
ETP | 44
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Rencana manusia bisa tidak terlaksana, tapi rencana Allah bukan hanya sekadar wacana."
⏭️⏸️⏮️
TA'ARUF bukanlah pacaran yang kerapkali identik dengan pertemuan, kebersamaan, ataupun hal-hal lain yang menjurus pada kemaksiatan, hingga mendekati ataupun melakukan sesuatu yang Allah larang.
Sejatinya tidak ada yang berbeda, hanya mungkin ada status yang lebih jelas saja. Tujuan dari ta'aruf memang menikah, tapi tidak selalu berakhir indah. Gagal adalah hal yang sangat biasa, selama menjalani prosesnya pun berlandaskan pada agama.
Tidak sembarangan, dan harus didampingi oleh pihak-pihak terkait yang memang sudah paham betul hakikat dari ta'aruf itu sendiri.
"Cincin pemberian dari Mama lepas, Tha," ungkap Mama saat saya baru saja selesai mengenakan khimar segiempat, yang menjulur hingga menutup dada.
Saya pun melihat ke arahnya. "Kenapa?"
"Tugas dari cincin itu sudah selesai, sebentar lagi ada penghuni baru yang memang pantas untuk melingkari jari manis itu," katanya dengan dibumbui godaan.
Saya sedikit tersipu, tapi sebisa mungkin terlihat stay cool di depannya. "Ya."
"Semoga acara hari ini lancar yah, Tha. Orang tua Nak Dipta bisa menerima kamu dengan baik," ungkap beliau.
"Aamiin, Ma," sahut saya mengharapkan hal yang serupa.
"Mama harap kamu sudah selesai dengan masa lalu, jangan berpikir untuk menjadikan Nak Dipta sebagai obat. Kalau mau sembuh, sendiri pun bisa, jangan libatkan orang lain," katanya.
Saya terkekeh kecil. "Nitha rasa, Mama yang belum selesai dengan masa lalu. Mama masih menunggunya, walau sudah begitu lugas memberi restu pada Mas Dipta."
"Keinginan Mama memang tidak terlaksana, tapi Mama bersyukur karena yang terjadi sekarang ialah keinginan Allah. Takdir terbaik yang memang digariskan untuk kamu, Tha."
Saya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Apa yang harus Nitha katakan kalau nanti A Hamzah pulang? Nitha teringat dengan kata-kata Hanin. A Hamzah pulang bawa gelar dengan hadiah kelulusan berupa status Nitha yang sudah terikat dengan Mas Dipta," cetus saya.
"Untuk masalah itu kita pikirkan nanti, sekarang lebih baik kita siap-siap. Nak Dipta pasti sebentar lagi akan sampai," ungkap Mama menenangkan.
Saya hanya mengangguk singkat sebagai respons.
Jahatkah saya karena lebih memilih dia yang pasti, dibanding dia yang sedari dulu setia menemani. Saya sudah seperti penjahat hati, padahal saya tahu bahwa sosoknya pun memiliki itikad baik, tapi memang tidak Allah kehendaki.
Kisah saya dan Hamzah layaknya sebuah naskah, tanpa dilengkapi prolog tapi ditutup dengan sebuah epilog. Kisah yang sejatinya tidak pernah dimulai, tapi dipaksa harus selesai.
Definisi epilog tanpa prolog yang sesungguhnya!
"Ibunya Nak Dipta tahu betul selera kamu, sampai ukuran gamisnya pun nggak salah, malah pas," tutur beliau seraya memonitor penampilan saya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Sebetulnya Nitha nggak enak, baru resmi berta'aruf saja sudah dibelikan pakaian. Kalau dikira matre gimana coba?"
"Selagi bukan kamu yang minta nggak masalah, sah-sah saja. Lagi pula hanya sepasang gamis dan khimar, itu pun untuk acara kamu dan anaknya," sahut Mama santai.
Gamis dengan cutting sederhana, dilengkapi brokat di bagian lengan dan dada, serta aksen rimpel di bagian pinggang yang memberi kesan elegan.
Bu Dinara seolah tahu selera saya, atau mungkin beliau kerapkali memerhatikan cara berpakaian saya.
Suara ketukan pintu dengan dibarengi salam menghentikan obrolan kami, dengan segera Mama menarik tangan saya untuk mengintili langkahnya.
Saya hanya mampu menunduk dalam, mendadak gugup berhadapan dengan Mas Dipta serta orang tuanya.
"Silakan masuk," sambut Mama begitu antusias mempersilakan mereka duduk.
Sebagai bentuk hormat saya menyalami Bu Dinara, tapi beliau malah menghadiahi pelukan hangat. Saya pun membalasnya, dan tak lupa menangkupkan kedua tangan di depan dada pada Mas Dipta serta Pak Nara Dharmawan.
"Pakai repot-repot bawa bingkisan segala, Bu, Pak. Saya jadi tidak enak, maaf kalau jamuan kami kurang berkenan bagi Bapak dan Ibu," tutur Mama saat melihat ada beberapa buah tangan di atas meja.
"Hanya syarat saja, Bu. Mana mungkin datang ke rumah calon besan, dengan tangan kosong. Kurang sopan," timpal Bu Dinara dengan diakhiri kekehan.
"Pas yah, Dip, nggak salah pilih," imbuh beliau kemudian seraya melirik ke arah saya.
"Apanya yang pas, Bu?" tanya saya cukup bingung.
"Gamisnya, Zani," serobot Mas Dipta menyela Bu Dinara yang hendak bersuara.
Saya hanya manggut-manggut saja.
"Sebelumnya mohon maaf jika kedatangan kami sekeluarga terkesan mendadak tanpa perencanaan. Putra saya ini memang paling bisa membuat Papa dan Mamanya kejang-kejang. Kemarin kami langsung ditodong untuk mendatangi rumah seorang perempuan, katanya dia ingin mengikat gadis itu dengan seperangkat mahar."
Saya meneguk ludah susah payah kala Pak Nara sudah mulai angkat suara.
"Katanya kalimat qobiltu lebih sakral dari i love you. Bukan begitu?" katanya lagi.
Untuk kali ini saya benar-benar tersedak dan terbatuk-batuk.
"Papa!" desis Mas Dipta pelan tapi penuh penekanan.
"Zanitha lebih cocok diberikan mahar, dibanding hanya sekadar mawar. Iya, kan?" Kini Bu Dinara pun ikut ambil bagian.
Para tetua malah tertawa tanpa dosa, sedangkan saya lebih memilih menjadi penyimak saja.
"Jadi, mau kapan pernikahannya dilangsungkan?"
Pertanyaan yang dilayangkan Pak Nara sontak membuat saya mendongak dan membulatkan mata tak percaya. Kenapa jadi membahas tanggal? Bukankah ini baru pertemuan pertama, bahkan diagendakan hanya sekadar silaturahmi biasa saja.
Lantas apa maksudnya?
"Ta'aruf dulu, Pa. Kenapa jadi bahas tanggal," ujar Mas Dipta meluruskan.
Saya sedikit mengembuskan napas lega. Sepertinya dia pun sama terkejutnya seperti saya.
"Kalau punya niat baik jangan ditunda-tunda. Khawatir akan menimbulkan fitnah," seru Bu Dinara.
"Apa tidak terkesan terburu-buru, Pak, Bu?" tanya Mama.
"Putra saya ini sudah tua, sebentar lagi kepala tiga. Bungsu pula, takut umur saya tidak sampai jika dinanti-nanti," jawab Bu Dinara.
"Mama nggak bisa memutuskan sepihak seperti itu, Dipta, kan sudah bilang kalau ini hanya nadzor," sanggah Mas Dipta.
"Setan akan bergembira kala dua insan yang tidak halal terlibat hubungan, ia akan gencar melakukan berbagai cara untuk membuat mereka bermaksiat. Mama nggak mau proses sakral menuju pernikahan ternodai, Mama ingin menjaga dan melindungi Calon Menantu Mama!"
Terdengar helaan napas singkat dari sela bibir Mas Dipta. "Laki-laki itu yang dipegang omongannya, Dipta sudah kadung janji pada Zani untuk berta'aruf terlebih dahulu. Memangnya Mama ingin Dipta dicap sebagai sosok yang mudah mengobral janji, tapi tak bisa menepatinya?"
"Kita diskusikan bagaimana bagusnya, yang akan menjalani anak-anak. Alangkah baiknya biarkan mereka yang memutuskan," lerai Mama menengahi.
Orang tua Mas Dipta akhirnya mengangguk setuju.
"Tetap mau ta'aruf dulu atau bagaimana, Tha?" seloroh Mama begitu to the point.
⏮️◀️⏭️
Padahal, 14 Oktober 2023
Kira-kira apa yah jawaban Zanitha? 🤔
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro