Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter I: The Sapphire Pendant

"Sumire. Cucuku sayang... Kau harus tetaplah kuat. Walau halangan dan rintangan itu berat, tapi Tuhan takkan memberikan ujian untuk hambanya yang tak mampu menanganinya. Ingatlah itu. Kakek, Ibumu, dan Ayahmu di surga pasti akan selalu berdoa supaya kau bahagia. Hiduplah dengan tenang, Sumire..."

Kenapa Kakek meninggalkanku?

.
.
.

Dingin sekali rasanya.

Hujan membasahi bumi kala petang itu, ditemani oleh gemaan petir dan kilat di atas awan mendung. Langit telah gelap, walaupun tak bisa dilihat karena terhalang payung.

Tak ada niat untuk menaikkan kepala, karena dirinya menolak untuk melakukannya.

Seorang gadis menatap hijaunya rerumputan yang terbasahi di bawah kaki, tak mampu untuk menengok ke orang-orang yang menangis di sekitarnya.

Hanya desas cakap para pelayat yang menghiasi pendengaran, membuatnya tersadar kalau dia tengah berada di pemakaman.

Ketika nada itu telah tak terdengar dan diganti penyampaian pesan sang pendeta, barulah gadis tersebut bisa mendongakkan kepala.

Kerumunan kecil yang terdiri dari sanak saudara—yang bahkan sang gadis tak ketahui siapa saja kala itu, berkumpul mengelilingi makam yang sederhana namun terlihat indah.

Tapi yang ia dengar hanyalah suara tetesan guyuran air dari langit. Dirinya bertaruh kalau misalkan tak seperti ini, maka hanyalah terdengar kesunyian yang berat dan menyesakkan.

Gadis itu menoleh ke sisi dimana ada makam lain yang terletak berdampingan dengan makam baru tersebut.

Dua makam dengan nama laki-laki dan perempuan paruh baya yang mati karena kecelakaan mobil.

Ya, dia sudah yatim piatu sejak kejadian itu, berumur masih disaat bayi tengah belajar merangkak. Makanya ia tak ingat wajah keduanya dan hanya melihat di foto keluarga. Hanya kakeknya yang mengambilnya sampai besar seperti ini.

Namun sekarang, ia hanyalah sebatang kara.

Ketiga orang disayanginya telah tidur dengan tenang di bawah bumi, dan akan selalu dikenang oleh hatinya.

Kakeknya, yang membesarkan gadis itu sejak saat kehilangan kedua orang tua layaknya anak sendiri, telah meninggal pada hari kelam itu. Upacaranya sederhana, namun penuh haru dan indah. Sanak saudara yang tak ia ketahui pun juga datang dan menangis mengenang sosok tetua yang mereka hormati.

Menandakan betapa berpengaruhnya beliau semasa hidupnya.

Satu persatu, orang mulai meninggalkan tempat ketika upacara penguburan telah selesai.

Namun sang gadis tersebut sajalah yang tetap disana dalam waktu yang sedikit lama lagi.

Tak lama kemudian, seseorang dengan payung dan baju serba hitam mendekati si gadis. Ia awalnya curiga tapi akhirnya lega.

Ternyata dia mengenalkan diri sebagai pengacara beliau. Dia membuka tas koper praktisnya dan membacakan dokumen-dokumen.

"Dan sekarang, saya akan membacakan surat wasiat dan warisan mendiang Tuan Satoru Shirosaki." Suara baritonnya yang menggema tersamarkan hujan gerimis.

Untuk soal ini, hanya sang gadis yatim piatu tersebut saja yang bisa mengetahui isi suratnya. Sudah keputusan mendiang beliau untuk menyerahkannya kepada siapa, akan dia turuti demi sang kakek.

"...Dan untuk cucuku yang tercinta, aku berikan rumahku padanya, Sumire Shirosaki. Semua perabotan, pajangan, serta barang-barang yang berada di dalam wilayah lingkup rumah juga akan kuberikan kepada cucuku."

Gadis tersebut sedikit terkejut, mendongak seketika.

"...Apa?"

Seolah ia tak percaya, sang pengacara bertanya padanya.

"Anda sudah mau lulus sekolah menengah, bukan? Sebaiknya anda juga terbiasa di rumah besar itu. Walaupun anda sangat muda, klien saya tak ada yang semuda ini mendapatkan warisan. Anda harus bersyukur." Pengacara itu sedikit bercanda tapi masih tak membuat gadis tersebut yakin.

Apakah benar ini keputusan sang kakek? Dan surat itu ditulis oleh tangannya sendiri. Kenapa kakek memberikannya warisan rumah mewah itu? Kenapa bukan sanak saudara yang lain saja?

Tidak disangka...

Tapi harus dilakukan.

"Tolong siapkan segalanya untuk dokumen dan kepemilikan. Saya akan menjaga warisan kakek."

Pengacara pun mengangguk menuruti sang perintah gadis berumur 18 tahun tersebut, "Tentu akan saya siapkan, Nona Sumire."

Gadis bermata tajam itu menatap kuburan baru tersebut beberapa saat.

Maafkan aku, Kakek... Kau berkata agar aku tetap kuat. Tapi begini saja aku tak bisa...

Tanpa kata, sebulir air mata menetes membasahi pipi. Sesak batin dan putus asa terpampang di dalam dirinya, tapi takkan ia tunjukkan.

Karena dia telah berjanji pada beliau untuk tetap kuat sesaat sebelum napas terakhirnya terhembuskan.

.
.
.

Pintu tersebut terbuka dan dimasukki oleh Sumire. Suasana hangat dan nostalgia dirasakannya saat memasukki kamar mendiang kakeknya yang tercinta.

Ia menoleh ke arah kursi goyang favorit beliau, mulai terbayang masa kecil kala itu. Dirabanya dengan perlahan kayu jati yang menjadi struktur kursi tersebut.

Matanya menyendu sesaat.

~-000-~

Sang gadis kecil berkepang dua dipangku oleh seorang pria yang menginjak usia lanjut di kursi goyang kala siang itu.

"Kakek, tolong ceritakan kisah Putri Kesatria!"

"Lagi? Sudah tiga puluh kali lho. Kau tidak bosan, sayang?" tawa sang pria tua.

"Tidak! Karena ceritanya bagus dan ini buatan kakek. Aku suka sekali! Dongeng kakek memang yang terbaik!"

Ceplosan riang itu membuat sang lawan bicara tersenyum sambil mengusap sayang kepala cucu perempuan satu-satunya.

"Baiklah, tapi habis ini kita makan siang di taman belakang, ya."

"Hore!!"

~-000-~

Diusapnya kedua mata sambil agar tak menangis lagi, ia pun beranjak duduk di pinggir kasur peninggalannya. Tapi saat dilihat, seprai dan bantalnya sedikit berantakan.

Tak puas, Sumire pun mendengus dan merapikannya.

"Pembantu disini jorok sekali. Sekalinya tak ada Kakek malah malas membersihan disini... Hmm?"

Ketika menyusun bantal yang kurang rapi, dia menemukan sebuah catatan kecil.

Kedua alisnya menekuk, terheran oleh penemuannya yang tak disangka.

"Ini surat? Kenapa bisa ada di bawah seprai bantal?" tanyanya bingung pada diri sendiri.

Penasaran, ia buka dan membacanya.

'Untuk Sumire... Kunci pararel ada di laci urutan tengah di bagian paling bawah. Kotak pandora bersembunyi di lemari besar.'

Sumire melihat ke segala arah saat berdiri, lalu menuju ke tempat laci. Dicarinya sesuatu yang mungkin dapat dijadikan petunjuk.

"Kotak pandora? Aneh sekali... Kenapa Kakek meninggalkan pesan?" Sumire bergumam sambil mengamati laci yang bertingkat dan menghampiri benda tersebut yang ada di pojokan ruangan.

"Urutan tengah... Laci ada tiga jadi di tengahnya, lalu bagian paling bawah..."

Berlutut, ia pun membuka laci lemari penyimpanan dengan paksa karena sudah lama tak bisa terbuka. Sedikit terbatuk karena bau apek kayu, tapi dia bisa melihat benda yang dicarinya.

"Ketemu!"

Diambilnya sebuah kunci perak berwarna hitam.

"Sekarang lemari. Kita lihat apa yang disimpan Kakek..."

Lemari pakaian yang besar itu dibuka, sedikit termakan energi Sumire karena bahan pintunya tebal dan besar.

Dia mencari dengan hati-hati di sekitar dalam lemari itu. Gadis itu tak boleh menyerah, karena rasa penasaran kenapa sang kakek meninggalkan catatan kecil itu untuknya.

Apa yang sebenarnya yang ingin diberikannya?

"!"

Sebuah kotak berwarna hitam berbahan dasar kayu ek hitam bentuk persegi terlihat di balik tumpukan pakaian mendiang beliau, Sumire mengambilnya dan terduduk.

"Oh iya, kuncinya!"

Diambilnya kunci hitam tadi dan membuka kotaknya.

Berhasil, kotak tersebut mulai terbuka dan membuat Sumire terperangah sesaat.

Isinya adalah sebuah kalung emas berbentuk krisan biru yang mekar dan permata berlian di tengahnya sebagai mahkota bunga. Di sampingnya ada tulisan bertuliskan untuknya.

'Untuk Sumire-ku, selamat ulang tahun yang ke 17.'

"Kakek..." gumam Sumire lirih sambil menatap isi kotaknya.

Benda tersebut ia ambil dan tersenyum kecil walau sedih masih menyelimuti nada bicaranya.

Kalung tersebut adalah hadiah di hari ulang tahunnya yang tak sempat diberikan saat pria itu mendadak jatuh sakit.

"Kakek... Terima kasih." gumamnya pelan sambil berdiri.

Tapi kenapa disembunyikan disini?

Mungkin karena ingin aku mencarinya, pikirnya singkat karena pria itu sering memberinya teka-teki.

Sumire menghampiri cermin panjang yang ditempel di dinding dan mencoba memakai kalung tersebut.

"Lingkar lehernya pas sekali... Pasti Kakek meminta pada pembuat yang handal."

Tak disangka beberapa lama kemudian, sesuatu yang silau mulai bersinar dari kalungnya. Keadaan jadi menyilaukan dan membuat sang pengguna kaget bukan kepalang.

"Eh?! Ada apa ini?? Apa yang terjadi?!" Sang gadis terlanjur panik dan mencoba melepaskan kalungnya.

Namun sayang seribu sayang, Sumire tak tahan akan silau dan menutup kedua matanya.

Kotak hitam persegi tersebut jatuh begitu saja di lantai kayu mahoni yang mengkilap.

Bersamaan dengan lenyapnya cahaya yang besar dan menyilaukan tersebut, sang gadis pewaris tak terlihat jejaknya sedikit pun di ruangan kala itu.

.
.
.

To Be Continued

==========

Lol halo chapter satu sudah rilis! Maaf ya intro nya agak ga sama karena username ga bisa dimasukkan jadi ada yang di mention, dan juga ada judul yang belum dimasukkan. Semoga maklum dan menanti chapter selanjutnya! Bye~💕💕💕

Regards,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro