Masa Lalu
Aku baru mengetahui suatu fakta, bahwa Ciao adalah ketua kelas di kelas yang aku masuki ini. Sifatnya cukup terbuka untuk seorang ketua kelas. Bahkan, di sekolah lama aku yang dahulu tak pernah ada interaksi ataupun komunikasi antar murid. Ya, sangat minim.
Karena, bisa dikatakan terlalu menjunjung tinggi derajat. Alias, yang bergaul dengan mereka yang tingkatannya sama denganmu. Tentu saja aku tak begitu tahan dengan keadaan seperti itu, yang pasti tak benar-benar bisa.
Sedikit bersyukur, meskipun aku bisa bersekolah di sana karena jabatan orang tua, tetap saja aku tak terbiasa dengan kondisi lingkungan demikian. Selain tak dianggap setara, cukup banyak aku temukan ketidaksetaraan.
Tanpa sadar aku mulai mengingat masa lalu, namun lamunan itu seketika terbebas. Akibat seseorang menepuk bahuku, ketika aku hampir oleng secara tidak sadar. "Oh, ah ... Maaf, Ciao."
Sebagai ketua kelas, dia yang mengajak aku berkeliling sekolah. Ia juga, bertugas untuk memperkenalkan lingkungan baru yang kelak beberapa tahun kemudian akan aku tempati.
"Huh, apakah kau punya kebiasaan melamun?" tanyanya sedikit memberikan ekspresi kesal, namun agak menggemaskan.
Eh ... menggemaskan?
Secara cepat aku menggelengkan kepala, dan menolak pernyataan tersebut. "Bukan begitu, aku hanya teringat masa lalu saja. Tidak lebih," jelasku menjabarkan.
Seolah paham, ia hanya mengangguk kemudian berkata, "Fufu, aku mengerti. Wajar saja hal semacam itu sering terjadi." Malah kelihatan seperti orang yang ingin menggoda.
Lantas, aku pula menyetujui perkataan Ciao mengenai hal tersebut. Kami, lebih tepatnya aku, mulai berjalan disampingnya tuk menjelajahi area sekolah yang lain. Anggap saja sebagai pengenalan untuk sekolah yang baru.
Namun, hal ini terlalu banyak hal yang perlu dijabarkan. Jadilah, Ciao menyarankan kepadaku untuk melanjutkannya kembali seusai pelajaran selanjutnya. Oh, aku lupa menjelaskan.
Disini, tempat sekolahku sekarang. Teruntuk jam pelajarannya sepadan sama sekolahku yang dahulu. Memiliki dua kali jam istirahat dan nantinya pada waktu kedua akan kami manfaatkan berkeliling mengenal sekolah, meski terfokus pada diriku saja.
Aku sempat bertanya juga kepadanya, 'Apakah tidak masalah kalau kau tidak beristirahat?' Namun dia malah menjawab dengan, 'Sejujurnya aku tidak memiliki minat untuk istirahat.'
Mendengarnya berbicara begitu aku hanya terdiam, tidak tahu harus merespons seperti apa. Lalu, menuju ke arah kelas kami masih bertukar suara. Ya, lebih tepatnya melakukan interaksi tambahan mengenai pelajaran apa yang kemudian akan dipelajari.
Benar-benar ketua kelas yang baik, ya?
Lagi pula, dia mudah bersosialisasi terhadap teman-teman lain. Ah, aku mengatakan hal ini ketika tadi mengamatinya sambil dia menyapa teman yang lain, dengan ramah.
Terpikirkan olehku, apakah ia ramah kepada semua orang, sampai bisa mengukir senyum lebar seperti itu? Tidak. Aku tidak bisa mengatakan, kalau senyuman itu cukup dipaksakan. Karena aku tak begitu mengerti akan senyum manusia sebayaku.
Kalau untuk orang dewasa, aku cukup memahaminya. Karena sedari dahulu lingkunganku berada dalam belunggu orang dewasa, cukup untuk bisa dikatakan sebagai diri yang bebas tanpa terkekang.
Selain aku, kakakku juga terlihat seperti itu. Kakakku itu perempuan, untuk namanya pula Artealie. Ya, meski berbeda satu huruf kami masih terpaut usia tiga tahun. Jangan sampai salah, dan mengira kami itu kembar, walau kesamaan rupa masih tetap ada.
Ya ampun, mengapa sekarang aku jadi membahas tentang kakakku? Bukankah ini cerita hanya aku yang menjadi topik utama? Ah, sudahlah.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro