Reason (2)
!!WARNING!!
•Karakter" Boboiboy hanya milik Monsta.
•Author hanya meminjam karakternya.
•Karakter lain ialah OC author.
•Alur cerita murni karangan author.
•Mohon maaf apabila ada perkataan yang menyinggung.
•Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan atau kata yang tidak pas ataupun kata yang tidak pantas.
~Selamat Membaca~
"Mau ngebarcode lagi?"
Ice terperenyak. Dia tidak menyangka Fang tiba tiba sudah ada di dalam ruang uks dan berdiri dibelakangnya. Entah lewat mana temannya itu masuk, Ice sama sekali tak mendengar suara sedikit pun.
"E-enggak, kata siapa?" elak Ice, buru buru ia menyembunyikan siletnya di saku celana.
Fang menyunggingkan senyuman, ia menarik kursi disampingnya "Lo tau kan lo gak bisa bohongin gue? Lagian keliatan jelas banget tadi anjir"
Ice tak menjawab, ia hanya mendudukkan diri diatas brankar dan membuang muka ke sembarang arah.
"Ditungguin di kelas, malah belok kesini"
"Apa sih Fang, aku izin kelas ya. Kepala aku pusing. Kayanya vertigo aku mau kambuh nih bentar lagi"
"Kalau gitu tidur, bukannya barcode. Heran gue, katanya mau berhenti tapi masih aja gitu. Lo pikir dengan ngebarcode bisa bikin masalah lo selesai? Enggak kan. Yang ada bikin masalah baru, dan lo udahnya kesakitan" pada akhirnya Fang mengomeli Ice
Ice memutar mata malas, ia pun merebahkan diri dikasur. Berusaha mengurangi rasa sakit kepala yang perlahan semakin menyerang dirinya.
"Dikira gampang apa?" batinnya kesal
"Terus kamu ngapain disini, balik sana. Nanti Thorn nyariin"
"Ogah, gue juga mau bolos aja. Lebih tepatnya nemenin lo sih, bahaya kalau lo ditinggalin sendirian. Lo kalau lagi sendiri kaya orang yang gak punya tuhan"
Ice tak langsung menjawab, entah kenapa pernyataan Fang malah terdengar menyebalkan baginya, walau itu benar. Ia pun hanya balas bergumam,
"Enak aja dikatain gak punya tuhan, ya gimana lagi, namanya juga orang dengan gejala" sayangnya Fang mendengar dengan baik gumaman manusia biru satu itu
"Halah berlindung dibalik kata gejala. Lo gak gitu Ice, lo sehat. Serius deh, lo mau apa? Sini bilang, nanti gue beliin, mau jajanan? Mau belanja baju? Gass"
"Mau mati"
Demi tuhan, rasanya ingin sekali Fang menyekik temannya itu. Terkadang ia lelah meladeni Ice yang seperti ini, rasanya apa yang dia lakukan tidak dihargai sama sekali, tapi di sisi lain dirinya cukup memaklumi keadaan dan kesehatannya.
"Enggak. Lo gak pengen mati, lo cuma pengen makan makanan enak, tidur yang nyenyak, sama tempat tinggal yang nyaman. Lo cuma pengen masalah lo berkurang atau bahkan gak ada"
"Lo cuma pengen gak hidup dijalan yang lo jalanin sekarang. Lo cuma pengen punya temen sama keluarga yang baik. Lo cuma pengen orang lain ngertiin pilihan lo yang kadang gak sesuai sama standar mereka"
"Lo gak pengen mati. Lo orang yang justru pengen hidup. Cuma keadaannya gini, jadi lo kepikiran pergi terlalu jauh. Bener gak?"
Ocehnya panjang lebar, selama ia mengatakan itu semua, badannya sedikit gemetar entah kenapa, dadanya naik turun dan matanya memanas. Terkadang ia merasa seperti itu setiap kali bicara serius dengan Ice.
Lagi lagi Ice tak menjawab, dan itu kembali membuat Fang emosi,
"Lagian Ice. Mati pun gak akan bisa bikin lo tenang. Lo malah bakalan makin kesiksa tau gak? Kesiksa dunia akhirat bego! Lo mau?!"
Ice tersentak, ia tak mengira bahwa Fang akan jadi emosional begitu,
"Ck, Fang aku cuma-"
"Inget ya, tenang gak harus selalu mati. Orang mati aja masih harus di doain biar tenang"
"Udah?" tanya Ice dengan intonasi yang rendah
Fang mengernyit, sedikit kesal dengan jawaban yang terlontar dari mulut Ice setelah beribu kata yang ia ucapkan barusan. Sepertinya, mau sampai mulut Fang berbusa pun anak itu tidak akan sadar.
Ice terkekeh sinis "Aku bahkan belum ngomong apa apa. Kamu udah nyerocos aja Fang"
"Astaga, sulit sekali berkata kasar dengan sopan" keluh Fang sembari memijat keningnya
"Kamu kenapa sih? Bukannya kamu ya yang mikirnya kejauhan?" Ice mengubah posisinya menjadinya duduk
"Aku baik baik aja Fang. Aku menikmati hidup ku. Aku seneng sama hidup aku, kenapa kamu ngeremehin aku?"
"Ya terus njing, maksudnya mau mati tadi apa hah?!"
Sudahlah, emosinya tidak bisa ditahan lagi. Tapi Ice pun bukannya emosi juga atau apa, ia malah tertawa renyah mendengar pertanyaan Fang barusan.
"Ahaha, tapi aku emang mau mati Fang"
"Sumpah lah Ice, gue sum-"
"Makan roti"
"Hah?"
"Mati. Makan roti" jelas Ice singkat, sambil terkekeh pelan
Untuk beberapa saat Fang tidak paham, tapi setelah mengerti kalau Ice ternyata menyingkat kata tersebut, barulah ia memberikan reaksi serupa seperti sebelumnya. Mengatai Ice dengan berbagai macam hewan kebun binatang.
"Suruh siapa emosi duluan. Udah lah, yuk bolos ke kantin. Ada roti varian baru, aku mau beli" ujar Ice dengan santainya, ia turun dari brankar, merapihkan seragamnya yang sedikit berantakan
"Jangan cemas Fang. Aku bakal tetap..ceria dan kuat" sambung Ice lagi diiringi dengan senyuman meyakinkan
Fang tertegun, ia menghela napas cukup panjang dan membalikkan badannya "Tunggu, gue mau berdoa dulu, gue ada permintaan"
"Tuhan sibuk, gak ada waktu buat ngabulin permintaan penganut palsu kaya kamu"
"Sumpah Ice, demi alek gelud kita sekarang"
.
.
.
.
.
Ice memakan rotinya dengan rakus. Ia seperti tidak diberi makan seminggu oleh keluarganya, untuk sesaat Fang menjadikannya sebagai bahan bersyukur. Ia merasa ternyata hidupnya tidak terlalu buruk seperti Ice.
"Pelan pelan gila, keselek mampus"
"Lapar. Tadi berangkat gak dikasih sarapan" jawab Ice dengan mulut penuh roti
Fang hanya bisa menggeleng prihatin mendengarnya "ish ish parah, pantesan aja, kaya orang susah banget sekarang. Gak salah gue ngejadiin lo sebagai bahan bersyukur"
"Apa perlu aku dorong kamu biar diem?" balasnya setelah terdiam beberapa saat "Hhh, aku gak bisa jadi orang baik karena kamu brengsek"
Pemuda berambut raven itu tertawa nista, terkadang, mengganggu Ice seperti ini bisa menjadi hiburan untuknya. Jahat, tapi ya begitulah.
"Btw, lo ada masalah lagi ya dirumah? Kali ini soal apa kalau gue boleh tau?"
Karena pertanyaan Fang, Ice jadi kembali terdiam. Hah dasar, padahal tadi dia sudah berhasil melupakannya, tidak bisakah si landak ungu itu menunda dulu rasa penasarannya? Rasanya sakit kalau harus dibahas sekarang. Bodoh
"Biasalah, kamu juga udah tau kan? Harus berapa kali lagi aku ceritain? Gak bosen emang? Itu itu terus"
Fang terlihat menekuk wajahnya, lantas mengusapnya kasar "Lagi? Mereka itu kenapa sih Ice? Yah, minimal anaknya jangan dibawa bawa lah..sampe sakit gini, parah"
Iya, Ice dulu pernah tidak sengaja deeptalk dengan Fang, menceritakan sebagian masalah dalam hidupnya. Ice hanya bercerita masalah yang ada di keluarganya saja untungnya. Yang tahu dari a-z tetaplah Halilintar pemenangnya hahaha.
"Udahlah Fang, suka suka mereka aja. Gapapa. Aku juga biasa aja kan"
"Halah, mau sampe kapan?"
"Sampe mereka capek sendiri. Aku bisa apa emang selain nurut?"
"Sesekali protes, jangan diem aja. Adek adek lo aja gak pernah kena kan?"
Ice membungkus kembali sisa rotinya. Ia memasukkannya kedalam saku jaket yang cukup longgar, kemudian menatap Fang dengan datar.
"Karena aku anak pertama. Dan aku juga gak mau kalau mereka berdua harus ngerasain hal yang sama, cukup aku aja"
Fang mendengus kesal mendengarnya. Ia benci kalau Ice sudah bersikap sok kuat dan tegar begitu.
"Daripada itu Fang. Agar tali silaturahmi tidak putus, pinjam dulu seratus" guyon Ice
"Lo pikir gue punya? Tentu aja enggak" Sudut mata Fang berkedut kesal, ternyata ia menanggapi ucapan Ice dengan serius.
Dia memang menjadikan Ice sebagai bahan bersyukur tadi. Tapi kalau soal uang, untuk sekarang ia sedikit sensitif.
"Gitu ya, sayang sekali..tadi aja gayanya mau ngebeliin apapun" sahut Ice, nadanya terdengar sedikit mengejek
"Ck, gue ini sekarang lagi krisis keuangan anying, hampir miskin nih gue, lo jangan banyak bacot"
Si lawan bicara berdiri, dan tiba tiba menatap rendah padanya "kalau miskin, seenggaknya bersikaplah yang baik"
"Astaga kepala gue, jantung gue..."
Sudah cukup, Fang sudah lelah. Sikap dan pikiran Ice itu sangat random. Kadang begini, kadang begitu. Lama lama ia merasa dirinya lah yang mengalami gejala gangguan jiwa.
«Skip Time»
Hening.
Itulah yang dapat mendeskripsikan keadaan meja makan sekarang. Ice beserta kedua adiknya, Frostfire dan Glacier hanya diam fokus pada makanan, tidak seperti biasanya.
"Sekolahnya lancar kan Ice? Gak ada masalah apa apa lagi?" tanya Rasya, selaku ayah Ice
"Hm? Oh iya..aman kok yah"
"Gapapa ya kalau di sma temen temennya gitu, nanti di tempat kuliah gak akan kaya gitu kok"
"Gak ada kuliah kuliah. Ice harus kerja" bantah sang ibu, yang terlihat enggan menatap Ice
"Mah, ayah bilang Ice itu harus kuliah. Biarin dia pilih mau ambil apa nanti"
"Uang dari mana yah? Biaya kuliah itu mahal, gak sedikit. Kita juga akhir akhir ini banyak banget pengeluarannya sampe berpuluh puluh juta, belum lagi hutang bank. Ditambah bayaran smp nya Frost. Glacier juga dikelasnya ada tour nanti sama bayaran lainnya, Ice juga..."
Ice dan Frostfire terdiam, saling bertukar pikiran hanya dengan sekali tatap. Glacier tidak termasuk karena dia masih bocah sd, jadi tidak terlalu paham. Yah, awalnya mereka senang karena acara makan malam kali ini cukup tenang. Tidak seperti sebelumnya.
Tapi ternyata ketenangannya itu tidak bertahan lama. Pasti ada saja yang jadi bahan perdebatan antara ayah dan ibunya yang selalu bertolak belakang dalam berpendapat.
"Pokoknya Ice harus kerja. Kuliah itu berat, belum lagi kan Ice gak sehat, kamu pikir dia bakal kuat nanti? Mending kerja, ngehasilin uang. Bisa bantu bantu kita, beli obat dia sendiri, sama biayain dua adiknya"
"Risa, kamu jangan berlebihan lah. Rezeki kan udah ada yang ngatur. Gak usah dibahas, pasti ada. Lagian aku juga kan belum pensiun, masih lama loh, pasti masih bisa lah ke biayain. Semua nya pasti kebayar"
Kalau kalian bertanya apa pekerjaan ayah Ice. Beliau adalah seorang tentara, abdi negara. Pangkatnya bisa dibilang cukup tinggi. Sementara ibunya seorang pengusaha pengolah mas. Walau masih merintis dan belum menjadi mayor.
"Ice itu mentalnya lagi gak stabil! Gak akan kuat kalau disuruh kuliah, Rasya. Kamu ini mikir sampe kesitu gak?"
"Risa!" Bentaknya yang sudah merasa bahwa perkataan istrinya keterlaluan
"Apa?! Bener kan? Anak kita yang satu itu udah gila. Kalau kamu nyuruh dia kuliah nanti malah makin gila karena materi kuliah!"
Sorot mata Rasya menyalang tajam "Cukup. Kamu mau ribut depan anak? Lagi? Bahkan disini ada Glacier"
Risa mendengus samar, sejenak lupa kalau dia tidak hanya berdua dengan suaminya. Pada akhirnya, ia memilih untuk menyudahi makannya lantas membawa Glacier ke kamar. Disusul Frostfire, dia juga muak mendengarnya.
Sementara itu, Ice masih terdiam dengan matanya yang menerawang kosong. Pikirannya mulai dipenuhi perkataan ayah dan ibunya tadi. Sungguh, ia merasa jadi serba salah, merasa tidak berguna, dan lainnya.
"Ice? Jangan dipikirin kata kata mamah, dia lagi pusing aja sama kerjaannya. Kamu ngertiin aja dlu dia ya?"
Ice menoleh, memberikan respon cukup lambat, ia memasang wajah datar tapi sedetik kemudian dirinya mengembangkan senyuman diwajahnya,
"Iya ayah, Ice ngerti kok. Maafin Ice ya selalu nyusahin kalian"
27 Oktober 2023
=====
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro