Sistem di Sekolah
"Ya ampun, laki-laki itu pendek, ya?"
Aku sudah tak asing lagi, ketika mereka mengatakan hal itu. Meski aku sendiri sedikit merasakan sakit pada hati, dikala mendengarkan hal tersebut, setidaknya aku masih berusaha untuk sabar.
Ahaha, bukannya aku tidak tersinggung. Tetapi, kita harus menjaga image diri, bukan? Lagipula tidak ada aturan, kalau laki-laki itu harus tinggi. Karena semua manusia itu setara, jadi untuk apa membanding-bandingkan masalah sepele begini.
"Astaga mulut kalian. Kalian lupa, ya kalau kita sebagai manusia itu setara?" tanggap seseorang, dan dia menyela perkataan-perkataan akan datang.
Jujur saja, aku segera menoleh ke arah sumber suara itu terdengar. Namun, aku tidak percaya. Dia tinggi sekali! Aku mulai mendongak saat menatapnya. Astaga, kenapa juga aku lebih pendek dari sosoknya ya? Leherku menjadi sakit, karena melihatnya. Terakhir, aku tak mengetahui dia siapa.
Hanya saja, aku sendiri tak mengatakan apapun. Mana tahu, suaraku dari sini tak akan terdengar olehnya. Alias, janganlah bermimpi ketinggian!
Baiklah, sekarang aku mulai menundukkan kepala. Kemudian lekas mengeluh, dengan suara yang terbilang pelan, aku rasa. Tetapi aku salah, ia mendengarkan hal itu, cukup ajaib. Sampai akhirnya berkata, "Hei dirimu, kenapa mengeluh begitu?"
Dia ini, tidak bisa membaca ekspresi aku, ya? Ah, sebentar sempat lupa. Aku seseorang yang sulit berekspresi. Jadi, sudahlah. Untuk apa repot-repot seseorang mengetahui perasaanku.
"Ah, aku mengerti. Kau murid baru dan sepertinya, kau kesulitan menemukan kelasmu? Aku akan membantu," lanjutnya.
... Dia baik.
Ugh, apa yang aku katakan? Dia baik? Ya, kita tidak bisa tahu apakah dia yang aku hadapi ini benar-benar baik atau ingin bersikap buruk. Apakah harus aku awasi saja? Tetapi, kalau terlalu tampak malah kelihatan cukup berwaspada. Lebih baik tidak, kali ya?
Lantas, aku hanya mengangguki pertanyaannya saja. Setidaknya, aku menemukan bahwa ia mengerti jawaban dariku. "Kalau begitu, ayo ikuti aku. Aku akan menunjukan kelasmu," timpalnya.
Huh, ya ampun. Dia ini orangnya banyak berbicara, ya? Tapi setidaknya aku harus berterima kasih, mengenai tadi dulu, bukan? Seraya aku mengekori dirinya, dan dia mulai berjalan disampíngku. Tunggu, apa dia tahu di mana kelasku?
"Terima kasih sebelumnya, sudah repot-repot."
Hanya saja, kenapa aku harus berterima kasih pada dia? Aku juga tak meminta tolong apapun kepadanya. Ini juga, bukan kisah dalam komik romantis itu, tidak mungkin ada yang seperti itu.
Sekolah untuk belajar, kau tahu? Jadi, tak perlu berharap lebih. Dia kudapati menggeleng, seolah ia mengatakan tidak merepotkan dirinya. Akan tetapi aku salah, "Ya, mau bagaimana lagi. Karena itu sudah kewajibanku," cakapnya membalas pernyataan yang baru saja aku lontarkan.
"Kewajiban?" Heran, bahkan kalau dikata kewajiban tidak mungkin kewajibannya mengawal anak baru ke kelas. Itu tidak masuk akal. Seharusnya guru, hitung-hitung sembari menjelaskan tentang sekolah. Ah, sebentar. Mungkin saja kalau sekolah ini menyatakan bahwa sesama murid akan lebih baik?
Astaga, ada-ada saja. "Begitulah. Sistem di sekolah ini, yang mengharuskan seorang siswa mengarahkan siswa baru lainnya. Tujuannya, biar sedikit leluasa. Karena dulu, murid jadi terkesan agak kaku ketika bersama dengan guru. Jadi tidak ada lagi yang begitu," jelasnya.
Serius? Apa yang aku katakan benar saja kejadian? Lagi-lagi.
"Oh iya, aku sudah mengetahui tentang dirimu dari guru, jangan khawatir."
Apa?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro