Bab 11
Johan mengangkat tubuh Lady dan membaringkan ke sofa ruang tamu. Berdiri di samping Lady, dengan satu tangan meremas dada dan tangan yang lain mengusap area intim dengan lembut dan penuh pemujaan. Jangan sampai berbuat kasar karena takut kalau apa yang dilakukannya menyakiti Lady.
"Aah, terus, Ka. Teruus ...."
Keringat membanjiri tubuh Lady. Dengan kepala terlontar ke belakang. Dadanya diremas dengan keras sementara jari Johan terus membelainya. Pengalaman erotis yang membuat tubuhnya menggelinjang tanpa henti. Tidak peduli dengan hal lain, yang diinginkannya adalah terus berlanjut kemesraan dan cumbuan panas ini.
"Kamu masih perawan?" tanya Johan saat menghentikan gerakan jarinya.
Lady mengangguk dengan wajah memerah. Bibirnya lembab serta tubuhnya basah oleh keringat dan rambut menempel di seluruh wajah. Tidak ada yang peduli dengan penampilannya yang seperti itu.
"Iya, aku perawan."
"Perawan nakal, baru pertama lihat kakak ipar langsung sange!" ucap Johan sambil tersenyum.
"Kak, kamu bukan kakak ipar tapi mantan," bantah Lady sengit.
"Sama saja, Lady. Aku beruntung jadi laki-laki pertama yang mengajarimu. Sekarang, buka pahamu lebih lebar."
Lady melakukan apa yang diminta Johan. Membuka paha lebih lebar, dan memeluk Johan yang menindihnya. Mereka saling melumat, bibir Johan terasa manis dengan lidah yang mengusap lidahnya. Tubuh mereka seolah pas untuk berpelukan satu sama lain.
"Aku mau masukin sekarang, kamu siap?"
Lady mendesah dan mengangguk. Meskipun sedikit takut karena teman-temannya bilang hubungan pertama akan menyakitkan. Ia bersiap untuk kesakitan, tidak masalah yang penting tidak perawan lagi.
Johan mengerang dan penetrasi sekuat tenaga. Memejam saat tubuhnya sudah bersatu sepenuhnya dengan Lady. Terdengar desahan dengan bibir saling bertaut.
"Gimana? Sakit?" tanyanya kuatir.
Lady mengangguk dengan mata setengah terpejam. "Sedikit."
"Bisa gerak sekarang?"
"Iya, bisa."
Johan bergerak lebih cepat, mendorong tubuhnya naik turun. Meskipun nafsu menguasai tapi sebisa mungkin untuk tetap bergerak perlahan agar tidak menyakiti. Bagaimanapun ini pengalaman pertama bagi Lady. Johan ingin memberikan yang terbaik, yang lembut, dan penuh kasih untuk mantan adik iparnya.
"Ah, Lady. Kamu benar-benar enak."
Lady melengkung, kakinya membungkus pinggul Johan. Ikut bergerak saat tubuh Johan bergerak cepat keluar masuk di tubuhnya. Lambat laun ia mulau menyukai permainan ini dan ternyata benar kata teman-temanya kalau sex itu enak dan indah. Asal dilakukan dengan orang yang tepat.
"Aaaah, aaaah, terus Kak. Yang cepat lagi, Kak."
Johan terus bergerak tidak terkendali, menikmati sensasi panas yang menyelimuti area intimnya. Selama tiga tahun ia mencoba meniduri beberapa perempuan yang menjadi pacarnya tapi tidak ada yang seenak Lady. Luar biasa, mencengangkan, dan membuatnya seolah ingin bergerak tanpa henti.
"Lady, siapa sangka kamu sebinal ini," ucap Johan di antara napas yang tersengal. "Buka pahamu lebih lebar. Bergerak bersamaku, Lady."
Lady melakukan semua yang diminta oleh Johan. Membuka paha lebar-lebar dan membiarkan dirinya dibuai rasa panas dari hasrat yang membara. Menikmati udara pekat oleh aroma percintaan. Bercinta seperti ini memang membutuhkan tenaga dan Lady mengerahkan seluruh daya tahan tubuh untuk menyerap gairah panas. Mencapai puncak berkali-kali hingga akhirnya disusul oleh Johan.
"Ah, enaknya, leganya."
Johan tersenyum, berbaring malas di samping Lady yang telanjang dengan tubuh basah. Tidak ada bergerak karena kehabisan tenaga. Terbaring puas di atas sofa berusaha mengendalikan napas.
"Kamu suka?" tanya Johan. Melirik Lady yang setengah memejam.
Lady mendesah. "Sangat."
"Mau lagi?"
"Tentu saja."
"Oke, ada waktu aku ajak kamu bercinta lagi."
Ternyata punya kakak ipar seenak dan senikmat ini, pikir Lady dengan senang. Mulai sekarang ada orang yang siap bercinta dengannya kalau sedang ingin. Tidak perlu lagi onani atau nonton video porno bila ada Johan di sampingnya.
**
Tepukan di punggung membuat Kiara berjengit dan hampir saja menjatuhkan ipadnya. Ia menoleh dengan jantung berdetak keras, bukan hanya kaget karena tepukan tapi juga baru saja membaca cerita erotis. Tidak ingin orang lain mengetahui apa yang dilakukannya.
"Bude! Bikin kaget aja!" Kiara mencebik kesal pada perempuan setengah abad yang tertawa di belakangnya. "Lain kali bersuara kalau mau manggil. Gimana kalau aku jantungan?"
Perempuan itu bernama Retno yang akrab dipanggil Bude itu terkekek. Mengusap-ngusap pundak Kiara yang duduk di kursi roda.
"Dari tadi aku udah manggil-manggil kamu tapi nggak dengar."
Kiara mengerjap. "Benarkah?"
"Iyalah, mana mungkin bude nepuk gitu aja kalau nggak manggil dulu? Dipanggil sampai tiga kali nggak nengok terpaksa aku tepuk. Maaf, ya, kalau bikin kaget."
"Nggak apa-apa Bude. Mau ngomong apa?"
"Ini, ada paket tadi buat kamu."
Kiara menatap paket di tangannya dengan bingung. "Perasaan aku nggak beli apa-apa."
"Coba buka, mungkin dari kakakmu."
"Bisa jadi, Kak Kevin pesan sesuatu buat aku. Emang dia sukanya gitu."
Kiara dengan penuh semangat membongkar kotak dari Retno dan mendapati isinya berupa cokelat.
"Wah, cokelat yang biasa Kakak beli ini mah."
Tanpa banyak kata, Kiara merobek bungkus cokelat dan memakan satu potong dengan lahap.
"Enak banget."
Retno tersenyum pada Kiara yang makan dengan lahap sambil merapikan kertas bungkus paket. Tidak menyadari sesuatu terjadi pada Kiara.
"Bu-deee, aaah."
Retno menegakkan tubuh dan berteriak panik pada Kiara yang melotot dengan napas tercekik.
"Kiaraa, kamu kenapa?"
"Bude, sesaak!"
"Kiaraa, tunggu. Bude ambil obat. Sopiir! Mana sopir. Kita ke UGD sekarang!"
Terjadi kehebohan di rumah saat Retno memasang selang oksigen di hidup dan mulut Kiara. Bersama dengan sopir dan pelayan mengangkat tubuh Kiara ke mobil menuju rumah sakit terdekat. Tidak ada waktu memanggil dokter pribadi, saat ini Kiara sedang membutuhkan pertolongan. Selama di jalan Retno mencoba untuk menghubungi Kevin.
**
Kevin dengan lembut berusaha melepaskan pelukan Davinka darinya. Tetap tersenyum penuh sopan santun dan tidak ingin terlalu ketara kalau menolak. Mengingat sekarang ini mereka sedang ada di tengah pesta dan banyak mata sedang melihat. Pandangan Kevin tertuju pada Milea yang menunduk. Gadis itu seolah merasa tidak pantas melihatnya memeluk Davinka. Entah apa yang ada dalam pikirannya, sepertinya ada salah paham besar yang dirasa.
"Davinka, aku nggak tahu kamu akan datang ke pertemuan ini," ucap Kevin lembut.
Davinka tergelak, menyibak rambut ke belakang hingga lehernya yang putih dan jenjang terlihat. Ada kalung berlian putih besar yang membuat penampilannya makin terlihat menawan. Kesan cantik, glamour, anggun, serta kaya raya menguar dari seluruh tubuh Davinka.
"Awalnya aku juga nggak niat datang. Kamu tahu kalau aku sangat sibuk dengan beragam pekerjaan. Aku dengar dari pamanmu kalau kamu akan datang ke pertemuan ini. Pamanmu bertanya barangkali aku mau datang untuk menemanimu. Yah, sekarang di sinilah aku."
Kevin tersenyum masam, tidak suka mendengar cerita kalau sang paman yang bernama Ismael selalu ikut campur urusan pribadinya. Tidak pernah bertanya apa yang diinginkannya dan membuat keputusan sendiri tanpa melibatkannya.
"Terima kasih sudah menyempatkan datang."
Seakan tidak menyadari sikap enggan Kevin, dengan berani dan tanpa malu-malu Davinka mengaitkan tangan di lengan yang kokoh. Ia selalu menyukai berdekatan dengan Kevin seperti ini. Aura berwibawa, wajah tampan dan penampilan yang macho. Selalu ada kritik soal penampilan Kevin yang berambut panjang dan memakai anting, dianggap terlalu mencolok untuk seorang direktur besar. Tidak masalah bagi Davinka, yang terpenting adalah hatinya bahagia.
"Kevin, aku akan selalu senang menemanimu. Mau kemana kita sekarang? Ayo, kita temui para relasi yang menunggu."
Saat Davinka hendak menyeret pergi, Kevin menolak. "Tunggu, aku nggak bisa ajak kamu Davinka."
"Kenapa?"
Kevin menunjuk Milea yang menunduk serta asisten dan sekretarisnya. "Karena ada mereka. Kami sudah membuat janji dengan beberapa orang."
Davinka menatap Milea dan serta tiga orang lain di sekitar mereka. Ia sudah mengenal yang lain tapi asing terhadap Milea.
"Orang baru?" tanyanya.
Milea mengangguk sopan. "Iya, Nona."
"Bagian apa?"
"Penerjemah."
"Milea ini penerjemahku." Kevin menambah penjelasan Milea yang terlalu singkat. "Kalau kita sudah selesai, bolehkah aku kerja dulu Davinka? Nanti kita lanjut ngobrol lagi."
"Yaah, aku kecewa Kevin. Padahal ada banyak hal yang ingin aku bicarakan sama kamu."
"Maafkan aku, Davinka. Aku janji lain kali ngobrol lagi sama kamu."
Davinka tersenyum manis, mengamati Milea yang berdiri salah tingkah di hadapannya. "Sepertinya aku pernah ketemu kamu? Tadinya kamu terlihat asing tapi aku ingat lagi kayaknya pernah ketemu."
Milea menatap Kevin dengan bingung. Meminta pertolongan untuk menjawab Davinka. Ia tidak tahu apakah boleh berterus terang atau harus menutupi.
"Davinka, kita memang pernah bertemu Milea sebelumnya. Beberapa bulan silam atau bisa jadi tahun lalu. Di sebuah restoran dan saat itu ada Pak Devon serta Laura." Kevin menjadi penengah sekaligus penyelamat untuk Milea yang kebingungan.
Davinka terperangah. "Oh, ya, aku ingat sekarang. Kamu datang ke acara makan malam bersama Laura si superstar. Saat ini Pak Devon juga bilang kalau teman Laura kerja di tempatmu. Ternyata dia?"
Kali ini Milea tersenyum lega dan senang karena dengan begitu tidak ada yang perlu ditutupi lagi antara mereka.
"Iya, Nona. Kita pernah ketemui sekali."
Davinka mengangguk, mengamati Milea dari atas ke bawah. Meskipun berpenampilan sopan dan profesional tapi baginya Milea tergolong perempuan cantik dan sexy, tanpa perlu menonjolkan bentuk tubuh. Bisa jadi bukan hanya dirinya yang berpikir begitu, kalau diamati pandangan Kevin sepertinya selalu tertuju pada Milea. Tak pelak lagi kalau Kevin tertarik dan itu tidak bisa ditutupi. Rasa cemburu dan marah mendadak menyeruak dalam diri Davinka. Ia tahu kalau hubungannya dengan Kevin memang tidak dapat diselamatkan lagi tapi menolak untuk mengaku kalah pada seorang pegawai rendahan. Instingnya mengatakan kalau si penerjemah adalah orang yang harus diwaspadai. Perempuan dengan high value seperti dirinya tidak perlu merendah di depan orang lain tapi demi laki-laki yang diinginkan harus bersikap cerdik.
"Selesai pertemuan kamu harus mengajakku minum, Kevin."
"Tentu saja, Davinka. Asalkan ada waktu kita bisa mengobrol."
"Usahakan ada waktu, meskipun satu jam akan sangat menyenangkan. Kamu tahu bukan,. Aku belum menyerah dengan hubungan kita." Davinka dengan berani mengusap dada Kevin terlahan. Milea dan tiga orang pegawai lain serta merta memalingkan wajah karena malu. "Tidak ada yang tidak bisa dilakukan termasuk hubungan kita. Kevin, aku ingin berusaha lebih giat lagi untuk kita."
.
.
.
Cerita ini sedang PO
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro