Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 47

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Cinta bukan hanya perihal memiliki, tapi juga tentang mengikhlaskan dengan sepenuh hati."

⏭️⏸️⏮️

ASUMSI kerapkali menghadirkan kesalahpahaman, yang pada akhirnya membuat banyak pihak merasa tersakiti keadaan. Seolah, merasa diri paling benar, padahal tidaklah demikian.

Saya kerapkali merasa jadi pihak yang paling tersakiti, paling terluka di muka bumi. Namun, ternyata sayalah yang justru menjadi sumber keperihan bagi orang lain. Saya kurang berkaca diri, dan harus saya akui, diri ini terlalu egois.

"Bukannya tidak ingin mengabari setiap hari, bukan pula tidak ada waktu untuk menghubungi. Saya justru mati-matian menahan diri, karena saya tahu, pasti akan kebablasan jika saya mengikuti hawa nafsu."

"Maaf, saya nggak bisa menempatkan diri berada di posisi A Hamzah. Saya malah sibuk menerka-nerka dan bergelut dengan beragam asumsi. Sikap yang A Hamzah perlihatkan membuat saya bingung."

Dia menggeleng pelan. "Enggak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah. Memang takdir saja yang tak mengizinkan kita untuk bersama. Keadaan nggak mendukung kita, Tha."

"Jadi, kapan pernikahannya?" imbuhnya begitu tenang.

Saya terdiam beberapa saat lantas kemudian berucap, "Jangan buat saya semakin merasa bersalah A Hamzah. Saya nggak mau membuat luka kamu semakin parah. Bahas yang lain, bisa?"

"Saat saya tahu Dipta yang kamu pilih, saya semakin membesarkan hati untuk menerima takdir. Dia memang layak untuk kamu, Tha. Nggak ada sedikit pun tanggung jawab, untuk kamu memikirkan ihwal perasaan saya. Biarkan itu jadi urusan saya pribadi."

"Kamu berhak untuk bahagia, sekalipun bukan dengan saya. Tapi, saya percaya Dipta akan memberikan yang terbaik. Dia sudah memperjuangkan kamu dengan doa dan juga ikhtiar. Bukan seperti saya yang sudah merasa puas dengan panjatan doa di sepertiga malam, karena nyatanya itu tidaklah cukup."

"Doa saya dan Dipta berperang, tapi Diptalah yang keluar sebagai pemenang. Sebagai petarung yang memiliki setitik iman, saya berusaha untuk mengikhlaskan," tukasnya diakhiri senyuman tipis.

Saya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berujar, "Cincin apa yang dulu A Hamzah berikan? Saya khawatir itu berupa lamaran. Karena dalam islam tidaklah dibolehkan melamar perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki lain. Cincin itu baru saya lepas beberapa menit sebelum Mas Dipta meng-khitbah saya."

"Sebagaimana yang saya katakan pada Mama. Cincin itu hanya pengikat, kalau memang takdir meridai, kita akan berakad. Tapi nyatanya tidak, kan?"

"Kenapa harus melalui perantara Mama? Dan kenapa harus mencurangi saya?"

Dia terkekeh kecil. "Saya nggak mau memberi kamu harapan, apalagi meminta kamu untuk menunggu. Kamu akan semakin terluka, dan saya nggak mau melakukan hal tersebut."

"Lantas apa kabar dengan Mama? Bukankah itu juga melukai beliau, kamu memberikan Mama harapan!"

Dia menggeleng pelan. "Enggak, Tha."

Saya berdecak dibuatnya.

"Saya luruskan agar kamu nggak salah paham. Ikrar saya pada Mama bukan bertujuan untuk melamar, sekadar untuk menjaga dan memberi kamu perlindungan."

"Itu artinya A Hamzah mempermainkan saya!"

Dia tersenyum samar. "Saya hanya mencoba untuk melakukan sesuatu yang saya anggap baik, tapi kalau memang di mata kamu itu salah. Ya, saya nggak bisa berbuat apa-apa. Maaf, Tha."

Saya terdiam dengan napas memburu. Perasaan saya saat ini benar-benar kacau tak menentu.

"Kalau A Hamzah berterus terang sejak awal, akhir kisahnya pasti nggak akan seperti ini!" ungkap saya seraya bangkit dari duduk.

"Apa itu artinya, kamu juga memiliki perasaan yang sama sebagaimana saya. Kamu mengharapkan saya?" sahutnya ikut berdiri.

Saya meliriknya sekilas. "Dulu mungkin iya, tapi sekarang nggak!"

Dia tersenyum kecut. "Saya hanya terlambat beberapa jam, tapi fakta kamu sudah lebih dulu dilamar Dipta membuat saya sadar."

Pandangan kami saling bertemu. Hanya beberapa detik saja.

Saya merapatkan mata sejenak lantas berucap, "Kisah saya dan A Hamzah layaknya sebuah  naskah, tanpa dilengkapi prolog tapi ditutup dengan sebuah epilog. Kisah yang sejatinya tidak pernah dimulai, tapi dipaksa harus selesai."

"Hanya selesai bukan tamat."

"Tapi saya bukan naskah, A Hamzah!"

"Apa kamu mencintai Dipta?"

Saya menatapnya sengit. "Layakkah pertanyaan itu dilayangkan, padahal beberapa jam lalu saya baru saja menerima pinangannya?"

"Saya hanya ingin validasi, sesuatu yang pasti. Kalau memang kalian saling mencintai, saya akan berusaha untuk membesarkan hati."

Saya tertawa sumbang. "A Hamzah ini lucu sekali! Haus akan kepastian, tapi tidak berkaca diri. Tidak ingatkah, telah menggantung saya dalam ketidakjelasan?!"

"Maaf ...."

"A Hamzah bisa pulang sekarang!"

"Tapi, Tha—"

Saya berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis di depannya. "Ada orang tua yang menunggu kepulangan A Hamzah. Terlebih, sekarang gelar yang dicita-citakan pun sudah berhasil didapatkan."

"Hadiah kelulusan yang sangat berkesan. Saya pulang membawa gelar, tapi perempuan yang hendak saya pinang justru telah dilamar orang!"

"Tidak semua yang A Hamzah inginkan, bisa kamu dapatkan, termasuk saya."

Dia mengangguk lemah. "Saya pulang, saya doakan semoga pernikahan kamu dan Dipta dilancarkan. Maaf, kalau kedatangan saya bukan di waktu yang tepat."

Saya hanya mengangguk kecil dan mengaminkan dalam hati.

Bergegas menuju kamar, menguncinya lantas terduduk lesu seraya bersandar pada pintu. Tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya pecah tak terbendung.

Dada saya terasa dihimpit bongkahan batu besar. Sakit dan sesak sekali.

Kenapa dia harus kembali datang, di waktu yang seharusnya menjadi hari bahagia saya?

Saya menatap nyalang cincin yang beberapa jam lalu disematkan oleh Mas Dipta. Ada secercah rasa bersalah, seharusnya saya tidak goyah.

"Saya lepas kendali, tidak semestinya saya menyuarakan isi hati," gumam saya sembari menjatuhkan kepala di antara lipatan kaki.

"A Hamzah pasti akan berbangga diri, dia merasa besar hati, karena tahu kalau dulu saya pernah semengharapkan itu sosoknya."

"Bodoh! Kamu bodoh, Zanitha!"

Suara ketukan pintu dengan dibarengi teriakan mengambil alih fokus saya.

"Tha! Zanitha! Kamu baik-baik saja, kan?!"

"Buka pintunya, Tha. Mama perlu bicara sama kamu."

Dengan suara parau saya pun menyahut, "Nitha perlu waktu untuk sendiri dulu."

"Di luar ada Nak Dipta."

Saya berusaha untuk berdiri, menghapus jejak air mata, lantas membuka pintu. Raut kecemasan begitu nampak di wajah Mama.

"Nitha cuci muka dulu. Ada apa Mas Dipta ke sini lagi?"

Tanpa kata Mama memberi saya pelukan hangat, beliau mengelus lembut punggung saya. Hal itu malah membuat saya kembali terisak.

Beliau mengurai pelukannya, menghapus linangan air mata saya lalu berkata, "Maafkan Mama yah, Tha."

Saya hanya terdiam seraya menatapnya.

"Dompet Nak Dipta ketinggalan, dia hendak mengambilnya. Tapi, di gerbang malah papasan sama Nak Hamzah," ungkap beliau.

Saya mengurut kening yang terasa berdenyut. "Terus sekarang mereka di mana?"

"Di ruang keluarga."

Saya menarik napas dalam-dalam. Rasa pening kian membayang.

Apalagi ini Ya Allah?

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 17 Oktober 2023

Lanjut nggak nih?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro