ETP | 58
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ibadah itu harus diprioritaskan, jangan hanya sekadar bertuhan di saat tengah dilanda kepahitan."
⏭️⏸️⏮️
MEMANDANGI Ka'bah dari arah dekat yang menjadi kiblat seluruh muslim dunia adalah impian hampir semua umat Rasulullah. Begitupun dengan saya, pemandangan yang masyaallah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Sangat indah luar biasa.
Pullman Zam-zam Makkah menjadi pilihan kami untuk beristirahat selama menjalani ibadah umrah. Salah satu hotel yang memiliki beberapa kamar dengan view Ka'bah yang bisa dinikmati dari ketinggian.
Tubuh saya menegang seketika, terlebih saat merasakan ada sepasang tangan yang melingkar apik di pinggang. Jangan lupakan juga, dagunya yang tertancap di bahu saya.
"Kenapa, Mas?" tanya saya dengan iseng menempelkan mug berisi teh manis hangat di atas punggung tangannya.
Cara halus semacam ini berhasil membuat dia menyingkir, dan membebaskan diri saya dari kungkungan.
"Jahil banget sih, Zani," keluhnya sembari menggelitiki pinggang saya.
Saya terkekeh kecil. "Ya, lagian Mas juga sih ngagetin saya, bukannya mandi dulu. Saya mau salat dhuha dan salat hajat di Masjidil Haram."
"Setelah itu mau ke mana?"
"Ke mana pun asal sama Mas."
Dia mengacak kepala saya yang tak tertutup hijab. "Sudah pintar gombal rupanya sekarang."
"Gombalin suami berpahala katanya," sahut saya diakhiri kekehan.
"Ya, sudah saya bersih-bersih dulu," ungkapnya lalu melesat pergi.
Sembari menunggu, saya menyiapkan pakaiannya terlebih dahulu. Mengambil tasbih untuk berdzikir seraya memandang keindahan Ka'bah.
Akan sangat bersyukur sekali kalau saya bisa selamanya tinggal di sini. Tidak hanya sekadar singgah lantas pergi, tapi saya harap suatu saat nanti Allah memberikan kesempatan lagi pada kami untuk singgah lebih lama seraya beribadah.
Ada sebuah tangan yang merangkul bahu saya, dengan tanpa sungkan saya pun menjatuhkan kepala di sana. "Ini adalah hari terakhir kita di sini," ungkap saya sendu.
"Insyaallah nanti kita ke sini lagi," sahutnya ditutup dengan kecupan singkat tepat di puncak kepala.
"Bisa diperpanjang tidak di sininya?"
Dia malah terkikik geli. "Kita sudah pesan tiket untuk ke Turki kalau kamu lupa. Katanya mau ke Masjid Hagia Sophia, hm?"
Saya mengangguk kecil.
"Sudah jangan bersedih seperti itu, katanya mau dhuha dan hajat dulu. Yuk, mumpung masih pagi, Masjidil Haram belum begitu penuh sesak."
Saya pun menurut. Setelah sama-sama mengambil wudu kami berjalan keluar kamar untuk menuju Masjidil Haram. Menunaikan delapan rakaat salat dhuha, lalu ditutup dengan empat rakaat salat hajat.
Ibadah di sana terasa sangat khidmat, terlebih pemandangan Ka'bah benar-benar berada di pelupuk mata. Rasanya kaki ini enggan untuk beranjak, justru ingin semakin berlama-lama.
Diambilnya salah satu tangan saya, lantas melantunkan dzikir. Sebuah kebiasaan Mas Dipta yang selalu membuat saya tenang dan damai kala bersamanya.
Bibir yang selalu bertutur hal-hal yang baik itu selalu basah oleh dzikir, dia benar-benar mampu mengamalkan apa yang dia ketahui.
Mas Dipta bukan hanya sekadar paham agama, tapi dia tahu cara untuk mengamalkannya. Karena sekadar paham saja tidak cukup.
"Saya memiliki mimpi. Setelah berhasil duduk di depan penghulu, saya berkeinginan untuk berdiri di Baitullah. Masyaallah impian itu Allah ijabah melalui perantara Mas."
"Tanpa saya katakan, Mas sudah lebih dulu mewujudkan. Jazakallah khairan katsiran, Mas," ungkap saya merasa sangat amat bersyukur.
"Wa iyyaki, Zani."
Saya mengukir senyum selebar mungkin lalu berkata, "Arwa'ul qulub qolbuk, wa ajmalul kalaam himsuk, wa ahla maa fie hayaatie hubbuk."
Matanya mengerjap beberapa kali, tapi mimik wajahnya datar tanpa ekspresi. Respons yang dia berikan sungguh di luar ekspektasi, padahal saya sudah mati-matian menurunkan ego dan gengsi.
"Apa Zani? Coba ulang lagi?"
"Tidak ada siaran ulang, Mas Dipta!" kata saya seraya bersidekap dada.
Dia mendekat dan membisikkan sesuatu tepat di samping telinga saya. Hanya satu kalimat, tapi benar-benar berdampak tidak baik untuk jantung saya yang kini sudah meronta-ronta tak tahu malu.
Dia terkikik geli setelahnya. "Hati yang paling menakjubkan adalah hatimu, suara yang paling indah adalah bisikanmu, dan hal termanis dalam hidupku adalah mencintaimu. Bahasa Arabnya sangat apik, tapi saat diartikan ke dalam bahasa Indonesia ternyata alay juga."
Saya cubit keras pinggangnya, sampai dia mengaduh kesakitan. "Belajar bahasa Arabnya susah itu, malah ngeledek!"
"Iya, iya, maaf Mas hanya bercanda Zani."
Saya bangkit berdiri, meninggalkannya yang masih berusaha mengejar langkah lebar saya.
"Jangan pergi sendiri, kalau hilang di sini saya bingung nyarinya," tutur Mas Dipta saat sudah berhasil mencekal pergelangan tangan saya.
"Ya, lagian Mas nyebelin sih!"
"Afwan, Sayang, afwan."
Kening saya terlipat. "Sayang?"
Dia tersenyum jahil. "Iya kenapa, Sayang?"
Sontak saya pun bergidik ngeri dan menjauhkan tangannya. "Mas sehat? Nggak demam, kan? Kerasukan jin apa sih, Mas sampai bertingkah aneh seperti ini?!"
"Bukan kerasukan zin, tapi kerusakan Zani."
Saya geleng-geleng mendengarnya. "Makin ngaco, Mas ini!"
"Tepat di depan Ka'bah, saya ingin mengatakan, uhibbuki mitsla maa anti, uhibbuki kaifa maa kunti."
"Mas nggak kreatif, itu lirik lagu!" sembur saya.
"Copy paste dari lirik lagu juga berhasil membuat kamu blushing," kilahnya begitu berbangga diri.
"Blushing? Nggak tuh!" sangkal saya lalu kembali memacu langkah.
Saya berlari sampai akhirnya berhasil memasuki kamar. Sejenak duduk di tepi ranjang untuk menenangkan debaran di dada yang kian berdetak di luar batas normal.
Malu sekali rasanya!
Saat mendengar suara pintu yang dibuka, dengan segera saya naik ke atas ranjang, menutup seluruh tubuh dengan selimut dan berpura-pura terlelap.
Jantung saya kian berdebar kala secara perlahan dia menarik selimut yang tengah saya pegang.
Terdengar tawa renyah darinya. "Mas tahu kamu tidak benar-benar tidur. Bangun, Zani."
Saya sedikit membuka mata, langsung disambut senyum jahilnya. "Apa?!" sengit saya.
Dia mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Mas ingin mengajak kamu sarapan, tapi malah kabur ke kamar. Kalau salting jangan terlalu kentara, lha," ledeknya.
Saya mengubah posisi menjadi duduk. "Salting? Nggak tuh!"
Dia pun berdecak. "Perkara dipanggil sayang saja padahal, tapi—"
"Jangan sok tahu yah, Mas!" potong saya cepat.
Saya pun turun dari ranjang dan mulai memacu langkah.
"Mau ke mana?"
"Katanya mau sarapan? Ayo!"
"Cieeee salting ... Cieeeee!" godanya semakin menjadi, bahkan kini dia sangat berani menjawil dagu saya.
Saya menjauhkan tangannya. "Nggak!"
Lagi-lagi dia menguarkan tawa, lantas tanpa tahu malu merangkul bahu saya. Saya sudah hendak menjauh darinya, tapi ditahan dengan begitu cepat.
"Katanya bikin baper penulis sampai salting itu perkara susah, tapi nyatanya cukup mudah. Bukan begitu, Sayang?"
Saya mendelik cukup tajam.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 29 Oktober 2023
Jangan senyum-senyum. Malu kalau sampai ketahuan orang lain 😂✌️ ... Dilanjut nggak nih? 🤔
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro