Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 51

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika tak mampu untuk menjaga lisan, lebih baik diam dan tak usah banyak berujar."

⏭️⏸️⏮️

SAMBUTAN hangat saya dapatkan kala untuk pertama kalinya kembali menapakan kaki di kediaman Hamzah, setelah sekian lama diri ini tak mengunjunginya.

Semua masih sama, bahkan sikap dan perlakuan Mama Anggi pun tak sedikitpun berubah. Saya kira pertemuan ini akan berjalan canggung dan dihiasi ketegangan. Namun, ternyata tidaklah demikian.

"Ma, kedatangan Nitha kemari untuk bersilaturahmi dengan Mama. Maaf, baru sempat datang lagi sekarang," ungkap saya sedikit berbasa-basi.

"Mama tuh kangen banget sama kamu, Tha. Alhamdulillah sekarang bisa melepas rindu dengan pertemuan. Kamu baik-baik saja, kan?"

Saya tersenyum dan mengangguk mantap. "Baik, Ma."

"Kamu ke sini pasti mau ketemu Hamzah, kan? Dia lagi ada interview kerja, Tha. Mungkin sebentar lagi juga pulang," cetus beliau terdengar sangat sumringah.

"Nitha mau ketemu Mama, bukan A Hamzah."

Beliau terkekeh kecil. "Kalaupun bener mau ketemu Hamzah, nggak papa atuh, Tha. Nggak usah malu-malu sama Mama mah."

Saya menggenggam tangan beliau seraya tersenyum tipis. "Ada yang ingin Nitha sampaikan pada Mama."

Beliau mengelus puncak kepala saya lembut dan mengangguk singkat. "Apa, Tha?"

Saya merogoh sesuatu yang ada di dalam saku gamis dan menunjukannya pada beliau. "Nitha sudah dilamar, Ma."

"Kapan Hamzah melamar kamu?" tanya beliau salah menduga, tatapannya terlihat sangat senang dan antusias.

Saya menggeleng pelan. "Yang mengajukan lamaran, dan meminta Nitha untuk jadi istrinya bukanlah A Hamzah."

Sontak beliau pun menarik tangannya, ada sesuatu yang hampa kala dengan sangat terang-terangan beliau menjauh dari saya.

"Kamu ke sini, hanya untuk memberi tahu status kamu yang sudah dipinang orang, padahal kamu tahu Mama sudah lebih dulu melakukan itu. Mama meminta kamu untuk menjadi Menantu Mama, istrinya Hamzah!"

"Maaf, Ma, Nitha nggak bisa menunggu A Hamzah lebih lama lagi."

"Hamzah sudah pulang, Tha. Sekarang pun Mama bisa menikahkan kalian berdua."

Saya membulatkan mata tak percaya.

"Kamu hanya dilamar, bukan sudah menjadi istri orang. Masih ada kemungkinan batal!"

Saya dibuat bungkam, perkataan beliau sangat di luar dugaan.

"Jaga ucapan Mama. Kalau bicara jangan sembarangan. Doakan yang baik-baik, bukan malah seperti itu."

Saya terkesiap kala melihat kedatangan Hamzah, bahkan di sampingnya ada pula Mas Dipta.

"Maafkan Mama yah, Dip, Tha, kalau ngomong suka nggak kekontrol," imbuhnya setelah mempersilakan Mas Dipta untuk duduk.

Saya melihat sekilas ke arahnya. Meminta penjelasan lebih, kenapa harus membawa Mas Dipta di waktu yang menurut saya tidaklah tepat.

Saya sengaja meminta Mas Dipta untuk sejenak menunggu di luar. Sebelum akhirnya nanti dia saya kenalkan pada Mama Anggi sebagai calon suami saya, tapi kenapa Hamzah malah mengacaukan?

Saya belum selesai berbicara pada Mama. Saya khawatir beliau akan membenci saya.

"Apa maksud kamu, Hamzah?!"

Dengan tenang Hamzah berkata, "Dipta ini calon suaminya Zanitha."

Mama Anggi berkawan geming, lalu tak lama dari itu terdengar tawa sumbang. "Pantas kamu lebih memilih dia dibanding Hamzah. Ternyata benar yah, Tha, perempuan itu lebih memilih yang mapan dibanding dia yang sudah menemani kamu berjuang!"

Saya menggeleng pelan. Sangat tak setuju dengan asumsi yang bersarang dalam benaknya. "Bukan kemapanan yang menjadi alasan Nitha menerima pinangan Mas Dipta."

"Lantas apa, Tha? Ternyata kamu sama seperti perempuan pada umumnya. Kamu lebih memilih lelaki yang bisa memberikan masa depan dengan finansial yang terjamin. Mama sudah salah menduga selama ini!"

Rasanya dada saya cukup sesak, bahkan saya tak kuasa untuk menahan tangis. Ternyata seburuk itu saya di mata beliau. Tidak bisa, kah dengar dulu penjelasan saya?

"Maaf jika saya terkesan lancang, perkataan Ibu telah melukai Calon Istri saya. Apakah hanya kemapanan yang harus selalu dijadikan alasan, untuk menerima lamaran dari seseorang?"

Mas Dipta melirik saya sekilas lantas kembali berkata, "Saya sudah menerima banyak penolakan dari Zanitha. Salah besar kalau Ibu berasumsi seolah Zanitha begitu mudah dalam menerima saya. Saya datang bukan dengan iming-iming kemapanan sebagaimana yang Ibu bilang. Saya datang menawarkan kepastian, di tengah kondisi Zanitha yang saat itu terombang-ambing ketidakjelasan."

"Tanpa sedikit pun menghilangkan rasa hormat saya pada Ibu, dan saya pun tak bermaksud untuk menyudutkan apalagi menyinggung Hamzah. Saya memang orang baru dalam hidup Zanitha, tidak akan sebanding jika harus dibandingkan dengan Hamzah yang sudah bertahun-tahun bersama Zanitha, saling berproses dan berjuang bersama."

"Saya cukup tahu diri, tapi saya pun sadar kalau perempuan seperti Zanitha tidaklah layak untuk digantung sebagaimana jemuran. Sekali lagi saya tekankan pada Ibu, bukan kemapanan yang melatarbelakangi keputusan Zanitha dalam menerima pinangan saya," tukasnya tegas.

Penjelasan Mas Dipta membuat Mama diam seribu bahasa. Tapi, saya bisa melihat ketidaksukaan yang beliau tunjukkan.

"Hamzah tahu Mama kecewa dan belum bisa menerima kenyataan ini. Tapi, Mama harus bisa menerima, kalau memang Zanitha bukan ditakdirkan untuk Hamzah."

"Mama berjuang untuk mempersiapkan kamu agar layak untuk Zanitha, tapi kenapa balasan Zanitha seperti ini?!"

Gelengan tegas Hamzah berikan. "Mama hanya memikirkan ihwal finansial, tapi Mama lupa kalau kepastian jauh lebih Zanitha butuhkan. Mama selalu berdalih, Hamzah nggak bisa membahagiakan Zanitha dengan tingkat kemapanan yang jauh dari standar Mama. Yang dikhawatirkan hanya sebatas masalah ekonomi. Itu juga, kan yang membuat Mama menginginkan Hamzah menjadi seorang pekerja kantoran, bahkan memaksa untuk berkuliah di Jerman. Untuk apa? Standar kelayakan di mata Mama hanya sebatas kemapanan dan juga pendidikan, kan?!"

Napas Hamzah terdengar memburu, bahkan terasa bergetar di akhir kalimatnya.

"Hamzah tahu maksud Mama baik, tapi untuk menjadikan diri layak bukan hanya sebatas itu. Sekarang impian Mama sudah terwujud. Gelar S2 sudah Hamzah persembahkan, bahkan pekerjaan yang selalu Mama agung-agungkan pun sudah berhasil Hamzah dapatkan. Tapi, nyatanya 'kelayakan' yang Mama anggap itu sudah sesuai kriteria idaman, nggak berhasil untuk menjadikan Zanitha sebagai Menantu Mama. Itu, kan yang Mama mau?"

Beliau menggeleng kuat. "Mama hanya ingin membentuk kamu agar menjadi lelaki yang mapan. Itulah mengapa Mama melakukan ini semua, kamu harus punya masa depan yang baik."

"Baik di mata Mama, tapi nggak untuk Hamzah!"

Saya semakin menunduk dalam. Lagi-lagi saya harus menyaksikan perdebatan di antara Hamzah dan juga Mama Anggi. Terlebih, kali ini sayalah yang melatarbelakangi alasannya.

"Ini adalah konsekuensi yang harus Mama tanggung. Jadi, jangan salahkan Zanitha kalau memang dia memiliki pilihan lain. Harus Mama ingat, Zanitha bukanlah perempuan matrealistis yang gila akan kemapanan. Dia juga nggak berambisi untuk memiliki pasangan yang bergelar tinggi. Suami idamannya, bukan PNS, bukan juga pekerja kantoran. Mama sudah salah dalam membentuk Hamzah, jika tujuannya untuk menjadikan Zanitha sebagai menantu. Karena Hamzah nggak termasuk dalam kriteria idaman Zanitha, tapi masuk dalam kriteria idaman Mama."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 22 Oktober 2023

Maaf kemarin nggak update, aku ambil jatah libur yang disediakan GMG ☺️ ... Gimana? Masih mau lanjut?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro