ETP | 42
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Rida orang tua menjadi hal paling utama, sebab sudah menjadi bagian dari rida Allah juga."
⏭️⏸️⏮️
KATANYA perempuan itu dipilih bukan memilih, dilamar bukan melamar, dinikahi bukan menikahi, dinafkahi bukan menafkahi, dicerai bukan menceraikan.
Kendalinya ada pada pihak laki-laki, bukan perempuan. Di mana imam bertindak sebagai pemimpin yang harus senantiasa memberi tuntunan serta arahan berdasarkan syariat Islam.
"Apa Mama rida jika seandainya ada laki-laki yang lebih dulu datang dari dia yang Mama tunggu-tunggu kehadirannya?" tanya saya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu sama Mama?"
"Karena rida Mama adalah rida Allah, restu Mama juga merupakan restu Allah. Nitha akan melangkah kalau sekiranya dua hal itu sudah terpenuhi."
Beliau terdiam cukup lama, sampai akhirnya berkata, "Kalau Mama minta kamu untuk menunggu dan sedikit bersabar lagi bagaimana?"
Saya tersenyum samar. "Sampai kapan?"
Mama mengelus puncak kepala saya lembut. "Sampai dia pulang."
Saya membawa tangan beliau dalam genggaman. "Janjinya bulan lalu dia akan pulang, tujuannya untuk memperjelas hubungan. Tapi, sampai sekarang dia justru hilang kabar. Nitha rasa sudah cukup, waktu Nitha habis dan terbuang sia-sia hanya untuk dia yang bermodalkan ketikan saja."
Mata Mama membulat sempurna. "Nak Hamzah berencana untuk pulang?"
Saya tersenyum kecut. "Iya, hanya berencana tapi tidak terlaksana. Seharusnya pada saat empat bulanan Hanin dia ikut hadir, tapi entah karena alasan apa dia ingkar. Mungkin, memang bukan dia orangnya."
"Kenapa kamu nggak bilang sama Mama?"
"Nitha takut Mama kecewa."
Mama merengkuh saya dalam pelukan hangat. "Seharusnya kamu lebih mengutamakan perasaan kamu, Tha, bukan malah memikirkan perasaan Mama."
"Nitha tahu Mama sangat menunggu kepulangan A Hamzah. Mama sangat ingin dia datang lebih dulu ke rumah. Maka dari itu Nitha menyembunyikannya dari Mama."
"Tapi sekarang kamu yang kecewa."
Saya mengurai pelukan dan menggeleng pelan. "Ekspektasi Nitha sudah nggak setinggi dulu, Nitha lebih siap untuk menerima segala kemungkinan terburuk."
"A Hamzah memang menjanjikan kepulangan, Mama Anggi pun menjanjikan kepastian. Tapi Nitha meminta A Hamzah untuk fokus pada pendidikan."
"Kenapa?"
"Apa yang A Hamzah dan Mama Anggi janjikan hanya sebatas rencana manusia. Bisa terlaksana atau hanya sekadar wacana. Sedangkan apa yang saat ini tengah A Hamzah jalani merupakan takdir yang memang sudah digariskan, patut untuk dituntaskan. A Hamzah berangkat ke Jerman, bukan hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya, tapi memang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya."
"Kamu mencegah kepulangan Nak Hamzah, itu artinya kamu nggak menginginkan kepastian darinya. Begitu?"
"Bukan nggak menginginkan, tapi lebih ke sadar diri. Nitha nggak mau lagi berekspektasi, biarkan kita fokus pada hidup masing-masing."
"Laki-laki mana yang kamu maksud akan datang lebih dulu dari Nak Hamzah?"
Saya menatapnya lantas berujar, "Mas Dipta."
Raut wajah Mama seketika berubah. "Sudah sejauh mana kamu menjalin hubungan dengan Nak Dipta?"
"Hanya sebatas saling bertukar CV."
Mata beliau membulat sempurna. "Sudah sejauh itu, dan kamu nggak melibatkan Mama?"
Saya menggeleng lemah. "Nitha hanya iseng ingin melihat CV Mas Dipta, tapi ternyata Mas Dipta menganggap serius hal tersebut."
Terdengar helaan napas berat. "Terus sekarang bagaimana kelanjutannya?"
"Bulan lalu Nitha meminta waktu untuk memikirkannya. Nitha hanya minta seminggu, tapi sampai sekarang belum kunjung Nitha kasih jawaban."
"Zanitha!"
Saya menunduk dalam.
"Kamu tahu bagaimana lelah dan sakitnya menunggu, lantas kenapa sekarang kamu malah melakukannya? Kamu kira Nak Dipta itu jemuran apa? Digantung tanpa ada kejelasan kapan akan diangkatnya!"
"Nitha takut untuk berterus terang sama Mama, Nitha tahu Mama kurang suka kalau Nitha terlibat kedekatan lebih dari rekan kerja dengan Mas Dipta. Nitha bimbang sekaligus bingung," cicit saya.
"Tha, Mama kurang suka kamu dekat dengan Nak Dipta karena takut akan ada HTS jilid dua. Terlalu dekat, tapi ujungnya nggak jelas. Bukan karena Mama benci ataupun benar-benar nggak suka dengan Nak Dipta."
Saya mendongak dan menatapnya lekat. "Terus?"
Kening beliau terlipat. "Apa?"
"Menurut Mama baiknya bagaimana? Apa Nitha coba untuk melanjutkan ke tahap yang lebih serius atau cukup sampai di sini saja."
"Kenapa kamu malah bertanya pada Mama? Yang akan menjalani kamu, seharusnya yang lebih tahu jawabannya ya kamu sendiri, Tha. Kamu mau atau nggak sama Nak Dipta?"
Saya diam dan kembali menunduk. Mendadak bingung harus menjawab apa. Padahal sebetulnya itu pertanyaan mudah yang kunci jawabannya hanya ya atau tidak. Tapi kenapa lidah ini menjadi kelu seketika?
"Kalau yang kamu khawatirkan terkait rida dan restu, insyaallah siapa pun yang kamu pilih akan Mama dukung. Dengan catatan, lelaki itu memiliki pemahaman agama yang baik, bukan hanya sekadar paham tapi juga pandai mengamalkan."
"Kapan Nak Dipta akan kamu izinkan untuk bertemu Mama?"
"Mama siapnya kapan?"
"Seharusnya Mama yang tanya kayak gitu sama kamu. Kamu siapnya kapan?"
"Dari tiga jam lalu Mas Dipta ada di depan gerbang, tapi Nitha nggak kasih izin masuk karena belum mendapat persetujuan Mama," kata saya dengan suara melirih.
Mama geleng-geleng seraya beristighfar berulang kali. "Kebangetan kamu, Tha tega-teganya ngelakuin hal kayak gitu sama anak orang. Kalau orang tuanya tahu, gimana?" omel beliau.
Saya meringis pelan seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
Beliau bergegas keluar, saya pun mengikuti langkahnya, dan kami terpaku kala membuka pagar rumah mendapati Mas Dipta tengah berdiri, seraya bersandar di kap mobil dengan tangan memegang mushaf berukuran kecil.
Kami pun saling memandang, mendadak sungkan untuk menegur, terlebih kala mendengar lantunan ayat suci Alquran. Meskipun hanya samar-samar, tapi telinga kami masih bisa dikategorikan baik.
"Zani? Ibu? Sejak kapan di sini? Maaf, kalau sekiranya kehadiran saya mengganggu," katanya beberapa saat kemudian.
"Masuk Nak Dipta," titah Mama.
Dia mengangguk dan tersenyum, tak lupa juga menangkupkan tangan di depan dada pada saya dan juga Mama.
Mas Dipta menurut dan memasukkan mobilnya ke pelataran rumah.
"Mau teh atau kopi, Nak Dipta?" tawar Mama saat kami sudah duduk di ruang tamu.
"Tidak usah repot-repot, Bu."
"Saya menawarkan itu artinya saya siap direpotkan," sahut saya.
"Mama yang menawarkan, bukan kamu!" protes beliau.
"Anggap saja jawaban Nitha mewakili Mama."
"Teh tawar saja kalau memang Zani berkenan untuk saya repotkan," ujar Mas kemudian.
Saya mengangguk lantas bangkit berdiri.
"Hanya sekadar membuatkan teh tidak termasuk dalam kategori merepotkan, kecuali kalau membuatkan tehnya setiap hari. Itu baru merepotkan," tutur Mama masih bisa saya dengar.
"Kalau setiap hari harus dihalalkan dulu Zanithanya," timpal Mas Dipta.
Langkah saya tertahan kala mendengar sahutan Mama.
"Zanitha bukan anak haram. Tidak perlu dihalalkan hanya untuk membuat dia berkenan menyeduhkan teh tawar setiap harinya."
Suara tawa menguar seketika. "Alhamdulillah, kalau gitu saya tidak perlu repot-repot membawa Zanitha ke MUI untuk bisa mendapat label halal."
"Cukup dibawa ke KUA perkara halal haram bisa diselesaikan."
Kontan saya pun dibuat terbatuk-batuk.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 12 September 2023
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Mau lanjut nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro