Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 37

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Namanya juga rencana, kadang bisa jadi nyata kadang juga hanya jadi angan-angan semata."

⏮️⏸️⏭️

SIKLUS hidup manusia itu cenderung sama, tapi waktunya saja yang kadang berbeda. Sebagaimana Hanin sekarang, setelah berhasil menyandang status sebagai istri, kini dia akan menyandang status sebagai ibu.

Kehamilannya memang baru menginjak usia empat bulan, dan kebetulan hari ini adalah acara empat bulanannya. Saya dan Mama sudah dari kemarin menginap di rumah Hanin, karena memang diminta untuk membantu pihak keluarga mempersiapkan acara.

"Harus kebalin hati dan juga telinga kalau di acara kayak gini, Tha. Pertanyaan kapan nikah semakin berbunyi nyaring," cetus Hanin seakan sudah paham betul apa yang saya khawatirkan.

"Aman, saya sudah sangat kebal," kilah saya.

Dia terkekeh kecil. "Maaf jadi ngerepotin kamu. Mama maunya masak dibantuin kamu dan juga Tante Zakiyah. Katanya lebih nyaman."

"Enggak papa, santai saja, Nin."

Dia manggut-manggut sembari mengelus perutnya.

Hanin merupakan pejuang garis dua. Hampir dua tahun dia menunggu agar dikaruniai buah hati. Saya ikut senang saat tahu akan kabar kehamilannya.

Untuk bisa berada di fase sekarang, pasti diwarnai dengan banyak perjuangan. Saya salut dan kagum dengan keteguhan dia dan juga Haikal, bisa sama-sama bertahan dan saling menguatkan.

Padahal saya tahu, pertanyaan basa-basi yang melukai hati sudah pasti menjadi makanan sehari-hari. Sekarang, mereka tinggal menikmati buah dari kesabarannya selama ini.

"Kamu ada ngidam yang aneh-aneh nggak, Nin?" tanya saya seraya mengelus lembut perutnya yang sudah terlihat agak menyembul.

"Enggak ada, malah kalau kata Mama hamil aku ini hamil kebo. Morning sicknes saja aku nggak ngalamin, Tha."

"Masa, sih?"

Dia mengangguk semangat. "Iya, makanya aku sampai tanya ke dokter kandungan apakah normal kalau aku nggak ngalamin mual dan ngidam. Tapi kata dokternya nggak papa, karena memang setiap ibu hamil beda-beda. Selama kandungan aku baik-baik saja dan rutin minum vitamin sama check up insyaallah aman."

Saya menarik tangan, takut Hanin merasa kegelian. "Syukurlah."

Dia mengangguk pelan. "A Hamzah ada ngabarin kamu, Tha? Kapan katanya mau pulang?"

"Kenapa topiknya malah jadi ke sana? Saya tidak tahu, Hanin."

"Kirain setelah obrolan serius kamu sama Mama beberapa bulan lalu, komunikasi di antara kalian ada kemajuan. Tahunya sama saja!"

Saya meringis kecil. "Saya kurang suka hal-hal semacam itu."

"Kamu kayak nggak antusias gitu kalau aku bahas A Hamzah. Kelihatan mati rasa dan nggak ada minat!" cetusnya.

"Hanya perasaan kamu saja mungkin, Nin," sangkal saya.

Apa yang Hanin tuturkan sepertinya benar. Saya tipikal orang yang kurang suka berkomunikasi melalui gawai, lebih senang bertemu langsung.

Alhasil jadi seperti sekarang, terlebih memang tidak ada interaksi yang berarti juga di antara saya dan Hamzah. Kami sama-sama fokus pada kehidupan masing-masing.

"Padahal aku itu mau banget A Hamzah pulang. Seenggaknya aku bisa memastikan kondisinya. Perasaan aku mendadak nggak enak, apalagi dua minggu lalu A Hamzah sama Ayah terlibat perdebatan panas di telepon."

"Katanya kamu nggak dapat kabar dari A Hamzah. Itu dua minggu lalu A Hamzah masih teleponan sama Ayah. Gimana, sih, Nin?"

"Itu kebetulan aku lagi nginep di rumah Mama. Dan ya, nggak sengaja dengar perdebatan sengit Ayah dan A Hamzah. Nah, setelah itu aku nggak dapat kabar apa pun lagi."

"Baru hilang kabar dua minggu, Nin, biasanya juga lost contact sampai berbulan-bulan."

Saking sudah terbiasanya tanpa kabar, saya tidak lagi mengharapkan adanya sebuah pesan.

Dari yang awalnya tersiksa, terbiasa, lantas berujung mati rasa. Waktu memang penyembuh rasa sakit paling ampuh.

"Tuh, kan bener apa yang aku bilang, kamu kelihatan nggak peduli lagi sama A Hamzah. Enggak ada rasa khawatir sedikit pun," cetusnya penuh curiga.

Saya menepuk lembut bahunya. "Jangan berpikiran macam-macam."

"Lihat kamu sekarang, aku malah semakin khawatir kamu kepincut cowok lain. Kamu nggak lagi deket sama siapa-siapa, kan?"

Saya menggeleng lemah.

"Kamu nggak coba cari tahu memangnya? A Hamzah, kan sudah janji sama kamu mau pulang libur semester ini."

"Biarkan A Hamzah fokus pada pendidikannya. Saya, kan sudah meminta A Hamzah untuk tetap stay di Jerman sampai kuliahnya benar-benar selesai. Lagi pula tanggung, Nin kalau pulang sekarang. Tinggal satu semester lagi juga A Hamzah pulang bawa gelar yang dia perjuangkan."

Hanin berdecak. "Iya deh iya. Asal jangan sampai kamu kasih kejutan tak terduga saja pas A Hamzah pulang bawa gelar."

"Kejutan apa?"

"Kamu nikah sama orang lain lha, Tha. Kok masih nanya. Mendadak kena serangan jantung pasti A Hamzah. Kamu minta dia fokus kuliah. Eh, pas pulang ternyata kamu sudah jadi istri orang. Kan nggak lucu!"

Saya tersedak ludah sendiri. Sungguh sarkas sekali perkataan wanita hamil satu ini. Seperti tidak ada filternya saja.

"Sampai keselek gitu, kamu nggak papa, kan, Tha?"

Saya mengangguk pelan. "Aman, saya baik-baik saja."

"Temenin aku ganti pakaian, Tha, sebentar lagi acaranya mau mulai," pintanya.

Saya pun mengangguk tanpa kata.

Sesampainya di kamar, saya langsung membantu Hanin. Dia itu manja, apa-apa harus diladeni. Beruntung dia mendapatkan suami seperti Haikal yang siap siaga dan bisa mengayominya.

"Mas Suami lagi sibuk gelar karpet di bawah. Untung ada kamu, Tha," ocehnya diakhiri cengiran.

"Manjanya tolong dikurangi sedikit, nanti anak kamu merasa tersaingi lagi."

Dia malah tertawa tanpa dosa.

"Aku mau tanya sesuatu sama kamu boleh?" tanyanya saat saya baru saja selesai memakaikan kerudung.

"Apa?"

Dia menarik tangan saya untuk duduk di tepi ranjang. "Yakin kamu nggak lagi dekat sama siapa-siapa?"

"Allahuakbar, kamu ini seperti nggak ada pertanyaan lain saja. Memangnya saya sedang dekat dengan siapa, hm?"

"Mas Dipta."

Mata saya membulat sempurna. "Ngaco kamu kalau ngomong! Jangan sembarangan."

"Banyak berita yang bilang kalau pemilik ND Publisher terlibat cinlok dengan salah satu penulisnya. Inisialnya Zanitha Daniza."

"Itu nama lengkap, bukan inisial. Lagian kamu ini gampang sekali termakan berita murahan. Namanya juga media, pasti ada yang dilebih-lebihkan," kata saya meluruskan.

Dia mendengkus. "Gimana nggak kemakan berita coba, Tha. Orang trending di mana-mana juga. Kabarnya naik lagi setelah ada paparazi yang menangkap gambar kamu lagi di rumah sakit jenguk Ibunya Mas Dipta."

Saya menghela napas singkat. "Minggu lalu saya mengantar Bu Dinara check up, tapi ya hanya sekadar itu. Bu Dinara itu salah satu kenalan saya di kajian."

"Hati-hati, Tha kalau bergaul sama ibu-ibu pengajian. Suka ada yang tiba-tiba bisik di telinga, 'Mau jadi Mantu Ibu nggak?' Ngeri, kan?"

Saya meneguk ludah susah payah. Perkataan Hanin benar-benar mengingatkan saya pada Bu Dinara. Terlebih apa yang dia utarakan benar begitu adanya.

Hanin tertawa nyaring. "Enggak usah panik kali, Tha. Sampai pucat banget itu muka. Aku cuma bercanda, jangan terlalu serius napa!"

Saya meringis kecil dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 07 Oktober 2023

Semoga masih betah, part-nya lumayan masih banyak 🤧

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Masih mau lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro