ETP | 53
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Lain di hati lain di mulut. Meskipun sudah berusaha untuk tegar, tapi semua itu masih terlihat sangat nyata."
⏭️⏸️⏮️
SETELAH menyiapkan cukup banyak keberanian, akhirnya saya memutuskan untuk menyerahkan undangan secara langsung pada Hanin. Saya sudah lebih siap, jika respons yang dia berikan tak jauh berbeda dengan apa yang sudah Mama Anggi tunjukkan.
Sebagaimana yang telah Mas Dipta ungkapkan, bahwasannya kita tidak bisa menyenangkan semua orang atas pilihan yang telah kita putuskan. Saya merasa jauh lebih tenang, dan bisa lebih bijak menyikapi masalah ini.
"Kekhawatiran aku akhirnya jadi nyata, Tha. Kamu hadiahi kelulusan A Hamzah dengan undangan pernikahan."
"Maafkan saya, Hanin."
Dia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. "Enggak perlu minta maaf, kamu nggak salah. Ini takdir Allah, aku nggak berhak untuk menghakimi jalan takdir yang sudah Dia gariskan."
Hanin mengelus punggung tangan saya lembut. "Lancar-lancar sampai hari-H, semoga pernikahannya berkah until Jannah."
"Aamiin, makasih, Nin."
Dia membuka undangannya, membaca sejenak lantas berkata, "Serius ini akadnya di KUA, bukan di gedung mewah?"
Saya terkekeh pelan. "Saya tidak tertarik untuk menggelontorkan banyak uang, hanya untuk acara satu hari."
"Keluarga Mas Dipta cukup terpandang, apa nggak keberatan mereka menghelat acara sesederhana ini?"
"Alhamdulillah, semua sudah didiskusikan dan kesepakatannya memang seperti itu. Kami juga nggak mengundang banyak orang, karena acara setelah akad hanya sekadar makan-makan. Hanya orang terdekat saja yang hadir," terang saya.
"Aku ketinggalan cerita ini, tahu-tahu sebar undangan saja. Kapan dekatnya? Kapan lamarannya? Kok kamu nggak bilang-bilang aku sih, Tha."
"Kurang lebih lima bulan lalu saya dan Mas Dipta memutuskan untuk berta'aruf, selang satu bulan menggelar lamaran, dan tiga hari lagi insyaallah kita akan akad."
"Masyaallah cepat juga prosesnya, nggak sampai setengah tahun langsung dapat kepastian."
Saya tersenyum samar. "Alhamdulillah."
"Aku ikut senang, Tha."
Saya pun mengangguk singkat.
"A Hamzah kamu undang juga?"
Saya meminum sejenak es teh yang Hanin sajikan. "Diundang, bahkan A Hamzah ikut ambil peran sebagai juru kamera dalam acara saya dan Mas Dipta."
Hanin membulatkan mata tak percaya. "Seriusan, Tha?"
Saya mengangguk mantap. "A Hamzah yang menawarkan, katanya harus diterima, anggap itu sebagai hadiah pernikahan."
Mata Ibu satu anak itu seketika berkaca-kaca. "Aku nggak bisa membayangkan berada di posisi A Hamzah."
Saat melihat tubuhnya sedikit bergetar dan terdengar suara isakan, saya pun memeluknya. Bermaksud untuk menenangkan. "Saya sudah berusaha untuk menolak tawarannya, bahkan saya pun meminta A Hamzah untuk tidak hadir. Tapi, dia tetap bersikukuh."
"Aku tahu sebesar apa pengorbanan A Hamzah supaya bisa menghalalkan kamu, tapi takdir Allah berkata lain. Semua ini gara-gara Mama yang terlalu banyak menekan A Hamzah."
"A Hamzah bukan nggak mau memberi kamu kepastian, tapi dia sedang berjuang untuk meyakinkan Mama. Dia berusaha patuh tanpa banyak membangkang, tapi kepatuhan itu malah melukainya dengan sangat kejam."
"Mama harus bertanggung jawab atas kesakitan yang menimpa A Hamzah. Dia yang menjadi dalangnya, Tha," rancaunya di sela isak tangis.
Saya mengelus punggungnya. "Kamu jangan bicara seperti itu, Nin. Mau bagaimanapun juga Mama Anggi, adalah ibu kandung kamu. Jangan hakimi beliau."
Hanin melepaskan diri dari rengkuhan saya. "Kenapa kamu masih belain Mama sih, Tha? Sudah jelas-jelas dia yang salah!"
Saya menggeleng pelan. "Bukan seperti itu maksud saya. Saya hanya tidak ingin jadi alasan kamu membenci ibu kamu sendiri."
"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Tha!"
Saya mengelus lengan bagian atasnya pelan. "Istighfar, Nin, kamu harus tenangkan diri dulu. Jangan bicara yang kurang baik di saat kamu sedang emosi, apalagi itu ditujukan pada ibu kamu sendiri."
"Aku tuh sudah muak dengan sikap Mama. Sekarang, yang menanggung kesakitan malah A Hamzah, seharusnya Mama yang merasakan itu!"
Saya tidak berani untuk berkomentar, takut salah bicara dan malah semakin menyulut emosinya.
"Respons Mama gimana saat tahu kamu mau nikah?"
Saya terdiam beberapa saat, memikirkan kosakata yang sekiranya bisa lebih ramah didengar.
"Terkait respons Mama Anggi nggak saya ambil pusing."
Hanin berdecak seraya menghapus kasar air matanya. "Pasti Mama nyalahin kamu, kan, Tha. Mama nggak mau disudutkan, dan seolah kamu yang berperan sebagai penjahat."
"Sudah, jangan diteruskan. Saya nggak suka lihat kamu marah-marah," pinta saya.
"Heran aku sama kamu, Tha. Sudah didzolimi juga, tapi masih segan dan menghormatinya. Kalau aku jadi kamu, sudah kumaki habis-habisan pasti!"
Saya geleng-geleng. "Saya minta kamu untuk berhenti, kenapa malah dilanjutkan. Nggak baik, Hanin."
Dia malah menanggapinya dengan dengkusan kasar.
"Assalamualaikum."
Saya bernapas lega saat mendengar suara salam dengan dibarengi ketukan pintu. Pasalnya kalau ada tamu, Hanin bisa sejenak melupakan amarahnya yang kini sangat berapi-api.
"Aku bukain dulu pintu yah, Tha."
Saya mengangguk singkat.
Baru saja Hanin pergi, suara tangis bayi yang berasal dari kamar menguar. Saya pun bergegas untuk melihat bayi mungil yang baru berusia 40 hari itu.
Saya bawa dia dalam gendongan, berusaha untuk menenangkan tangisnya. Namun, tak sedikit pun membuahkan hasil, karena sepertinya bayi mungil itu membutuhkan asupan nutrisi.
Kaki saya mematung saat membuka pintu kamar, mendapati Hanin yang tengah berdiri bersisian dengan Hamzah. Ini adalah kali pertama kami bertemu, setelah perdebatan sengit yang terjadi beberapa minggu lalu di kediamannya.
Baik saya maupun Hamzah memang saling menjauh. Menjaga jarak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, terlebih status saya beberapa hari lagi akan menjadi istri orang.
Hanin mengambil alih putri kecilnya, dia sejenak pamit ke kamar untuk menyusui. Tapi, langkahnya ditahan Hamzah.
"Aa cuma sebentar, nganterin titipan ini doang dari Mama. Aa pulang duluan," katanya.
Hanin menghela napas singkat. "Kalau mau menghindar jangan terang-terangan. Aku tahu, A Hamzah sengaja ke sini buat ketemu sama ponakan Aa, kan?"
Hamzah menggeleng. "Jangan sok tahu kamu, Aa emang cuma sebentar."
Putaran bola mata malas Hanin berikan. "Bohong banget!"
Saya berdehem pelan untuk meredam perdebatan di antara sepasang kakak beradik ini. "Saya pamit pulang duluan."
Hanin berdecak. "Tuh, kan sekarang Zanitha malah ikut-ikutan. Katanya sudah sama-sama berdamai sama takdir. Kenapa sekarang malah saling menghindar?"
"Ada hati yang harus kami jaga, jangan sampai ada pihak yang merasa tercurangi kalau tahu ada pertemuan di antara Aa dan juga Zanitha. Meksipun ini sebuah ketidaksengajaan, tapi tetap tidak diperkenankan," jelas Hamzah.
Di saat hatinya sedang tidak baik-baik saja, dia masih memikirkan ihwal perasaan Mas Dipta. Entah saya harus bersyukur atau jutsru merasa bersalah.
"Tha, supaya nggak ada masalah untuk ke depannya, kamu bisa beritahu Dipta, kalau hari ini kita nggak sengaja bertemu di rumah Hanin. Jelaskan pada dia, saya nggak mau ada kesalahpahaman."
Saya pun mengangguk singkat.
"Kalau A Hamzah berubah pikiran dan nggak mau menjadi fotografer di acara saya, tidak apa-apa," ungkap saya kemudian.
Dia menautkan alisnya dan menggeleng tegas. "Saya menghindari kamu bukan karena enggan untuk bertemu, tapi memang sudah sewajarnya seperti itu. Kalau terkait masalah menjadi fotografer, itu nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Kamu jangan salah paham."
"Saya hanya tidak ingin sema—"
"Saya baik-baik saja, Zanitha," potongnya cepat.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 24 Oktober 2023
Kalau kalian ada posisi Hamzah bagaimana? 🤔
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro