PROLOG
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kisah yang tidak pernah dimulai, tapi harus berakhir dengan kata selesai."
⏮️⏸️⏭️
PERNAHKAH kalian mendengar istilah hubungan tanpa status. Saya rasa kalian mengetahuinya, bahkan mungkin ada yang terjebak di dalam sana. Jika iya, mari kita tertawa bersama. Sebab saya pun mengalami hal yang serupa.
Tidak ada kalimat jadian, tidak pula dideklarasikan sebagai pacar. Tapi, untuk disebut sebagai teman jelas tidak sesederhana itu, kan. Membingungkan memang, tapi apa daya jika sudah kepalang basah. Lebih baik nyebur bareng-bareng, bukan?
Sepertinya laki-laki zaman sekarang memang lebih menyukai HTS. Sebab, hanya hubungan itu yang tidak dituntut kejelasan, apalagi kepastian untuk menuju ke jenjang pernikahan.
Bukankah ditanya kapan akan menghalalkan jauh lebih terdengar mengerikan, dibanding hanya sekadar ditanya apakah sudah makan?
Bibir saya memang terkatup rapat, seolah terlihat baik-baik saja. Padahal pikiran saya sudah sangat riuh, bahkan mungkin sulit untuk ditenangkan.
"Lihat deh, menurut kamu gimana hasilnya," cetusnya seraya menyerahkan laptop miliknya pada saya.
Saya pun mengambil alih benda berukuran 16 inc tersebut, dan terpaku melihat hasil jepretannya yang begitu apik. Kalau untuk urusan potret-memotret dia memang tidak bisa diragukan.
Saya menunjukkan dua jempol ke arahnya, sedikit tersenyum simpul sebagai respons.
"Enggak ada kalimat pujian lain dari sekadar dua jempol?" protesnya.
"Enggak."
Dia mendesis pelan. Lantas kembali melanjutkan sesi pemotretan adiknya. Kebun Raya Cibodas, Cianjur memang kerapkali dijadikan sebagai lokasi prewedding ataupun post wedding.
Hamparan rumput hijau yang terawat membuat mata segar seketika. Ditambah pula dengan rindangnya pepohonan yang semakin membuat kawasan ini terasa sejuk dan asri. Jangan lupakan juga ada danau buatan yang di dalamnya terdapat beberapa jenis ikan.
Spot ini yang paling sering dijadikan latar pemotretan. Tak heran, banyak sekali orang yang juga tengah melakukan hal serupa. Ada beberapa spot foto lain, dari mulai air terjun, rumah kaca, taman sakura, dan masih banyak lagi. Bahkan, beragam jenis tumbuhan langka pun ada, semua tertata rapi dan bisa dilihat oleh para pengunjung.
Berada di sana memang bisa menetralkan pikiran, membuat hati damai dan tentram. Tapi, itu hanya sementara. Sepulangnya ke rumah, kata healing diganti dengan pusing.
"Mau foto nggak?" tawarnya.
Sebuah gelengan kecil saya berikan.
"Nyesel nanti, mumpung ada di sini. Bagus buat koleksi. Enggak usah di-update ke sosmed," bujuknya.
Saya yang tengah duduk selonjoran seraya bersandar pada pohon pun akhirnya berdiri dan menghampiri dia. "Enggak pede, suka mati gaya."
"Enggak usah banyak gaya, diem senyum juga cukup," instruksinya seraya mengarahkan saya untuk berdiri dengan danau buatan sebagai background.
Dia memberi ancang-ancang dengan tangannya agar saya tersenyum, tapi sebelum tangan itu ada di hitungan ketiga, saya lari tunggang-langgang menjauh darinya.
Saya ini anti kamera. Tidak biasa, dan juga tidak suka. Apalagi harus dipotret oleh seorang profesional. Bergaya dan banyak gaya tidaklah ada dalam kamus hidup saya.
Tanpa diduga dia malah mengejar dan terus berusaha untuk memotret saya yang mati-matian menjauh dari jangkauan kamera.
Saya menjatuhkan diri di atas rerumputan dengan kaki dilipat dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Lelah sekali rasanya, tapi lelaki berusia 27 tahun pemilik nama Hamzah Wiratama itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hasilnya bagus tahu, Tha."
Saya pun mengintip dari celah jari, melihat dia yang masih asik tertawa seraya menilik-nilik hasil keisengannya.
"Seharusnya yang kamu foto itu adik kamu, bukan saya. Gimana sih!"
Dia duduk berjarak di sisi saya. Menyerahkan kameranya, dan saya langsung mengambil alih benda tersebut.
"Bagus, kan? Faceless seperti kebanyakan foto kamu. Kelihatan lebih natural, meskipun capek karena harus motret sambil lari-larian. Ada beberapa yang blur juga karena kamunya nggak bisa diam," ocehnya.
Saya mengangguk setuju. Ternyata, hasilnya tidak seburuk yang saya kira. Hasil tangan profesional memang tidak akan mengecewakan.
Dia pun kembali mengambil alih kameranya, dan tanpa izin langsung memotret saya. Lelaki ini sangat amat usil, banyak foto candid yang dia dapatkan hari ini.
"Ish, memorinya habis nanti!" protes saya agar dia segera menyudahi kegiatan tidak berfaedahnya.
"Biarin, tinggal pasang memori card baru. Masih banyak cadangan," sahutnya begitu jumawa.
"Mana coba lihat foto yang barusan, jelek pasti itu. Kamu senyum-senyum mulu. Mencurigakan!"
Perdebatan kami terhenti kala mendengar suara cempreng seorang perempuan.
"A Hamzah kenapa malah pacaran sih. Aku nungguin dari tadi tahu!" omel Hanin dengan wajah masam dan bibir mengerucut.
Saya meringis kala mendengar kata 'pacaran' yang terlontar dari mulut Hanin. Perempuan berusia 24 tahun yang dua minggu lagi akan melepas masa lajang itu terlalu frontal dan sembarangan.
"Aa kira kamu belum kelar ganti bajunya, Nin," sahutnya.
Hanin mendengkus kasar. "Kalau lagi asik pacaran, suka lupa waktu emang. Enggak lihat jam apa?!"
Hamzah mengucapkan kata maaf dan merangkul bahu adiknya agar tidak mengeluarkan omelan lebih panjang lagi. Sedangkan saya, mengintil di belakang mereka untuk menuju spot foto lain.
Kenapa saya bisa ikut serta dalam kegiatan hari ini?
Jelas jawabannya karena Hamzah yang mengajak. Dia berdalih tidak ada teman, dan tak ingin menjadi nyamuk karena adik dan calon iparnya pasti akan banyak menghabiskan waktu bersama. Sedangkan dia, hanya bertugas sebagai juru kamera dan gigit jari di pojokan saja.
"Foto bareng aku, Tha," ajak Hanin yang jelas langsung saya sambut gelengan tegas.
Hanin tak mengindahkan penolakan saya, dia malah menarik paksa tangan saya untuk segera mendekat dan menatap ke arah kamera.
Saya benar-benar mati gaya, hanya bisa diam dan menutup wajah dengan tangan. Bahkan, memalingkan wajah dari kamera, membelakangi kamera seolah tengah bertatapan dengan Hanin. Padahal, saya bingung harus bergaya seperti apa.
"A Hamzah foto berdua sama Zanitha coba, aku yang fotoin," titah Hanin tanpa meminta persetujuan saya terlebih dahulu.
"Awas kalau kamera Aa rusak yah, Nin. Kamu ganti rugi!" peringat Hamzah sebelum akhirnya mengikuti arahan Hanin.
"Enggak mau!" Saya menolak mentah-mentah kala dia sudah berada tak jauh dari sisi saya.
"Saya juga nggak mau. Mending kita kabur saja," bisiknya yang langsung saya setujui.
"Satu ..., dua ..., tig ...,"
Hitungan Hanin mengudara kala saya dan Hamzah lari tunggang-langgang menjauh darinya. Kami tertawa di tengah kegiatan kami yang sedang lari dari kenyataan. Sedangkan jauh di belakang sana Hanin berteriak penuh gerutuan.
"Kita kayak bocil tahu, Tha. Main lari-larian segala, mana banyak orang yang lihatin lagi," ujarnya saat kami sudah duduk berjarak di bawah rindangnya pohon besar.
Saya memutar bola mata malas.
Dia yang mengajak melakukan hal konyol ini, tapi dia juga yang mengomel.
Dasar!
⏭️▶️⏮️
Padalarang, 19 Juni 2023
Bismillah, aku bawa cerita baru lagi 😂🙈 ... Ada yang kepo nggak nih sama kelanjutannya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro