22
Aku mau bilang:
1. Nggak ada part atau scene yang di skip, emang ceritanya gitu. Adegannya dibuat maju lalu ada beberapa bagian ceritanya mundur, contohnya tentang alasan Loli minta putus.
2. Part 20 juga ada. Nggak ada yang aku skip.
3. Ceritanya memang aku bikin beda sama di lapakku dulu. Karena itu jangan bahas cerita lalu hehehehe... Yuk move on kayak Erlan.
Selamat membaca part detik-detik perpisahan ❤️
***
Menyadari semua adalah kesalahannya, Erlan tak lagi memaksakan kehendak. Dia benar-benar mundur teratur. Semua sirna tak bersisa karena kebodohannya. Dia harus merelakan Lolita pergi jauh darinya, melepaskan meski hati tak rela.
Erlan membiasakan diri tanpa Lolita. Meski sulit dia berusaha untuk tetap bertahan menjalani hari dengan kesepian. Hanya saja senyum cerianya tak lagi nampak seperti dulu.
Rasanya tak semudah saat membiasakan diri untuk mengikhlaskan Lavina ditemani seseorang yang bisa mengajaknya tersenyum dan tertawa bersama. Joan dan Wibi tak mampu membuat keceriaan Erlan bertahan lama hingga tiba di rumah. Hanya ada senyum dan tawa sesaat.
"Lo nggak asyik," seru Joan, melempar bola basket pada Erlan.
"Kenapa?"
"Putus lo kali ini lebay. Masa udah hampir setengah tahun masih aja lo gagal move on."
"Lo pikir gue putus berapa kali? Ini juga putus gue pertama kali."
"Tapi lo kan udah biasa patah hati," balas Joan dan langsung mendapat lemparan bola cukup keras mengenai perutnya. "Damn! Sakit, Curut."
"Kenapa lo nggak sama Kian aja?" tanya Wibi, kali ini.
"Karena Kian bukan Lolita yang galak-galak menggemaskan," jawab Joan dengan mimik wajah menyebalkan.
"Deketin Lolita lagi aja kalau gitu. Kan hati lo sekarang milik dia seorang."
"Seketika gue pen muntah," ucap Joan.
"Gue nggak berani," ucap Erlan. "Rasanya gue malu udah bilang bakal bikin dia bahagia tapi nyatanya gue jadi orang yang paling nyakitin dia."
"Ya udah. Kalau jodoh kan nggak ke mana," ucap Wibi.
"Nggak bisa gitu. Jodoh itu butuh diperjuangin. Nyatanya lo nggak bisa tanpa dia," seru Joan.
"Bisa," ucap Erlan.
"Bisa apanya? Lo idup karena masih dibolehin napas aja sama Tuhan. Selebihnya kosong."
"Gue takut makin nyakitin dia."
"Lo nggak takut kesempatan lo bener-bener hilang?" timpal Joan.
"Gue mang udah nggak punya kesempatan."
"Yakin lo bakal ngomong hal yang sama kalau lihat ke arah jam dua?"
Perasaan Erlan mendadak tak baik. Dia menoleh ke belakang pelan-pelan. Tepat pada saat itu senyum Lolita terlihat. Senyum lebar bersama teman-temannya yang baru saja memasuki kafe.
Erlan tak menyukai hal kebetulan seperti ini. Meski dia sudah ribuan kali membuat skenario jika hal ini terjadi. Pertemuan kembali setelah beberapa purnama tak saling komunikasi adalah kecanggungan baru.
Mencoba bersembunyi tapi nyatanya saat ini mereka berada di cafe kecil di mana setiap orang bisa melihat pengunjung lain dengan mudahnya. Erlan mempersiapkan senyum lebar dan ketenangan diri yang dipaksakan.
"Lolita," panggil Joan.
Loli menoleh, kaget. Bukan kaget karena dipanggil orang asing, tapi kaget bertemu Erlan lagi padahal dia sedang berada di Jalarta belahan lain, tepatnya di kafe kecil yang kemungkinan akan Erlan singgahi adalah 1%. Tempat yang harusnya tak mempertemukannya dengan mantan yang masih dia usahakan untuk melupakan dengan ribuan cara. Dari menghapus kontak hingga tak mendekati hal yang berhubungan dengan mantan.
Terpaksa Lolita mendekat untuk menyapa Erlan walau sebenarnya dia enggan. Karena dia tahu saat satu kata terucap dari bibir Erlan, sebuah harapan akan kembali datang.
"Hai, Lan."
"Hai, Loli."
"Hai, gue Joan. Temen Erlan." Joan buru-buru menghilangkan kecanggungan diikuti Wibi.
"Lo apa kabar?" tanya Erlan yang mulai bisa melemaskan otot bibirnya.
"Baik," jawab Lolita yang sebenarnya ingin segera pergi dari tempat itu. Apalagi melihat Erlan yang tampak tenang dan baik-baik saja.
"Temen Loli?" tanya Sandra -salah satu gerombolan yang masuk ke dalam kafe bersama Lolita.
"Ya, temen," balas Joan dengan mata berbinar. Berharap ada keajaiban untuk sahabatnya yang belum juga bisa move on.
"Kami boleh gabung dong?"
"Tentu aja. Iya kan?" Joan meminta persetujuan yang lain dan disambut Wibi dengan anggukan mantap setelah mendapat kedipan mata darinya.
"Tunggu. Sepertinya gue pernah ketemu sama lo." Sandra melihat Erlan, menajamkan pandangan. Sementara Erlan hanya tersenyum tipis.
"Lo bukan ketemu dia tapi lo lihat di ponselnya Lolita," ucap Jenia sembari menepuk bahu Sandra.
"Oh ya, bener. Berart lo..." Seketika Sandra menutup mulutnya menyadari sesuatu.
"Santai aja," ucap Lolita. "Dia Erlan, iya temen sekolah gue dan mereka temen-temennya."
"Temen?" ulang Erlan, pelan.
Lolita mengatakan itu bukan tanpa alasan. Rasanya memalukan jika harus mengaku sebagai mantan Erlan sementara dia hanyalah banyangan dulunya.
"Gue rasa gue lebih suka lo ngenali gue sebagai mantan lo dari pada temen lo. Gue nggak nyangka lo sesadis itu sama gue, Loli." Erlan jelas memperlihatkan ekspresi kesal.
"Sorry," ucap Lolita, datar.
"Kalau lo nggak berniat minta maaf lo nggak perlu minta maaf."
Lolita mencoba menahan diri, dia tetap tersenyum meski rasanya ingin menangis. Tak cukupkah Erlan menyakitinya lalu kini mempermalukannya?
"Sorry sepertinya pertemuan ini nggak seharusnya ada. Gue pergi aja," ucap Lolita, lalu pergi tanpa menunggu reaksi yang lain. Bahkan dia meninggalkan teman-temannya.
"Kejar, bego!" seru Joan seraya menarik Erlan untuk berdiri.
****
Happy Sunday!
Update lagi Sabtu depan yak...
Makasih banyak ❤️❤️
Love, @ainunufus
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro