Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rekan (HxH)

Dari balik rongsokan, Pakunoda kecil mengintip sosok bocah laki-laki dengan banyak luka yang menodai kulit pucatnya, ia berusaha melawan orang-orang dewasa yang memukulinya.

Jika aku membantunya apa ia akan mau berbagi makanannya denganku? Pakunoda mengelus perutnya yang sudah dua hari tak terisi, ia kalah setiap berebut makanan dengan orang-orang dewasa di kota kumuh yang ia tempati ini.

Apa kurebut langsung saja? Dia hanya anak kecil, pasti lemah. Apalagi dia terluka.

Pakunoda mengambil beberapa batu dan memperhitungkan jarak yang sekiranya dapat langsung menyerang tiga dewasa itu.

“Kembalikan makanan kami, pencuri kecil!”

“Bukan kau saja yang kelaparan di sini!”

Lemparan batunya tepat mengenai kepala target hingga tumbang, Pakunoda memaksakan kakinya yang lemas mendekati si bocah laki-laki yang terluka.

“Terima kasih sudah membantuku.”

“Lukamu banyak sekali, Dik.” Pakunoda menangkup wajah anak itu, darah dan warna biru keunguan mendominasi kulit pucatnya. Begitu juga tangan dan kakinya yang nyaris dipenuhi luka. Bukan lagi ingin memanfaatkannya, justru terselip rasa iba di hati Pakunoda.

“Sudah biasa.” Tangan Pakunoda yang menangkup wajahnya didorong anak itu.  “Omong-omong, aku sering melihat Kakak sendirian, apa Kakak mau ikut ke rumahku?”

“Aku ....” Pakunoda selalu berkelana sendirian di kota ini, tanpa sosok yang mengenalnya. Tak ada salahnya 'kan ia membangun relasi?

“Aku mau.”

Pakunoda menerima uluran tangan si anak menuju tempat yang ia sebut rumah. Hanya tumpukan material yang ditumpuk sehingga membentuk dinding dan atap, di dalam sana sudah ada beberapa anak lain—enam laki-laki dan satu perempuan.

“Mulai hari ini maukah Kakak bersama kami mencari makanan?”

***

“Apa kau belum tahu siapa namamu?”

Pihak yang ditanya menggeleng dan kembali fokus ke buku yang dipangkunya, walaupun beberapa bagian kertas sudah rusak karena waktu. Pakunoda ikut membaca, ia mengenal tulisan karena diajari anak laki-laki di sebelahnya ini. Anak itu mengaku belajar membaca dari seseorang dan membagikan ilmunya ke anak-anak yang lain.

“Sepertinya ini keren untuk dijadikan nama.” Manik Pakunoda tertuju ke kata yang ditunjuk si anak.

“Eh?”

“Lucifer. Keren bukan?”

Lucifer, raja iblis dari segala iblis. Awalnya dia malaikat yang taat, tetapi ia membangkangi Tuhan dan diusir dari surga. “Kenapa Lucifer?”

“Namanya keren, selain itu aku ingin keluar dari ‘surga’ ini. Biar tidak terlalu mirip dengan nama raja iblis itu, bagaimana jika aku menambah huruf l? Jadinya Lucilfer. Bagus 'kan?”

“Bukannya dia jahat dan mengerikan?”

“Makanya aku menambah huruf l biar tidak sama dengannya!”

“Ya sudah jika itu maumu.”

***

Pakunoda menahan napas, ia menutup mulut bocah laki-laki di dekapannya. “Di mana para serangga kecil itu?”

“Ck, aku tidak tahu.”

Selepas perginya dua pria berbadan besar dari area persembunyian mereka, barulah Pakunoda bernapas lega dan melepas bekapannya. “Untunglah kita selamat. Bagaimana keadaan kakimu?”

“Tidak apa-apa.”

“Jangan berbohong, kakimu terluka.” Pakunoda sedikit merobek gaun lusuhnya untuk ia balutkan pada luka di pergelangan kaki si anak laki-laki.

Tadi ketika mereka berebut makanan, kaki anak itu sempat dikenai pisau. “Ayo kita pulang, yang lain pasti sudah menunggu.”

Pakunoda menggendong si bocah laki-laki yang membawa makanan hasil rebutan di punggungnya, langit mulai menggelap dan di beberapa titik kota penerangan sederhana bermunculan. “Apa sebentar lagi Tuan Bulan akan datang, Kak?”

“Iya, dia akan datang. Cahaya Tuan Bulan akan memandu jalan kita.”

Senja itu di antara tumpukan rongsokan Kota Meteor, Pakunoda bersama si bocah bermanik obsidian menatap Tuan Bulan yang datang bersama bintang-bintang cemerlang.

“Apa kita bisa ke bulan, Kak?”

***

Masa anak-anak berakhir, tahun-tahun berganti, juga musim-musim datang dan kembali. Sudah banyak perubahan yang terjadi. Bocah-bocah yang dulunya perusuh kota, kini dianggap penyelamat bagi penduduk Kota Meteor.

Di bawah guyuran hujan, Pakunoda menyusuri jalan ke gedung ia dan teman-temannya berkumpul. Semua kenangannya terputar, bocah laki-laki yang selalu ia gendong di punggungnya kini tumbuh sebagai pemimpin geng bandit.

Walau sudah berubah, sepasang obsidian yang bundar itu tetap menatapnya teduh. Raut wajah polos sejak kecil milik laki-laki itupun masih terbawa hingga kini.

Anak-anak yang tumbuh bersama Pakunoda di lingkungan kumuh dan sering mendapat pukulan dari orang-orang dewasa pun kini jadi sosok yang kuat.

Waktu berjalan cepat.

Kepala Pakunoda ribut, apakah ia memilih menyimpan semua informasi yang ia simpan atau membiarkan jantungnya tertusuk pedang kecik si Pengguna Rantai?

Begitu tiba di lokasi persembunyian Genei Ryodan, Pakunoda sudah menentukan jawabannya. Pakunoda tak terlalu paham apa definisi keluarga sebenarnya, tetapi ia merasa hangat setiap bersama rekan-rekannya. Demi mereka, ia rela jiwanya melayang.

Ia abaikan teriakan yang tertuju padanya dan menodongkan pistol yang mengarah ke arah kepala-kepala yang dikenalnya. Enam peluru meluncur satu per satu, bersama pedang kecil yang menusuk jantung Pakunoda.

Tak apa-apa ia mati sekarang, setidaknya ia mati demi rekan-rekannya, juga wajah merekalah yang ia tatap terakhir kali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro