untoward (4)
WARNING!!
•Karakter" Boboiboy hanya milik Monsta.
•Author hanya meminjam karakternya.
•Karakter lain ialah OC author.
•Alur cerita murni karangan author.
•Mohon maaf apabila ada perkataan yang menyinggung.
•Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan atau kata yang tidak pas ataupun kata yang tidak pantas.
~Selamat Membaca~
Solar membanting pintu kamarnya dengan keras, membuat suara berdebum yang menggema di seluruh ruangan. Tanpa peduli apakah seseorang mendengarnya atau tidak, ia langsung melempar tubuhnya ke kasur, membenamkan wajahnya ke bantal.
Tapi tetap saja. Tidak ada yang bisa meredam amarah yang bergejolak di dadanya.
Kata-kata Sori dan Sopan masih terngiang jelas di kepalanya, seperti piringan hitam rusak yang terus berulang tanpa henti.
"Ngeliat kamu yang lebih ekspresif kaya gini..pasti selama tinggal sama ayah, mamah enak banget ya?"
"Pasti kalau mau apa-apa langsung diturutin, kan? Makan enak, diperhatiin segala-galanya. Gak kaya kita yang cuma tinggal berdua, dan dipaksa mandiri dari umur dua belas tahun"
"Yah, gak heran juga sih. Kamu kan anak bungsu kesayangan ayah"
"Iya, ya. Bukan anak kesayangan ayah. Tapi lebih tepatnya, aset berharga ayah"
Solar meremas rambutnya sendiri, jari-jarinya menggenggam begitu erat hingga kulit kepalanya terasa nyeri.
"Tapi kenapa kita langsung dibuang gitu aja cuma karena satu kesalahan? Sementara kamu yang dulu sering melakukan kesalahan, tapi ayah selalu memaklumi itu!"
Solar mengangkat kepalanya, lalu berteriak frustasi.
"Bangsat! Lo berdua juga tau apa tentang kehidupan gue selama tinggal sama mereka hah?!"
Suaranya menggema di dalam ruangan, tapi tidak ada yang membalas. Hanya ada suara napasnya sendiri yang berat, tersengal oleh emosi yang terlalu besar untuk ditahan.
Matanya memerah bukan karena ingin menangis, tapi karena segala kemarahan, sakit hati, dan tekanan yang selama ini dipendam tanpa bisa diungkapkan.
"Lo berdua cuma liat enaknya doang! Sakit, stres, sekaratnya gue yang rasain!"
Solar menendang selimut yang tadi masih rapi di kasurnya, membuatnya jatuh berantakan ke lantai. Ia mengatupkan rahangnya begitu kuat hingga giginya terasa ngilu.
"Lo pada bilang enak tinggal sama mereka? Enggak, brengsek! Gak enak!"
Napasnya semakin memburu, kepalanya terasa berdengung, sementara tangannya masih mencengkram rambutnya sendiri.
Di dalam kepalanya, suara Sori dan Sopan masih terus berulang. Suaranya bercampur dengan suara lain yang lebih samar, suara yang berasal dari ingatannya sendiri.
Suara Ayahnya.
Suara Ibunya.
Suara yang seharusnya hangat, tapi yang ia ingat hanyalah dinginnya perintah, tekanan yang mencekik, dan tatapan yang selalu menuntut lebih.
Sori dan Sopan tidak tahu itu.
Mereka tidak akan pernah tahu.
"Harusnya..harusnya yang ngerasain tekanan ini tuh lo berdua sebagai anak tertua! Bukan gue! Kenapa jadi gue yang harus nanggung?!"
Suara Solar menggema di dalam kamarnya, nyaring, penuh amarah, sebelum akhirnya lenyap begitu saja.
Keheningan singgah setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya. Seolah energi yang tadi meluap-luap tiba-tiba saja padam. Solar terdiam. Tubuhnya yang masih gemetar perlahan menegang sebelum akhirnya ia menghembuskan napas panjang.
Tanpa berkata apa-apa, ia membenahi posisinya menjadi duduk dan menegakkan punggungnya. Tangannya bergerak merapikan rambut yang sedikit berantakan, jari-jarinya menyisir helai demi helai dengan gerakan lambat. Mata yang terasa perih ia pejamkan sejenak sebelum membukanya kembali.
Solar menyeka wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya masih sedikit tersengal, tapi emosinya sudah jauh lebih stabil dibanding beberapa detik lalu.
Dengan langkah yang terukur, ia berjalan menuju kamar mandi. Tangan kanannya memutar keran, membiarkan air mengalir sebentar sebelum akhirnya ia menampungnya dengan kedua telapak tangan dan membasuh wajahnya.
Dingin. Segar. Sedikit menyadarkan.
Solar menatap bayangannya sendiri di cermin. Mata yang masih terlihat merah dan ekspresi yang belum sepenuhnya rileks, tapi setidaknya tidak sekacau tadi.
Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar mandi. Tanpa ragu, kakinya melangkah ke arah meja belajar.
Tangannya terulur mengambil salah satu buku dari tumpukan tanpa melihat judulnya, lalu membukanya begitu saja.
"Tenang, Solar..tenang. Jangan tantrum begitu. Itu bukan gaya lo. Rileks.." suaranya terdengar lebih pelan, walau ujung matanya terlihat berkedut menahan diri.
Ia menatap halaman buku di depannya, berusaha fokus pada kata-kata yang tercetak di atas kertas.
"Ayo baca buku aja, lupain kejadian tadi. Anggap itu gak pernah terjadi!"
Matanya mengikuti setiap baris tulisan. Jari-jarinya menggenggam tepi buku lebih erat dari yang seharusnya.
Tapi tetap saja, kata-kata itu tidak benar-benar hilang.
«Skip Time»
Solar berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Langit masih gelap dan udara pagi terasa dingin menusuk kulit.
Lampu jalan masih menyala, menerangi trotoar yang lengang. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar, beriringan dengan suara samar kendaraan yang melintas di kejauhan.
Ia sengaja pergi lebih awal, bukan karena rajin atau ingin datang pertama. Tapi semata-mata untuk menghindari kedua kakaknya. Sekadar melihat wajah mereka saja sudah cukup membuat emosinya naik lagi.
Selama perjalanan, pikirannya melayang ke mana-mana. Ia berjalan dengan langkah otomatis, tidak benar-benar memperhatikan arah.
Baru saat gerbang sekolah sudah ada di hadapannya, ia sadar kalau dirinya sudah sampai.
"Anjay auto-pilot"
Suasananya masih sepi. Hanya ada satpam yang berjaga di posnya, serta beberapa petugas yang sibuk menyapu halaman sekolah.
Angin pagi berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon sekitar.
Tapi Solar tidak peduli. Ia tetap melangkah masuk ke dalam gedung sekolah, menyusuri lorong yang kosong lalu menuju kelasnya.
Begitu sampai, ia langsung duduk di bangkunya. Menyandarkan bahu ke sandaran kursi, membiarkan kepalanya sedikit miring ke samping.
Kelas yang terlalu sunyi ini justru membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.
"Anjirlah, kalau terlalu sepi kek gini malah serem juga" gumamnya pelan.
Akhirnya ia merogoh ponselnya dari saku, membuka layar, lalu mengetik pesan untuk Taufan.
Buruan ke sekolah, Fan. Gue udah nyampe duluan nih
Tak butuh waktu lama, balasan dari Taufan muncul.
Lah buset, tumben nyubuh bang? Wkwk
Sabar sabar. Lagi sarapan nih, bentar lagi deh gue otw
Oke. Bener ya, bohong pala lo gue pites disini
Siap, paham🙏🏻
Solar menghela napas, merasa agak lega. Setidaknya Taufan akan segera datang.
Namun, ketika ia hendak menutup aplikasi chat, sesuatu menarik perhatiannya. Ada satu pesan lama yang belum ia buka, pesan yang ia kirim kemarin pada Ice.
Baru sekarang ia ingat. Kemarin, setelah pulang dari kafe untuk kerja kelompok, ia sempat menghubungi Ice hanya untuk menanyakan kabarnya.
Dengan sedikit ragu ia membuka arsip pesan, mencari nama yang dimaksud. Namun, setelah menemukan chat itu alisnya langsung berkerut.
Pesannya masih di sana. Centang dua. Tapi tidak ada balasan sama sekali.
"Tumben..?"
Solar mengerutkan dahi. Matanya masih terpaku pada layar ponsel, membaca ulang isi percakapannya dengan Ice dulu.
Dan untuk yang sekarang tidak ada balasan. Hanya pesan terakhir dari dirinya yang tertinggal di sana, centang dua tanpa respon.
"Seinget gue, dulu Ice gak pernah se slow respon ini kalau ada yang chat. Paling sejam, dua jam, baru dibales"
Ia menggulir layar ke atas, melihat percakapan-percakapan lama mereka. Percakapan yang dulu terasa biasa saja, kini terasa seperti peninggalan dari masa yang jauh.
Semakin lama ia membaca, semakin sesak rasanya. Ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa mengganjal.
Antara marah dan kecewa.
Tapi, lebih dari itu..ia merasa kehilangan.
Solar menghela napas, mendengus pelan "Cih, berharap apa gue?" gumamnya sinis pada diri sendiri "Toh, gue udah menduga hal ini kok. Lambat laun..kita emang bakalan jadi asing. Sedekat apa pun kita dulu.."
Kata-kata itu keluar begitu saja, terdengar yakin tapi di dalam kepalanya ia tahu itu bohong.
Karena jauh di lubuk hatinya, ia masih berharap. Masih ingin percaya kalau semuanya bisa kembali seperti dulu.
Bahwa bagaimana pun keadaan sekarang, mereka masih bisa saling bicara seperti dulu, tertawa, bercanda, tanpa ada jarak yang menghalangi.
Solar mengepalkan tangannya di atas meja, lalu menutup matanya sejenak. Ia tidak suka merasa seperti ini. Tidak suka terbawa perasaan untuk sesuatu yang tidak bisa ia ubah.
"Udah, udah! Jangan galau gini ah, masih pagi juga.."
Ia buru-buru mematikan ponsel dan melemparkannya ke atas meja. Tangannya kini sibuk mencari buku pelajaran yang akan dipelajari hari ini.
Fokus. Itu lebih baik. Itu lebih penting.
Tapi nyatanya, sekeras apa pun ia mencoba mengalihkan perhatian, pikirannya tetap tersangkut di satu hal yang tidak ia ketahui..
Bahwa pesan itu memang tidak akan pernah terjawab.
Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak sampai kapan pun.
Karena, tanpa sepengetahuan Solar. Ice sudah tiada.
=====
Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya Taufan muncul di gerbang sekolah, bersamaan dengan para siswa lain yang mulai berdatangan.
Beberapa berjalan santai sambil mengobrol, sementara yang lain terburu-buru menuju kelas masing-masing sebelum bel berbunyi.
Solar sudah lebih dulu tiba dan kini duduk di bangkunya, membolak-balik buku tanpa benar-benar membaca isinya. Begitu Taufan masuk ke kelas, mereka langsung berbincang tentang hal-hal sepele seperti guru yang kemungkinan akan memberikan kuis mendadak atau tentang gosip terbaru di sekolah.
Percakapan itu terus berlanjut sampai bel pertama berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran.
Dua jam berlalu. Mata pelajaran pertama dan kedua telah selesai, dan kini waktu istirahat tiba. Seperti biasa, kantin sekolah langsung dipenuhi oleh siswa-siswi yang bergegas mencari makanan setelah perut mereka berdemo.
Di meja paling pojok, Solar dan Taufan duduk bersama dua teman lainnya. Makanan di hadapan mereka sudah hampir habis, tapi obrolan ringan masih terus mengalir.
Namun di tengah suasana yang ramai, Taufan mulai memperhatikan sesuatu yang janggal. Solar terlihat lebih diam dari biasanya. Tidak ada komentar sarkas atau candaan khasnya yang biasa muncul di sela-sela percakapan.
Ekspresinya pun agak murung, wajahnya sedikit kusut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Awalnya Taufan tidak terlalu memedulikannya, tapi semakin lama diperhatikan, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang mengganggu temannya itu.
"Lo kenapa? Ada masalah kah?" tanyanya pelan, sengaja agar tidak menarik atensi yang lain.
Solar menoleh dengan ekspresi sedikit bingung "Hah? Kagak, kenapa emang?" tanyanya balik, seolah tak mengerti kenapa Taufan menanyakan hal itu.
Tapi Taufan tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Solar.
Ia menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya masih tertuju pada Solar, seolah menimbang-nimbang apakah harus terus menekan atau membiarkan temannya itu tetap diam.
"Halah, kata-kata begitu bukan sekali dua kali gue denger" gumamnya, suaranya terdengar lebih tenang tapi ada nada getir yang terselip di sana "Beberapa orang yang deket sama gue pasti bilang gitu kalau lagi ada masalah"
Solar mengangkat alis, tapi tidak langsung menanggapi.
"Tapi besoknya.." Taufan melanjutkan, menahan napas sejenak sebelum mengembuskan kelanjutannya "Malah pergi"
Kata terakhir itu diucapkan dengan nada yang sulit diartikan. Ada kesal, ada kecewa, dan entah kenapa juga terdengar sedikit sedih.
"Lo kenapa dah?" tanya Solar lagi, ekspresinya sedikit berubah "Gue emang gak kenapa-kenapa, elah. Lagian gue kalau ada apa-apa pasti bakal cerita sama lo kan?"
Kali ini, Taufan tidak langsung membalas. Dia hanya diam, menatap meja sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Solar. Kata-kata itu ada benarnya.
Sejauh yang dia tahu, kalau pun Solar memang sedang ada masalah. Masalah yang benar-benar mengganggu sampai sakit kepala, dia pasti akan bercerita.
Taufan akhirnya menghela napas, menyerah untuk mencari tahu lebih lanjut, setidaknya untuk sekarang.
Dia mengambil gelasnya, menatap isinya sebentar sebelum akhirnya berkata "Okelah, janji ya kalau ada masalah lo cerita sama gue. Iya gue tau, gue gak seharusnya maksa..tapi ya..ya gitulah!"
Setelah itu dia memilih untuk menghabiskan minumannya, menghindari kontak mata sejenak.
Solar hanya menggeleng pelan, senyum tipis tersungging di sudut bibirnya. Entah karena sedikit terhibur atau sekadar pasrah dengan sikap Taufan yang selalu begitu peduli, tapi sok santai.
Sementara itu dari seberang meja, Gopal dan Yaya yang sejak tadi diam, saling bertukar pandang. Mereka tidak benar-benar paham apa yang terjadi, tapi jelas ada sesuatu yang mereka lewatkan.
"Oi, lo berdua kenapa dah?" Gopal akhirnya buka suara, ekspresinya setengah penasaran, setengah kesal "Bisik-bisik gitu, kan kita juga mau denger!"
"Iya" Yaya menimpali, mengangkat alis "Jangan bisik-bisik lah..kesannya kalian kaya lagi ghibahin kita"
Taufan melirik mereka sekilas sebelum mengembalikan fokusnya ke sisa makanannya.
Sementara Solar hanya menghela napas, menyadari bahwa percakapan mereka baru saja menarik perhatian yang seharusnya tidak ada.
Taufan terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana yang tanpa sengaja berubah jadi salah paham.
"Dih, kepo amat lo berdua" ujarnya, sembari menggeser gelas minumannya yang kini tinggal es batu yang hampir mencair "Gue cuma nanya sama Solar..gunanya huruf ‘E’ di kata ‘Es’ apa ya?"
Sejenak, meja mereka dipenuhi keheningan aneh. Gopal dan Yaya sama-sama mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud pertanyaan itu.
Bahkan Solar yang duduk tepat di sebelah Taufan ikut bingung. Tapi berbeda dengan yang lain, dia memilih untuk tidak memperlihatkannya.
Gopal akhirnya menyerah lebih dulu "Ahaha, keknya emang paling bener kalau kita gak perlu tau ya"
Yaya mengangguk setuju "Hm, pantesan Solar langsung keliatan gak mood gitu. Dikasih pertanyaan gak jelas rupanya"
Solar menoleh ke Taufan dengan tatapan datar sebelum akhirnya menimpali "Yahh..emang agak-agak nih orangnya"
Itu hanya alasan supaya Gopal dan Yaya tidak makin curiga.
Bukannya merasa tersinggung, Taufan justru tertawa lebih keras "Yeuu, tadi pada nanya..giliran dikasih tau, malah pada begitu"
Obrolan mereka kembali normal setelah itu, tanpa ada yang menyadari bahwa Taufan sengaja mengalihkan perhatian mereka dari sesuatu yang lebih serius.
.
.
.
Kantin yang tadinya dipenuhi suara obrolan santai mendadak ricuh. Beberapa siswa berteriak kaget, ada juga yang justru bersorak seakan menonton pertandingan seru.
Dalam sekejap, hampir semua perhatian tertuju ke satu titik. Tempat dua siswa saling baku hantam tanpa ragu.
Taufan yang refleks ikut penasaran, bersiap berdiri "Eh, ada yang baku hantam tuh. Pisahin gak nih?" tanyanya lebih ke diri sendiri, sebelum benar-benar berniat mendekat.
Tapi belum sempat ia bangkit sepenuhnya, sebuah tangan menarik lengannya dengan cukup kuat sampai ia jatuh duduk lagi di kursinya.
"Gak usah! Udah diem..gak usah ikut campur!" suara Solar terdengar tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya.
Taufan menoleh setengah protes, tapi Gopal lebih dulu menimpali "Bener! Nanti malah lo yang kena getahnya, Fan"
Sementara itu, Yaya satu-satunya anggota OSIS di antara mereka hanya mendecak pelan sebelum akhirnya berdiri.
"Cih, lemah kalian jadi cowok!"
Tanpa ragu dia pun melangkah ke arah kerumunan, diikuti beberapa anggota OSIS lainnya yang juga mulai bergerak untuk melerai.
Solar, Gopal, dan Taufan tetap di tempat mereka, memperhatikan dari kejauhan. Perkataan Yaya barusan memang sedikit menyentil harga diri, tapi di sisi lain Solar memang tidak salah.
Terlibat dalam urusan yang tidak ada hubungannya dengan mereka hanya akan jadi masalah baru.
"Lagian, kantin lagi adem ayem tiba-tiba ada yang berantem" komentar Gopal, matanya masih tertuju ke arah kericuhan "Tapi masalah apa ya? Hehe, kepo nih"
Seakan menjawab rasa penasaran mereka, dua siswa lain yang kebetulan lewat sambil mengobrol memberikan petunjuk tanpa sadar.
"Gila, gila..katanya mereka berantem karena rebutan cewek!"
"Heem..ceweknya yang itu kan, yang berdiri deket Kak Angga, si OSIS bagian keamanan?"
Serempak, Solar, Taufan, dan Gopal menoleh ke arah yang dimaksud.
Di antara para anggota OSIS yang sibuk memisahkan perkelahian, seorang gadis tampak berdiri dengan wajah sedikit pucat. Tidak bisa dipungkiri, dia memang cantik. Tapi bukan itu yang langsung menarik perhatian Taufan.
"Buset, seragamnya.." gumamnya pelan, buru-buru mengalihkan pandangan.
Bagian kerah seragam gadis itu sedikit terbuka, jelas tidak memakai dasi, membuat lekuk tubuhnya terlihat lebih mencolok. Seragamnya pun terlalu ketat, semakin menonjolkan bagian yang seharusnya tidak perlu diperlihatkan.
Sementara itu gadis tersebut tampak menangis, entah karena ketakutan atau karena benar-benar peduli dengan salah satu dari dua siswa yang berkelahi karena dirinya.
Tatapan siswa laki-laki lain pun satu per satu tertuju padanya.
Solar yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. Tapi bukan untuk bergabung dalam bisik-bisik kagum atau komentar penasaran.
"Orang tuanya mati-matian banting tulang" ucapnya datar, tapi nada sarkasnya begitu jelas "Anaknya malah banting harga diri"
"Beuh, kasus mennn. Pasti nanti kena tegur habis-habisan tuh sama anak-anak osis" gumam Gopal, mengangkat alisnya "Mantep juga kata-kata lo, Lar"
Solar tidak langsung menanggapi. Hanya mendengus pelan, terlihat tak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan "Hhh..dahlah, ke kelas aja yuk. Berisik banget disin-"
Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara teriakan dari tengah kerumunan kembali menarik perhatian mereka.
"Argh bangsat! Gara-gara lo yang caper depan cowok lain, malah gue yang kena gini!”
Salah satu siswa yang tadi berkelahi berseru, nadanya penuh amarah. Tapi bukan itu yang membuat Solar akhirnya menoleh.
"Lo mah enak, siswi kesayangan guru-guru. Pasti bakal dibelain! Lah gue?"
Kalimat itu telak menghantam benaknya, seolah menekan tombol yang seharusnya dibiarkan mati.
Seketika Solar terpaku. Kata-kata itu..nada yang penuh tuduhan, dan sindiran yang menyebalkan. Terlalu mirip dengan sesuatu yang ia dengar semalam.
Sori juga mengatakan hal yang sama.
Tentang siapa yang menjadi 'anak kesayangan'
Seketika, emosinya kembali bergejolak. Rasanya muak. Bukan hanya dengan suara orang itu, tapi juga dengan isi kepalanya sendiri.
Tanpa sadar kakinya melangkah, niatnya jelas ingin mendekati sumber suara tadi. Entah mau apa Solar sendiri tidak tahu.
Tapi sebelum ia sempat mendekat, sebuah tangan dengan cepat menarik lengannya ke belakang.
"Woy, woy, mau ngapain lo?" suara Taufan langsung terdengar, nada heran bercampur waspada "Tadi lo ngelarang gue buat deketin, tapi malah lo yang mau ke sana?"
Solar sedikit tersentak, lalu dengan cepat menarik ekspresinya kembali ke wajah datarnya yang biasa.
Ia berdecak pelan "Apasih? Orang gue mau buang sampah juga" katanya, mengangkat plastik bekas makanan di tangannya sebagai bukti.
Alasan yang terdengar cukup masuk akal.
Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung berbalik dan berjalan lebih dulu meninggalkan Taufan dan Gopal, seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi.
Gopal yang masih memperhatikan punggung Solar yang menjauh, hanya menghela napas..
"Gak jelas tuh anak!" gumamnya sebelum menoleh ke Taufan "Ah, Fan...gue harus ngumpul ekskul nih. Nanti tolong bilangin ke guru kelas ya? Hehe"
Sebelum Taufan sempat menjawab, Gopal sudah lebih dulu kabur sambil melambaikan tangan,
"Duluan ya, bye!"
"Yahh...memang, tidak semua babi itu berwujud hewan"
Taufan tetap diam di tempatnya, matanya masih mengarah ke arah Solar pergi. Ia bisa saja mengabaikan ini, bersikap seolah tidak ada yang aneh. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan sebaliknya.
"Ck, pasti ada yang dia sembunyiin sama tuh curut. Gak salah lagi..." Taufan menghela napas. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk mencari cara.
Bagaimana caranya membuat Solar mau membuka mulut?
Ini bukan karena ia sok sibuk ikut campur masalah orang lain. Tapi karena ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang hanya karena ia terlambat menyadari.
Seperti yang terjadi dengan Ice.
Sebuah memori yang tidak ingin ia ulang lagi. Dan tanpa ia sadari, hal itu telah menjadi trauma untuknya.
21 Febuari 2025
=====
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro