
ETP | 4
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saling mengenal satu sama lain, keluarga pun sudah sama-sama tahu. Tapi nyatanya semua itu belumlah cukup."
⏮️⏸️⏭️
ND PUBLISHER, salah satu penerbit mayor ternama yang menjadi incaran para penulis muda, terkhusus saya. Penerbit yang sudah melahirkan banyak judul buku, serta sangat ramah pada penulis baru.
Jika membahas ihwal ND Publisher, pasti kita akan langsung teringat pada ND Production. Sebuah rumah produksi yang mampu melahirkan film-film berkelas serta berkualitas. PH yang sangat berpengaruh dan menjadi primadona dari masa ke masa.
Saya bercita-cita ingin menerbitkan buku di sana, atau bahkan menjadikannya dalam bentuk audio-visual. Senangnya pasti bukan kepalang, apalagi saat melihat hasil karya sendiri diangkat ke layar lebar.
Sayangnya itu hanya sebatas khayalan, yang tak tahu apakah akan terealisasikan atau sekadar jadi angan-angan.
"Malah bengong. Kesambet nyaho kamu, Tha!"
Sontak saya pun beristigfar dan menoleh ke arah samping. "Enggak jelas!"
"Nunggu lama? Sampai asik banget bengongnya," cetus dia di tengah kegiatannya yang sedang memakai sepatu.
Saya hanya mengangguk singkat.
"Saya mau kenalin kamu sama seseorang, Tha," katanya saat kami sudah mulai memacu langkah untuk meninggalkan masjid.
"Siapa?"
"Rahasia."
Saya mendengkus dan memutar bola mata malas. "Enggak usah sok misterius, main rahasia-rahasiaan segala!"
"Kamu ingat nggak sama sampel yang kamu kirim ke saya beberapa waktu lalu?" tanyanya.
Kening saya terlipat. "Sampel naskah yang tiga bab?"
Dia mengangguk mantap. "Naskah itu saya kirim ke penerbit. Tadi, saya dihubungi sama editornya untuk membicarakan lebih lanjut tentang naskah kamu."
"Kamu kirim naskah saya, tanpa minta persetujuan saya terlebih dahulu. Menyalahi aturan itu!"
"Bukan gitu, Tha. Dengerin dulu penjelasan saya," selanya.
Sebuah deheman saya berikan.
"Klien saya seorang editor di penerbit mayor. Dia lagi cari naskah untuk diterbitkan, saya iseng ngasih sampel naskah kamu. Ternyata dia suka dan tertarik, malah mau ketemu kamu untuk membicarakannya lebih lanjut. Kamu tahu ND Publisher? Nah klien saya salah satu editor di penerbit itu," jelas dia berhasil membuat saya mematung.
"Siapa nama editornya?"
"Kalau nggak salah ingat, namanya itu Naradipta Dharmawan."
"Yakin namanya Naradipta Dharmawan?"
Dia mengangguk mantap.
"Ya Allah, itu sih bukan hanya sebatas editor di ND Publisher, tapi juga owner-nya. Kamu nggak salah sebut nama, kan?"
"Saya belum setua itu untuk pikun, Zanitha!"
Saya mengambil gawai dan mengetikkan sesuatu di sana. Lalu menunjukkan benda pintar itu pada dia. "Orangnya ini?"
"Iya itu, kenapa sih? Terpesona banget sampai gerecep nunjukin akun instagramnya!"
"Kamu kenapa nggak bilang-bilang sih kalau kenal sama Mas Dipta. Ya, Allah saya itu sudah lama mengincar ND Publisher."
"Harus banget pakai Mas?"
"Ada yang salah?"
Dia tak menjawab, malah berjalan cepat dan meninggalkan saya.
"A Hamzah tunggu! Kamu beneran mau kenalin saya sama Mas Dipta? Kapan? Saya nggak sabar mau ketemu dia," seru saya berusaha mengejar langkah lebarnya.
"Enggak jadi!"
Saya mencebik kesal. "Kok gitu?"
"Sibuk!"
"Saya bisa ketemu Mas Dipta sendiri, nggak papa kalau kamu sibuk."
"Sejak kapan kamu jadi ngebet banget buat ketemuan sama cowok? Suka sama Dipta?!"
"Kok malah ngegas sih. Kamu, kan yang bilang mau kenalin saya sama Mas Dipta. Kenapa sekarang malah sensi?"
"Tahu ah, males!"
"Minta kontaknya saja, nanti saya yang akan hubungi sendiri," bujuk saya saat berhasil mencegat jalannya.
Terdengar helaan napas singkat. "Enggak, biar saya yang menghubungi Dipta. Kamu tunggu kabarnya dari saya."
"Kenapa gitu? Komunikasinya jadi nggak efektif dong. Masa tiga jalur, supaya cepat dua arah saja."
"Kalian nggak saling mengenal, jadi harus ada penengahnya. Saya," tukas dia seperti tak ingin menerima bantahan.
"Iya deh, terserah kamu saja."
"Harus banget pakai deh? Enggak ikhlas kamu, Tha."
"Kamu aneh. Perkara satu kata saja dipermasalahkan. Kenapa sih?"
"Enggak!"
Satu kata itu menjadi penutup perdebatan, sampai akhirnya kami kembali memasuki gedung pernikahan. Hamzah fokus pada tugasnya, dan saya pun menjadi pendamping Hanin.
Membantu perempuan itu kala berganti pakaian ataupun touch up. Merapikan gaunnya yang menyapu lantai agar terlihat rapi dan tidak menghalangi jalan. Bahkan saya pun menawarkan diri untuk bantu-bantu hal lainnya.
Apa pun saya lakukan, daripada hanya diam dan bengong tak jelas. Lagi pula tak enak juga jika datang sebagai bridesmaids, tapi hanya sekadar numpang foto-foto dan membuat riuh acara. Saya lebih suka berada di balik layar.
"Kenapa malah bantu-bantu petugas catering, Zanitha?" seloroh Mama kala saya tengah menata piring beserta sendok dan garpu ke atas meja.
"Nitha bingung mau apa, jadi Nitha menawarkan diri untuk membantu. Lagipula kasian petugas catering-nya kerepotan, Ma," jelas saya.
"Ya sudah ikut Mama, jangan di sini," ajak beliau seraya menggandeng tangan saya.
"Bantuin Hamzah saja, dia lagi nge-shot buat wedding klip Hanin," ujarnya begitu semangat.
"Nitha nggak ngerti, Ma. Nanti salah lagi, kalau A Hamzah marah gimana?"
Hamzah itu paling tidak suka jika ada orang yang merecoki dirinya yang sedang fokus bekerja, apalagi orang itu tidak tahu apa-apa seperti saya. Alamat bisa kena damprat.
"Tinggal marahin balik. Selesai."
Saya hanya bisa geleng-geleng. Heran dengan respons yang beliau berikan.
Hamzah jika sudah menjadi fotografer betulan, vibes-nya sangat amat berbeda. Terlihat lebih karismatik dan juga berwibawa, terlebih saat ini dia pun memakai kemeja dan jas, lengkap dengan sepatu pantofel.
Perawakan yang tinggi, badan yang bisa dikatakan ideal, senyumnya yang menawan. Rambut yang ditata dengan pomade, serta kamera menggantung indah di lehernya. Satu kata, Masyaallah.
"Hitungan ketiga cincinnya jatuhin," instruksi dia pada rekannya.
"Oke, cukup," serunya kala sudah selesai.
Terlihat dari senyumnya yang mengembang, saya rasa dia sudah mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspektasinya.
Dia menata sepatu Hanin, undangan, cincin, serta buku nikah di atas meja yang sudah ditata dengan sedemikian rupa agar terlihat aesthetic, lalu dia pun mengambil beberapa gambar.
Dia benar-benar tengah fokus, tak ada satu pun orang yang bisa mengganggu kegiatannya saat ini. Saya dan Mama pun akhirnya memutuskan untuk menjadi penonton saja.
"Awalnya Mama tuh nggak suka saat Hamzah mutusin buat jadi fotografer."
Saya melirik ke arah beliau. Mengangguk singkat sebagai respons.
Hobi Hamzah memang ditentang keras oleh beliau, apalagi saat Hamzah memutuskan untuk kuliah sesuai jurusan yang dia senangi, dan berujung menjadi fotografer seperti sekarang ini.
Banyak cucuran keringat dan air mata yang menjadi saksi perjalanan karier Hamzah. Tapi, saya salut dengan kegigihannya yang mampu membuktikan pada sang mama, bahwa memiliki hobi yang dibayar itu jauh lebih menyenangkan, dibanding harus bekerja di bawah tekanan.
"Mama khawatir upah yang dia dapat, nggak bisa memenuhi kebutuhannya. Apalagi Hamzah itu calon pemimpin keluarga yang harus bisa memberikan kehidupan layak pada istri dan juga anak-anaknya kelak. Finansial Hamzah haruslah stabil, sebelum dia memutuskan untuk menikah. Mama nggak mau dia mengajak susah anak gadis orang."
Saya tersenyum simpul, adem saja rasanya mendengar penjelasan beliau. Pemikirannya sudah jauh ke depan, beliau ingin menjadikan putranya pemimpin yang bertanggung jawab.
"Menurut kamu Hamzah gimana, Tha?"
"Gimana apanya, Ma?"
"Sudah layak untuk menjadi imam?"
Saya tersedak ludah sendiri. Hanya mampu diam seribu bahasa, dan bingung harus menjawab apa.
⏭️▶️⏮️
Padalarang, 04 September 2023
Sekarang giliran Zanitha nih yang kena ulti😌🙈 ... Ayo jawab, Tha, jangan pura-pura nggak denger 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro