamu. Di keluarga De Jong, kamu adalah calon pewaris kuat. Meski begitu ada banyak sepupu-sepupu dari pihak ayahmu yang bisa setiap saat merebut posisimu. Sebagai paman aku hanya ingin membantumu mendapatkan dukungan yang kuat. Apalagi yang kamu inginkan sebenarnya?"

"Aku ingin satu hal, Paman berhenti merecoki hidupku dan Kiara."

Ismael belum sempat menjawab saat dari pintu muncul Milea yang mendorong Kiara. Keduanya tertawa lepas dengan wajah merah karena matahari dan keringat. Milea menghentikan kursi roda di tengah pintu samping. Melihat sikap Kevin dan laki-laki tua di sampingnya yang kaku, sepertinya sedang ada pembicaraan serius. Milea kebingungan, apakah harus meneruskan langkah atau berbalik arah.

"Paman, apa kabar?" sapa Kiara nyaring.

Ismael menatap Kiara yang duduk di kursi roda lalu pada Milea yang berdiri di belakangnya. "Perawatmu baru? Bukan Bude lagi?"

Kiara menggeleng. "Milea ini temanku bukan perawatku."

Ismael mendengkus keras. "Mana ada teman di jaman begini? Kamu gadis polos, jangan sampai ditipu orang luar!"

"Milea bukan orang luar. Dia pegawai di kantorku," sergah Kevin. "Paman, tolong jangan mudah menghakimi seseorang tanpa mengenalnya."

Ismael bangkit dari sofa, menatap lekat-lekat pada Milea yang berdiri di belakang Kiara. Awalnya ia tidak suka dibantah hanya karena pegawai rendahan yang tidak ada hubungan keluarga dengannya tapi satu rencana terbentuk di benaknya.

"Bagus kalau Kiara bisa berteman dengan seseorang. Akan lebih bagus kalau perempuan ini membantumu mengurus Kiara, dengan begitu kamu bisa menikah, Kevin."

"Paman! Tolonglah!"

"Jangan menbentakku!" Ismael menghela napas panjang lalu menyipit pada Kevin. "Sebagai orang tua aku sama sekali tidak dihargai di sini!"

Melesat pergi bahkan tanpa berpamitan, Ismael meninggalkan tanya di benak Milea. Ternyata selalu ada satu orang dalam keluarga yang menimbulkan kegaduhan. Dalam keluarga Laura ada Jaka dan anak-anaknya, di keluarga Milea sendiri semuanya kurang ajar. Ternyata Kevin pun punya keluarga yang tidak sesempurna yang terlihat. Secara naluriah ia mengusap perlahan bahu Kiara. Kata-kata yang ditinggalkan sang paman sangat kejam dan pasti menyakiti hati.

Kevin mendekati adiknya yang menunduk. Ia mengangkat dagu Kiara dan memiringkan kepala.

"Karena ada Milea di sini, bagaimana kalau kita menonton film sekalian makan di luar?"

Kiara terbelalak penuh harap. "Nonton film, Kak?"

Kevin mengangguk. "Benar, kita bisa nonton rame-rame. Bukan hanya bertiga tapi ajak Bude juga kalau mau. Gimana? Milea kamu mau nggak?"

Tanpa ragu Milea mengangguk. "Mau, Pak. Saya udah lama nggak nonton film."

"Kalau Milea mau, aku juga mau, Kak."

"Ya sudah, kalian ganti baju sekarang. Aku tunggu sambil booking tempat."

"Horee, ayo, Milea. Kita dandan yang cantik buat jalan-jalan."

Milea mendorong kursi roda Kiara ke kamar, menerima tatapan penuh terima kasih dari Kevin. Ia tahu kalau Kiara sedang kesepian, dengan adanya dirinya keceriaan menghiasi wajah cantik yang biasanya selalu murung. Milea dengan senang hati akan menjadi teman baik bagi Kiara. Bukan karena rasa iba atau kasihan, tapi memang cocok. Sama sepertinya halnya persahabatannya dengan Laura.

.
.
.
Cerita ini sedang open PO.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro