ETP | 43
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika yang pasti sudah ada di depan mata, tak usah berpikir dua kali untuk menolaknya."
⏭️⏸️⏮️
PERTANYAAN paling umum yang kerapkali dilayangkan oleh orang tua dari pihak perempuan biasanya tak jauh-jauh dari kerja di mana, nominal penghasilan setiap bulan berapa, dan sudah memiliki modal apa sampai berani mengajak anaknya menikah.
Namun, pertanyaan yang Mama layangkan justru lain daripada yang lain. Saya pun cukup tercengang dengan apa yang saya dengar.
"Salat subuh Nak Dipta jam berapa?"
"Setelah azan berkumandang, Bu. Kadang setengah lima, jam lima, ya menyesuaikan waktu azan saja."
"Salat subuhnya di mana?"
"Jama'ah di masjid dekat rumah."
"Setiap hari?"
"Insyaallah selalu menyempatkan waktu untuk salat berjamaah di masjid."
"Sebelum memutuskan untuk saling bertukar CV apa Nak Dipta sudah istikharah terlebih dahulu?"
Dia mengangguk mantap. "Jauh sebelum itu, saya sudah melakukannya."
"Sudah ada jawabannya?"
Untuk kedua kalinya dia mengangguk mantap. "Sudah, Bu."
"Zanitha jawabannya?"
"Iya insyaallah, Bu."
Mama melirik ke arah saya yang sedari diam. "Kamu sudah istikharah, Tha?"
Saya pun mengangguk pelan.
"Nak Dipta, Putri Mama ini wanita akhir zaman yang masih sangat membutuhkan bimbingan. Jika memang sekiranya Nak Dipta berkeinginan untuk memperistri Zanitha, silakan. Tolong bimbing dia, ajari dia, tegur kalau memang ada banyak salah dan khilafnya."
Mas Dipta tersenyum tipis. "Insyaallah jika memang Zani berkenan untuk menerima saya. Namun, saya juga pria akhir zaman yang tidak bisa menjanjikan kebahagiaan ataupun kesejahteraan pada Putri Ibu. Sebab, saya tidak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, saya akan berusaha semampu saya untuk melakukan yang terbaik."
Saya merasakan sebuah elusan lembut. "Tha, keputusannya tetap ada di kamu. Mau dilanjutkan silakan, diakhiri pun silakan."
"Jika saya meminta untuk berta'aruf terlebih dahulu bagaimana?"
Sekilas saya melihat dia tersenyum samar. "Boleh."
"Saya belum betul-betul mengenal Mas, begitupun sebaliknya. Saya tidak ingin membuat Mas menyesal kala nanti sudah melangsungkan pernikahan."
"Kenapa harus menyesal?"
"Saya tidak ingin Mas merasa tertipu dengan tampilan luar yang saya perlihatkan. Khawatirnya istilah ta'aruf seperti membeli kucing dalam karung menimpa Mas."
Dia manggut-manggut. "Saya tidak sedang jual beli, tidak ada istilah untung rugi, terlebih jika menyangkut ikrar suci."
"Ada banyak sekali kekurangan yang saya miliki, Mas jangan terlalu tinggi dalam berekspektasi."
"Saya pun sama, kurangnya banyak. Maka dari itu saya butuh sosok pendamping yang bisa menyempurnakan kekurangan tersebut."
"Saya kurang pandai memasak dan berbenah rumah. Sekadar bisa, tidak benar-benar mahir. Apa Mas berkenan jika memiliki istri seperti itu?"
"Memangnya syarat untuk menikah harus pandai memasak dan berbenah rumah? Untuk perkara tersebut kita bisa melakukannya bersama-sama. Saya memang kepala keluarga tapi bukan berarti saya lepas tangan dengan hal-hal semacam itu."
Saya menggeleng pelan. "Memang bukan termasuk dalam syarat pernikahan, tapi kerapkali dijadikan sebagai bahan penilaian dan juga pertimbangan."
"Saya ingin menjadikan Zani sebagai istri, bukan asisten rumah tangga yang harus piawai bersih-bersih," sahutnya tegas.
Saya pun mengangguk paham.
"Saya tipikal orang yang menganut sistem silent treatment. Sangat pemikir dan cenderung tidak peduli," ungkap saya setelahnya.
"Mama tambahin satu lagi, kurang peka."
Saya hanya bisa diam, karena apa yang beliau katakan memang benar.
"Jika sedang marah bagaimana?" tanyanya.
"Cenderung memilih untuk diam. Mas sendiri bagaimana?"
Dia tertawa pelan. "Tak jauh berbeda, saya pun memerlukan sebuah ruang untuk menata emosi agar tidak meledak dan melukai banyak hati. Walau kadang kala saya pun bisa lepas kendali juga."
"Apa jika ada masalah tipikal orang yang langsung harus diselesaikan saat itu juga atau ditunda-tunda, Mas?"
"Diselesaikan waktu itu juga."
Saya manggut-manggut paham.
"Apa Ibu tidak ingin tahu ihwal pekerjaan, penghasilan, ataupun modal apa yang saya miliki hingga berani meminang Putri Ibu?" tanya Mas Dipta kini beralih fokus pada Mama.
Mama tersenyum tipis. "Semua yang Nak Dipta sebutkan tadi hanya tentang dunia, sifatnya sementara. Sewaktu-waktu bisa hilang juga. Mama tidak mengkhawatirkan perkara tersebut."
"Tak dapat dipungkiri bahwa untuk hidup di dunia ini kita butuh yang namanya uang. Untuk bisa berteduh dengan nyaman pun kita butuh tempat tinggal. Namun, yang paling utama ialah iman dan takwa, Mama menginginkan keselamatan di akhirat untuk Zanitha, bukan hanya perkara di dunia saja."
"Rezeki itu sudah ditakar, tidak mungkin tertukar, selagi kita senantiasa berusaha dan berikhtiar," tukas beliau panjang lebar.
"Baik kalau memang seperti itu, Bu. Kapan sekiranya saya diizinkan untuk membawa serta orang tua saya?" selorohnya begitu to the point.
"Seluangnya Nak Dipta dan keluarga saja. Iya, kan, Tha?"
Sebuah anggukan saya berikan.
"Besok bagaimana?"
"Silakan."
Saya membulatkan mata saking terkejutnya. Semudah itu beliau memberi lampu hijau?
"Insyaallah ba'da isya saya dan keluarga akan menyambangi kediaman Ibu."
"Iya, Nak Dipta."
"Boleh Mama minta sesuatu sama Nak Dipta?" pinta beliau tiba-tiba.
"Apa, Bu?"
Beliau melirik ke arah saya sekilas kemudian berucap, "Jika Nak Dipta berkenan, proses dari ta'aruf ke jenjang pernikahan jangan terlalu lama. Khawatirnya malah akan menimbulkan fitnah."
"Mama!"
"Iya, Bu saya paham. Nanti saya akan menghubungi Guru saya yang memang sudah terbiasa mengurus segala sesuatu terkait ta'aruf."
"Akan lebih baik seperti itu," sahut Mama sama sekali tak mengindahkan teguran saya.
"Zani jika sekiranya dalam proses ta'aruf nanti ada yang membuat kamu ingin mundur, utarakan. Saya tidak ingin ada pihak yang merasa dirugikan ataupun tersakiti. Ta'aruf tidak harus selalu berakhir di pelaminan, kalau memang merasa tidak cocok ya ungkapkan."
Saya kembali mengangguk. Bibir saya mendadak kelu dan sulit untuk berucap.
"Zanitha memang bukan tipikal orang yang senang bertutur kata, tapi sebetulnya dia itu berisik. Bukan dari perkataannya, melainkan pikirannya. Nggak usah heran kalau dia cuma manggut-manggut doang, itu hal yang sangat biasa," papar Mama tanpa diminta.
Mas Dipta terkekeh pelan. "Ibu ini bisa saja."
"Mama selalu berpesan pada Zanitha kalau cari pasangan harus yang setara, terlebih dalam hal agama. Paham, kan maksud Mama?" selorohnya penuh rasa penasaran.
"Bisa Ibu paparkan secara detail? Khawatirnya saya gagal paham."
"Setara yang Mama maksud bukan merujuk pada derajat, jabatan, ataupun harta yang Allah titipkan. Melainkan lebih pada agama, ibadah yang senantiasa ditunaikan. Dan juga visi misi pernikahan yang jelas serta terancang."
"Zanitha itu memiliki banyak mimpi, jangan sampai setelah menikah dia merasa tidak dihargai, karena pasangannya menganggap kalau mimpi itu terlalu tinggi. Keinginannya juga tak terhitung, jangan sampai dia merasa disepelekan sebab pasangannya enggan untuk mendukung, dan acapkali abai."
"Dari tutur kata Zanitha yang irit dan seperlunya, jangan sampai malah dianggap memiliki adab yang sombong dan tidak tahu tatakrama. Dan yang paling penting ialah dari segi agama, Zanitha masih belajar. Masih memerlukan bimbingan. Dia menginginkan sosok yang memang berperan sebagai imam, bukan hanya sekadar rekan mengarungi bahtera."
"Jika seorang lelaki menginginkan Al Ummu Madrasatul Ula yang baik. Maka perempuan pun menginginkan Wal Abu Mudiruha yang mampu mencetak kurikulum dan kepemimpinan yang baik," tukas beliau begitu mewakili saya.
"Sebaik-baik cermin adalah yang bisa memantulkan bayangan yang sama. Selagi pernikahan itu dibangun dengan tujuan berdasarkan pada agama, insyallah akan terwujud yang namanya sakinah dan mawadah," timpal Mas Dipta.
"Mulai sekarang kalian resmi menjalani proses ta'aruf. Mama harap kalian bisa berpuasa, sampai akhirnya waktu berbuka tiba, akad pernikahan."
Berpuasa yang Mama maksud bukan merujuk pada menahan lapar dan dahaga. Melainkan lebih pada menahan napsu dan diri dari syahwat berlebih. Terlebih, harus menjaga jarak agar tidak terjebak maksiat.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 13 Oktober 2023
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Masih mau lanjut???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro