ETP | 7
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"HTS yang saat ini dijalani, entah akan berakhir ghosting atau justru happy ending."
⏭️⏸️⏮️
MENIKMATI sore hari dengan ditemani sepiring batagor serta segelas es kelapa muda. Lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan, sebab saat ini saya tengah jajan pada pedagang kaki lima, bersama Hamzah tentu saja.
Saya bergidik ngeri kala melihat dia menambahkan lumayan banyak sambal ke dalam piring, lantas melahapnya dengan tenang. Sangat berbanding terbalik dengan saya, yang hanya memakai bumbu kacang saja sudah kepedasan. Kami memang sangat bertolak belakang terkait selera makan.
"Perasaan batagor saya yang pakai sambal, kenapa malah kamu yang bercucuran keringat," komentarnya begitu santai.
"Enggak usah ngeledek!"
Tanpa dosa dia malah tertawa, lalu melanjutkan sesi makannya.
"Mau susu atau yogurt?" tawar dia seraya meletakkan keduanya di atas meja.
Saya mengambil susu kotak rasa vanila lantas meminumnya. Sedangkan dia meminum yogurt untuk menghilangkan rasa pedas.
Tak usah heran, dia memang selalu siap sedia membawa susu dan yogurt saat bepergian. Dia merupakan penyuka makanan pedas, dan untuk meredakannya dengan dua minuman tersebut.
"Kamu nggak pernah sakit perut apa?" tanya saya seraya menambahkan kembali kecap.
Saya memang lebih menyukai hal-hal yang manis, tapi tidak dengan mulut manis buaya yang penuh akan tipu daya magis.
"Enggaklah, justru rasa pedas itu menambah selera makan, Tha," beritahunya.
Saya hanya mengangguk kecil.
Jawaban itu sudah sangat sering saya dengar, dan pertanyaan yang saya layangkan pun sudah seperti basa-basi wajib, karena bingung mencari topik pembicaraan.
"Mau bungkusin buat, Mama?" tanyanya.
"Boleh, tapi baso tahu saja."
Dia mengangguk. "Jangan pakai bumbu kacang, kan."
"Iya."
Dia sudah hapal betul selera Mama, yang kurang begitu suka dengan bumbu kacang. Kalau jajan batagor atau baso tahu, hanya pakai kecap dan sambal.
Dia pun segera bangkit dan menghampiri penjualnya, sedangkan saya masih menyelesaikan ritual makan yang memang agak lambat, atau mungkin juga dia yang terlalu cepat.
Entahlah!
"Mau beli martabak?" tawarnya saat sudah kembali duduk di depan saya.
"Enggak usah, takut nggak kemakan. Mubazir.
Martabak untuk dibawa pulang rasanya terlalu spesial untuk saya yang hanya sebatas HTS-an. Makanan itu sangat identik dengan sogokan untuk calon mertua, kala malam minggu tiba. Sedangkan saya dan dia, tidak tahu statusnya apa.
Saat saya sudah selesai, kami pun berjalan menuju tempat parkir di mana motor saya dan dia nangkring di depan gerobak penjual batagor dan baso tahu.
"Risoles mau kamu lewat, Tha?"
Saya pun langsung menoleh pada objek yang tengah menjadi pusat perhatiannya.
Dia memang sangat tahu apa saja yang saya suka dan tidak suka. Bisa dibilang tipikal orang dengan daya ingat cukup baik, karena mampu mengingat hal-hal kecil semacam ini.
"Untung diingatkan, hampir saya lupa. Beli dulu sebentar yah," sahut saya.
"Kamu tunggu di sini, biar saya yang beli. Seperti biasa, kan? Risoles ayam original."
Saya mengangguk mantap.
Saya memilih duduk di motor, mengedarkan pandangan ke segala penjuru, di mana tempat ini menjadi pusat jajanan yang diperuntukkan bagi berbagai kalangan usia. Segala jenis makanan dan minuman ada, bahkan saking banyaknya saya tidak bisa menyebutkannya.
"Maaf lama, ngantre," katanya saat sudah berada tak jauh dari saya.
"Beli apa saja? Kok banyak kantung kereseknya?"
"Risoles, kelapa muda, sama es pisang ijo kesukaan Mama. Ada yang mau dibeli lagi?"
"Enggak ada, ini juga sudah lebih dari cukup."
Dia pun mengangguk lalu menggantungkan kantung kereseknya pada motor vespa matic milik saya. Tanpa diminta, dia membantu menarik motor saya, lantas barulah dia menaiki motor tua antik yang selalu menemani ke mana pun lelaki itu pergi.
Selama kami saling mengenal dan terjebak dalam hubungan penuh ketidakjelasan, tidak pernah sekalipun kami berboncengan dalam satu motor. Satu mobil memang pernah, tapi tidak sampai berduaan. Selalu ada orang ketiga dan keempat yang menjadi penengah.
Jika pergi bersama pun, selalu ke tempat-tempat ramai. Itu juga kalau memiliki tujuan yang jelas, tidak hanya sekadar keluyuran. Saling menjaga dan membatasi diri untuk tidak menyalahi aturan.
Bertemu saat ada keperluan, sisanya tidak ada. Komunikasi pun jarang, tapi para orang tua sudah saling mengenal. HTS yang saya jalani, memang cukup rumit.
Motor saya lebih dulu melaju, sedangkan dia mengekor di belakang. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 10 menit untuk sampai ke rumah.
"Mampir dulu," titah saya setelah membuka gerbang.
Dia mengangguk lantas memasukan motornya ke dalam.
Mama sudah menunggu di ambang pintu, untuk menyambut kedatangan kami. Beliau memang selalu antusias kala Hamzah datang.
Maka dari itu saya meminta dia untuk sejenak mampir, sebab kalau sampai lelaki itu tidak setor muka pada Mama, pasti beliau akan mencak-mencak tak jelas.
"Baso tahu sama es pisang ijo buat Mama dari A Hamzah," kata saya seraya menyerahkannya.
Wajah Mama yang memang sudah sumringah, semakin berseri-seri. "Makasih banyak lho, Nak Hamzah. Selalu ingat sama makanan kesukaan Mama."
Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
"Masuk dulu, Mama tadi sudah buatkan bolu ketan kukus untuk Nak Hamzah bawa pulang. Sekalian, cobain juga bolu pisang buatan Mama yah," tutur beliau seraya memberi akses masuk selebar mungkin pada Hamzah.
"Jadi ngerepotin nih, Ma, kan Hamzah jadi keenakan."
Mama terkekeh pelan, sebelum akhirnya melesat pergi ke dapur.
"Mau?" tanya saya saat mengambil risoles yang menjadi camilan favorit.
"Itu ada samosa dua, saya minta satu," katanya.
"Ambil saja, itu juga, kan pakai uang kamu. Semuanya berapa? Sampai lupa belum saya ganti."
"Enggak usah diganti, anggap saja traktiran dari saya."
"Serius? Bukannya kamu nggak menerima bayaran dari Hanin."
"Sama adik sendiri masa perhitungan, anggap saja itu hadiah pernikahan dari saya untuk Hanin. Dan traktiran tadi, sebagai wujud terima kasih karena kamu sudah bersedia direpotkan sama saya," terangnya.
Saya manggut-manggut. "Bayarannya, kan pakai makan siang dari Mama tadi," kata saya diakhiri kekehan.
"Masih ingat saja kamu, Tha sama omongan Hanin."
Perbincangan kami terhenti kala Mama kembali datang ke ruang tamu. Meletakkan teh tawar hangat dan sepiring bolu pisang di atas meja.
"Cobain, Nak Hamzah. Bolu pisangnya sesuai selera Nak Hamzah, nggak terlalu manis," ujar Mama begitu ramah.
"Nitha nggak dibuatin, Ma?" seloroh saya setelah menghabiskan satu buah risoles.
"Buat kamu ada di dapur, brownies. Mau Mama ambilin?"
Saya menggeleng. "Nanti Nitha ambil sendiri, masih mau makan risoles."
"Enak, Ma, pas banget manisnya. Enggak giung, Mama tahu banget selera Hamzah," komentarnya setelah menikmati bolu pisang tersebut.
"Mama sudah hapal betul selera Nak Hamzah. Keterlaluan kalau sampai lupa," balas beliau.
Saya hanya menjadi penyimak dan pendengar yang baik. Mama dan Hamzah jika sudah bertemu suka mendadak lupa waktu, banyak hal yang mereka bicarakan.
Lebih baik saya fokus untuk menikmati risoles dan juga kelapa muda.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 07 September 2023
Makin berat aja nih HTS yang melibatkan para orang tua. Kira-kira HTS di antara Zanitha & Hamzah berakhir ghosting atau justru happy ending?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro