Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17





Demi berbaikan dengan Lolita, Erlan menyiapkan bingkisan cokelat yang dipeluk boneka beruang. Erlan memesan khusus karena tahu Lolita menyukai boneka beruang. Sembari menemani Kian yang tengah sibuk dengan secangkir cokelat hangat dan biskuit penuh chocochip, Erlan memesan bingkisan cokelat itu di kafe yang tengah dia singgahi saat ini.

"Silakan, ini bingkisannya Kak."

"Makasih." Erlan menerimanya dan tersenyum lebar. Dia yakin Lolita akan menyukainya.

"Buat cewek lo?"

"Ya," jawab Erlan canggung. Bagaimana tak canggung jika yang menanyakan adalah orang yang baru mengutarakan perasaan padanya?

Demi membeli cokelat untuk Lolita sekaligus menghibur Kian jadilah Erlan mengajak ikut serta Kian ke kafe Sweet Brown. Kafe cokelat yang didominasi boneka beruang sebagai hiasannya. Erlan berniat mengajak Lolita suatu saat nanti.

"Kalau gue dulu nggak pergi mungkin gue bisa jadi Lolita. Sayangnya dulu gue pengecut, bukannya berusaha, gue justru lari," ucap Kian lalu tertawa miris.

Melihat Kian, Erlan merasa melihat dirinya sendiri saat menyerah mendapatkan Lavina. Tapi saat ini tak ada lagi kata andai yang mengganggunya. Tak ada lagi penyesalan yang dia rasakan.

"Lo nggak usah jadi canggung sama gue, Lan. Anggep aja gue nggak pernah ngomong apa-apa. Gue udah lega kok meski masih ada penyesalan besar di diri gue."

"Nggak usah canggung? Anggep nggak pernah terjadi apapun? Cewek memang ajaib. Lo pikir gue cowok dengan suatu penyakit yang bisa melupakan sesuatu kejadian atau hal yang gue alami gitu aja?" ucap Erlan dalam hati dengan kening berkerut.

"Lo masih mau lama di sini?" tanya Erlan.

"Kenapa?"

"Gue mau ke rumah Loli."

"Ya udah sana lo ketemu cewek lo. Gue bisa pulang sendiri. Dari kemarin gue juga sendiri."

Dalam hati Kian berharap Erlan tetap di sini bersamanya. Tapi itu tak akan mungkin terjadi. Kian menyesap cokelat panasnya dengan pandangan nanar ke arah punggung Erlan yang kian menghilang.

***

Kini Erlan sudah berada di rumah dengan gaya kontemporer, tepatnya duduk di sofa ruang tamu. Kakinya terus bergerak menandakan dirinya sedikit gugup padahal hanya akan bertemu Lolita. Tapi sekarang rasanya berbeda. Bertambah hari, degup jantungnya semakin nyata terasa lebih cepat dari biasanya.

Saat Lolita akhirnya keluar menemuinya, Erlan tanpa sadar memegang dadanya yang berdebar kencang. Padahal Lolita berpakaian seperti biasanya, kaos putih, celana jeans 7/8, dan sandal rumah berbentuk beruang.

"Ngapain?" tanya Lolita tanpa menyapa terlebih dahulu lalu ikut duduk di sofa.

"Masa pacar dateng ditanya ngapain."

"Terus?" tanya Lolita yang mempertahankan wajah datarnya

"Tanya kabar dong," jawab Erlan yang masih menyembunyikan bingkisan cokelatnya.

"Ih, tadi aja baru chat-chatan."

"Apanya yang baru? Terakhir kan tadi pagi, gue telepon malah dimatiin. Kenapa dimatiin? Kenapa chat gue nggak dibalas?"

"Sengaja."

"Biar apa?"

"Biar lo dateng ke rumah."

Refleks Erlan terkekeh. Lolita memang selalu to the point, tak ada basa-basi sama sekali. Rasa kesalnya sempat diabaikan hilang sudah.

"Buat lo." Erlan menyerahkan bingkisan cokelatnya. "Maaf bikin kesel lo tadi pagi."

"Makasih. Tapi gue nggak kesel tadi pagi. Gue keselnya sekarang."

"Kok sekarang kesel? Kan gue udah dateng."

"Kemarin permen sekarang cokelat. Mau bikin gue gendut, hm?" Lolita mengangkat bingkisannya. Menggemaskan tapi Lolita tak mau memperlihatkan rasa senangnya terang-terangan.

"Salah lagi. Salah terus gue, perasaan."

"Tar kalau gue gendut lo suka cewek lain. Tapi ngasih gue yang manis-manis mulu."

"Lo gendut gue tetep sayang."

"Gombal! Tar lo malu jalan sama orang gendut."

"Kayaknya bukan gue yang malu tapi lo sendiri yang jadi nggak percaya diri karena gendut. Iya kan?"

"Kok jadi gue sih? Nyebelin."

"Marah nih ceritanya?" Ledek Erlan.

"Enggak, ih."

"Masa? Senyumnya mana?"

"Nggak mau!"

"Jangan mahal-mahal kenapa, Buk? Ini sama pacar lho, pacar."

"Kan gue bukan cewek murahan," ucap Lolita lalu membuang muka, membalas ledekan Erlan.

"Pacar gue mahal betul. Beruntung banget gue jadi pacarnya. Gue yakin sama orang lain pasti lebih mahal lagi tuh."

"Ih, Erlan apaan sih? Garing. Lo mau minum apa?"

"Air es aja."

"Ok, bentar."

Lolita masuk ke dapur, buru-buru dia memotret bingkisan dari Erlan dan memposting di instastory.

Kasih aja gue cokelat terus biar gendoooot!!
@erlanadhyastha

Di dapur Lolita terus senyum-senyum sendiri sembari mengambilkan minuman dan biskuit kering berbentuk beruang buatannya. Sebelum kembali ke ruang tamu, Lolita mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mencoba mendatarkan ekspresi bahagianya. Jangan sampai Erlan tahu betapa dia bahagia saat ini. Dia tak mau terlihat jadi seseorang yang terlalu cinta. Dia tak mau terlihat lemah. Karena memperlihatkan rasa cinta yang begitu besar sama dengan memperlihatkan kelemahannya, bagi Lolita.

Ketika sebuah hubungan berakhir, semua akan tahu siapa yang paling terluka lalu mereka akan mengasihani. Lolita tak suka dikasihani. Meski sebenarnya dia sangat berharap tak ada kata berakhir untuk hubungannya dengan Erlan.

Lolita mengambil ponselnya untuk bercermin. Tapi sebuah notifikasi tampak di layarnya. Lolita pun membukanya, ternyata Erlan mentag dirinya di instastory.

Mau selalu benar itu jadi cewek
Karena cowok selalu salah.
Perhatian dikata gombal.
Nggak perhatian dikata cuek.
Ngasih cokelat dikata mau bikin gendut.
Besok gue kasih pelukan biar diem.
@lolitaadeeva

Seketika wajah Lolita memanas dan pipinya merona. Wajahnya tak lagi datar. Bahkan dia tak bisa lagi menjaga ekspresinya. Lolita menutup wajah dengan kedua tangannya, malu sendiri. Kedua sudut bibirnya terus terangkat.

"Ngambil minum lama bener."

Lolita terlonjak kaget mendengar suara Erlan. Cowok bermata sipit itu sudah berada di sebelahnya.

"Muka lo merah kenapa?"

"Nggak pa-pa," balas Lolita dengan tangan dikibas-kibaskan di depan wajah.

"Lo kenapa? Yakin nggak pa-pa?"

Bukannya menjawab justru Lolita menutup wajahnya lagi lalu teriak kencang. Membuat Erlan kaget sekaigus khawatir.

"Gue mau ke kamar mandi dulu. Itu minum lo bawa sendiri," ucap Lolita buru-buru, lalu lari ke kamar mandi untuk membasuh muka. Dia malu untuk memperlihatkan wajahnya yang tersipu hanya karena sebuah instastory.

Meski khawatir Erlan menuruti apa kata Lolita. Waktu dia mau mengangkat nampan kayu yang berisi air es dan biskuit, ponsel Lolita menyala. Nama "Abang Sayang" terpampang. Eelan pun mengangkat panggilan itu karena berpikir Abramlah yang menelpon.

"Halo," sapa Erlan.

"Lho, kok suara lo, Lan?" tanya Galan.

"Lho, ini Bang Galan bukan Bang Abram?" tanya balik Erlan.

"Iya ini gue. Tadi Loli telpon tapi gue baru sibuk nggak sempet angkat."

"Oh..."

"Loli mana?"

"Lagi di kamar mandi."

"Oh, ya udah. Tar gue telpon lagi aja."

"Oke, Bang."

Layar ponsel Lolita telah menghitam tapi Erlan masih menatap layar itu. Abang Sayang? Erlan jadi penasaran dengan namanya di kontak ponsel Lolita. Erlan mencoba menyalakan ponsel putih Lolita dan ternyata tak dikunci. Tapi jempol Erlan ragu menekan layar pada menu panggilan telepon. Erlan memejamkan matanya sesaat sebelum jempolnya menekan layar. Bibirnya tersenyum saat membaca namanya.

Erlan Adhyastha

Senyum miris lebih tepatnya.

****

Hai hai...
Makasih sudah nunggu lama
Oh ya, kalau komentarnya mencapai 300 aku akan segera lo update nggak perlu nunggu hari Sabtu depan. Karena nunggu itu berat hehehe

Lo, ainunufus

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro