Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Sepanjang malam Milea menemani Kevin menemui banyak klien. Pembicaraan selalu terarah pada investasi, rencana pembangunan pabrik baru, dan banyak hal lagi. Ada beberapa pembicaraan mengenai Devon juga. Menurut informasi yang didengarnya Devon tidak bisa datang ke pertemuan malam ini karena sedang ke luar negeri. Sedikit sekali waktu digunakan Milea dan yang pegawai lain untum istirahat karena banyaknya orang yang menunggu untuk bicara dengan Kevin.

"Kamu capek nggak?" tanya Siska pada Milea yang berdiri di belakang Kevin. "Dari tadi aku lihat kamu belum minum sama sekali."

Milea mendekatkan kepala pada si Sekretaris. "Saya nggak apa-apa, Bu. Pak Kevin juga nggak sempat minum karena terlalu banyak orang mengajak bicara."

"Jangan sampai minum alkohol kalau begitu. Kamu juga Milea."

"Iya, Bu."

Milea tidak akan menyentuh alkohol malam ini meskipun disediakan. Tugas dan pekerjaannya sangat berat, ia harus tetap dalam kondisi segar dan waras. Alkohol akan membuat otaknya buram.

Untungnya dua jam kemudian para tamu berpindah ke ruangan sebelah untuk makan malam bersama. Kali ini hanya Milea yang satu meja dengan Kevin, sedangkan pegawai lain berada di meja yang berbeda. Tidak ada Davinka bersama mereka karena mendapatkan meja yang terpisah.

"Makan yang banyak, kamu pasti kelaparan karena semalaman kerja tanpa henti," ucap Kevin di sela-sela percakapan riuh para tamu di meja.

"Saya memang berencana makan banyak, Pak," jawab Milea. Menunjuk hidangan di atas meja dengan dagu. "Bila perlu menandaskan semua yang ada di sini."

Kevin menaikkan sebelah alis. "Kamu lapar apa ngamuk?"

Milea tertawa lirih menutup mulut dengan tisu. "Lapar berat."

"Kayak perutmu muat aja nampung semua makanan."

"Dari dulu saya terkenal makannya banyak, Pak. Laura saja tahu soal itu. Makanya kalau ke penthouse yang pertama saya lakukan pasti minta makan."

Kevin melirik Milea yang sedang mengunyah daging bebek yang malam ini dipanggang dengan saus istimewa. Daging menjadi lembut tapi kulitnya krispi. Aroma rempah mengurah dari makanan yang berada di atas meja. Beberapa tamu menuang anggur ke gelas tapi sama seperti Milea, malam ini Kevin juga tidak ingin minum.

Mengingat tentang alkohol Kevin membayangkan malam panas bersama Milea kali lalu. Setelah malam itu mereka belum bercinta lagi karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sesekali Kevin memang mengajak bercumbu atau bermesraan Milea tapi tidak lebih dari remas dada dan usap area intim. Menjaga dirinya agar tidak bertindak terlalu kebablasan meskipun nafsu menguasainya.

"Aku dengar dari Pak Devon mereka akan pindah dari penthouse?"

Milea mengangguk dengan mulutnya mengunyah. "Ke rumah baru yang sekarang sedang diperbaiki."

"Kamu sudah lihat rumah baru mereka?"

"Sudah pernah ke sana sekali. Katanya mau adakan syukuran kalau pindah."

"Rumah memang lebih bagus kalau ingin punya banyak anak."

"Memang mereka berencana punya banyak anak. Kak Devon dan Laura pun sepakat. Soalnya keduanya suka punya rumah ramai dengan banyak anak-anak."

"Pasangan yang luar biasa."

"Benar Pak, Kak Devon dan Laura memang luar biasa."

Kevin mengusap lembut paha Milea dari bawah meja dan berbisik. "Kamu juga luar biasa, Milea. Malam ini semua orang memujimu sebagai pegawai yang tanggap dan cekatan. Kamu menerjemahkan dengan lugas seakan kamu pernah tinggal di Taiwan atau China."

Milea menoleh, mengabaikan usapan lembut di paha yang menimbulkan gelenyar di tubuhnya. Kevin selalu punya cara untuk membuat kesadarannya oleng dengan tindakan yang tiba-tiba dan di luar rencana. Milea berdehem kecil lalu menghela napas panjang. Harus tetap sadar, tidak boleh terpengaruh oleh sentuhan apalagi belaian Kevin yang makin intim.

"Pak, Anda juga orang yang luar biasa. Bisa-bisanya bersikap sok polos padahal tangan bergerilya."

Kevin terkekeh, mendengar celoteh Milea yang menggemaskan. Orang di sampingnya bertanya apa yang lucu dan dijawab tentang pembicaraan mengenai bebek panggang. Setelah itu Kevin terlibat pembicaraan serius dengan beberapa orang di meja dan melupakan Milea. Tidak dapat dipungkiri kalau seorang direktur tetaplah orang yang berbeda, meskipun dalam situasi apa pun pekerjaan tetaplah yang utama. Baru lima menit lalu Kevin membelai paha Milea dan kini sibuk membahas proyek pemerintah.

Milea menoleh saat klien dari Tiongkok yang merupakan perempuan berusia empat puluh tahun dengan rambut pendek dan berkacamata mengajaknya bicara. Mereka mendiskusikan tentang rencana pertemuan selanjutnya dan Milea mengatakan akan menyampaikan keinginan si klien pada Kevin dan staf.

Acara makan malam selesai dilanjutkan dengan perbincangan santai. Kali ini alkohol lebih banyak keluar dengan band pengiring mendendangkan lagu-lagu jazz di sudut ruangan. Milea menikmati coctail tanpa alkohol dan sedang bicara dengan salah seorang asisten Kevin saat Davinka mendekat.

"Siapa namamu tadi?" tanya Davinka tanpa basa-basi.

Milea menegakkan tubuh. "Nama saya Milea, Nona."

"Nama yang bagus dan enak didengar."

Dengan tatapan mata Davinka meminta si asisten untuk menjauh. Laki-laki itu mengangguk kikuk dan menghilang di keramaian. Meninggalkan Milea dan Davinka mengobrol berdua.

"Berapa lama kamu kerja ikut Kevin? Maksudku sebagai penerjemah? Apa kamu melamar memang untuk penerjemah?"

Rentetan pertanyaan Davinka membuat Milea seolah diintrograsi. Ia mengatupkan mulut, memikirkan sesaat cara menjawab yang baik dan tidak menyakiti siapapun. Sebenarnya hubungan Davinka dan Kevin, apa pun itu bentuk hubungan tidak ada kaitan dengannya tapi tetap harus bijak dalam menjawab. Milea merasa jangan sampai terjebak dalam permusuhan yang tidak semestinya terjadi.

Milea belum sempat menjawab saat beberapa orang datang untuk menyapa Davinka. Terlibat dalam basa basi tentang makanan dan inti pertemuan, Davinka melupakan sesaat kehadiran Milea di sampingnya. Meski begitu Milea tidak ingin beranjak tanpa berpamitan. Ada sopan santaun yang harus tetap dijunjung tinggi dalam segala situasi.

"Milea, kamu belum jawab pertanyaanku." Davinka berujar saat para tamu sudah beranjak dari hadapannya. Kali ini pandangannya tertuju sepenuhnya pada Milea. "Kamu memang melamar khusus untuk jadi penerjemah. Apakah kamu tahu kalau boss kamu adalah teman dari suami sahabatmu?"

Milea mendesah karena Laura dibawa-bawa dalam masalah ini. Terus terang ia tidak menyukai kalau sahabatnya harus terlibat dalam urusan pribadi.

"Saya berkata secara jujur, Nona. Kalau awalnya tidak tahu akan bekerja dengan teman dari Kak Devon."

Davinka mengernyit. "Kamu manggil Pak Devon, kakak?"

"Iya, kami udah kenal lama sekali. Dari saya masih remaja udah akrab. Sulit untuk ngubah panggilan dari kakak ke pak, karena takut aneh." Milea mengulum senyum, teringat pertemuan pertama dengan Devon yang saat itu kencan bersama almarhum Lori. Waktu berlalu cepat sekali tanpa terasa kini Devon menjadi suami Laura. Tanpa sadar Milea menggumam sedih karena teringat Lori. "Rasanya baru kemarin kami bertemu pertama kali."

"Berarti saya kita bertemu di restoran itu pertama kalinya kamu kenal bossmu?"

Milea mengangguk. "Benar."

"Setelah itu langsung jadi penerjemah pribadi?"

"Nggak, Nona. Saya di bagian penerjemah dokumen bersama beberapa orang lainnya. Sampai beberapa waktu lalu Pak Kevin pindah ke kantor kami dan saat itulah saya jadi penerjemah pribadi."

Davinka terdiam, mengamati Milea yang menunduk di sampingnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Milea, tidak bersikap kurang ajar, tutur kata pun sopan dan santun. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Davinka terusik. Entah apa itu, ia akan mencari tahu.

"Setelan yang kamu pakai sekarang adalah merek mahal. Sebenarnya aku bukannya usil atau bagaimana tapi sepertinya gaji penerjemah pribadi sangat tinggi. Sampai-sampai bisa membeli pakaian mahal."

Milea menghela napas panjang, kalau bisa teriak sudah berteriak keras sekarang. Ide Davinka mencari gara-gara dengannya sangat kretif. Dimulai dari pekerjaan dan kini merembet pada pakaian.

"Nona, pakaian ini saya dapatkan dari Laura."

"Ah, sudah aku duga. Karena seorang pegawai biasa tidak mungkin sanggup membeli mereka semahal itu. Maaf, bukan aku menghinamu tapi kenyataannya begitu."

"Semua yang Nona katakan benar. Pakaian ini terlalu mahal buat saya, tas dan sepatu juga dari Laura. Sahabat saya itu memang sangat baik hati."

"Laura hebat, ya. Mau berteman denganmu."

Penghinaan terselubung, Milea menahan sabar dengannya. Orang-orang seperti Davinka tidak akan bisa menghancurkan hubungan baiknya dengan Laura. Ia tidak akan terpancing untuk marah atau malu. Justru harus menunjukkan sikap sebaliknya agar Davinka tahu tidak mudah mengintimidasi.

"Memang, Laura adalah sahabat yang baik. Saya bangga memilikinya."

"Asal jangan kamu manfaatkan saja."

"Kalau soal memanfaatkan justru sebaliknya. Lebih banyak Laura yang memanfaatkan saya."

"Bagaimana mungkin?"

"Ada banyak pakaian, barang-barang kecantikan seperti make-up dan skincare yang dibeli dan tidak terpakai. Sayalah yang terpaksa harus memakai karena tipe kulit kami sama. Pakaian tidak semua bisa saya pakai. Laura yang setiinggi tiang listrik dibandingkan saya yang mungil begini."

Davinka terperangah sesaat lalu menggeleng tidak percaya. "Kamu nggak malu bicara jujur begini? Bukankah sama saja membuka aibmu?"

"Nggak ada yang harus ditutupi, Nona. Kenyataannya memang begitu."

Milea hanya perlu merendah serendah-rendahnya agar Davinka tidak punya kesempatan lagi untuk menginjaknya. Ia berharap perempuan ini meninggalkannya sekarang karena arah pembicaraan makin lama makin memuakkan.

Kevin datang tergopoh-gopoh, mengajak Milea dan pegawai lain untuk pulang lebih dulu.

"Davinka, aku pamit dulu. Adikku masuk rumah sakit."

Davinka meraih lengan Kevin yang hendak berlalu. "Rumah sakit mana? Biar aku temani."

Kevin melepaskan cengkeraman Davinka di lengannya dengan lembut. "Tidak perlu. Kamu tamu penting di sini. Kita bicara lain waktu."

Davinka menatap kecewa pada Kevin yang berlalu bersama Milea dan pegawai lainnya. Tadinya berharap akan ada obrolan intim setelah pertemuan. Mungkin di bar atau lounge, hanya dirinya dan Kevin. Keinginanya tidak menjadi nyata karena hal yang tidak terduga.

.
.
.
Cerita ini sedang PO.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro