Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 36

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak ingin terlibat hubungan tak halal, tapi enggan memperjelas hubungan."

⏮️⏸️⏭️

MEMBACA dengan saksama file yang tadi Mas Dipta kirimkan. Sekadar ingin tahu, tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh mengajak berta'aruf. Saya hanya penasaran, sebatas itu.

Isinya sungguh amat berbobot. Pantas jika banyak perempuan yang mengejar-ngejar, tapi anehnya dia justru melayangkan lamaran pada saya yang tak seberapa ini.

Sepertinya Mas Dipta perlu untuk memeriksakan mata, takutnya bermasalah.

"Tha."

Saya pun menoleh ke sumber suara, di ambang pintu Mama menyembulkan kepalanya. "Apa, Ma?"

"Mama mau tanya sesuatu, tapi kelihatannya kamu sibuk."

Saya menggeleng pelan. "Enggak, kok, Ma. Kenapa?" sahut saya seraya meng-close file dan mematikan laptopnya sesegera mungkin.

"Sudah sedekat itu hubungan kamu dengan Nak Dipta? Sampai dikenalkan pada orang tuanya segala."

Saya terkekeh pelan, berjalan menghampiri Mama yang tengah duduk di tepi ranjang. "Ibunya Mas Dipta sedang di rumah sakit, beliau kurang sehat. Nitha hanya menjenguknya."

"Kamu mengenal baik Ibunya Nak Dipta?"

Saya mengangguk singkat. "Lumayan."

"Kok bisa?"

"Ibunya Mas Dipta ternyata salah satu jamaah di kajian yang sering Nitha ikuti. Kami beberapa kali bertemu, pernah ngobrol juga, tapi Nitha nggak tahu kalau itu Ibunya Mas Dipta. Baru tahu tadi, saat dikenalkan langsung oleh Mas Dipta."

"Bisa kebetulan gitu yah, Tha."

"Takdir mungkin, Ma," jawab saya sekenanya.

"Wajah kamu kelihatan sumringah sepulangnya dari rumah sakit. Ada apa?"

Saya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Masa sih, Ma? Perasaan Mama saja kali."

"Mama serius, Tha. Jangan bercanda!"

Saya kian menggelegarkan tawa. Asumsi beliau ini memang selalu ada-ada saja.

"Oleng ke Nak Dipta kayaknya, sudah nggak galauin Nak Hamzah lagi?"

"Sejak kapan Nitha galau? Ngaco Mama!"

Beliau mendengkus kasar. "Enggak usah nyangkal, Mama tahu meksipun hanya kamu kasih spoiler doang."

Saya memutar bola mata malas sebagai respons.

"Maksud kedatangan Bu Anggi sama Hanin tiga hari lalu untuk apa? Kamu belum cerita apa-apa sama Mama."

"Hanya silaturahmi, Ma. Penasaran banget kayaknya," kata saya.

"Wajar kalau orang tua mau tahu urusan anaknya. Lagian, nggak biasanya Bu Anggi datang ke sini, apalagi sekarang Nak Hamzahnya lagi nggak ada," selanya.

"Ngobrol doang, Ma."

Saya tidak ingin memberitahu beliau ihwal apa saja yang Mama Anggi bicarakan. Bukan apa-apa, saya hanya takut membuat beliau kecewa. Terlebih kalau tahu Hamzah berniat untuk pulang.

Khawatirnya, kepulangan Hamzah tidak benar-benar terjadi, tapi Mama terlanjur tahu dan malah berharap lebih. Saya tahu sebesar apa harapan beliau pada lelaki itu, dan saya tak ingin menghancurkan asanya.

Kemungkinan terburuk itu selalu ada, dan saya sudah menyiapkan hati serta mental agar tidak terlalu terluka. Saya sudah tahu bagaimana sakitnya berharap pada manusia, jangan sampai Mama mengalami hal yang serupa.

"Tuh, kan malah bengong. Pasti ada apa-apa ini."

"Enggak, Ma. Nitha ngantuk mau istirahat," kata saya seraya tersenyum samar.

"Masih sering berkabar sama Nak Hamzah?" tanyanya seperti enggan mengakhiri perbincangan.

"Kenapa Mama tanya itu?"

"Enggak papa, Mama cuma mau tahu bagaimana kabarnya. Masih lama yah, Tha di Jermannya?"

"Kuliahnya, kan dua tahun, Ma. Ya, mungkin kurang lebih sekitar satu tahun lagi," kata saya.

"Dua tahun berasa lama kalau ada yang ditunggu," cetusnya.

"Mama nunggu A Hamzah? Untuk apa?"

Beliau mengangguk semangat. "Mama masih berharap Nak Hamzah yang datang ke rumah untuk meminta kamu pada Mama."

"Kalau ternyata sudah ada yang lebih dulu melamar Nitha bagaimana?"

Mata beliau membulat sempurna, sangat terlihat jelas raut keterkejutan di sana. "Siapa memangnya?"

"Nitha cuma tanya 'kalau' bukan benar-benar ada yang melamar. Mama nggak usah panik kayak gitu," ungkap saya sebisa mungkin terlihat tenang.

Jangan sampai saya keceplosan ihwal lamaran Mas Dipta, apalagi kalau sampai beliau tahu tentang keisengan kami yang saling bertukar CV.

"Kalau pria itu lebih baik dari Nak Hamzah, dan bisa membuat kamu bahagia Mama nggak masalah. Walau tak bisa dipungkiri rasa kecewa itu pasti ada, terlebih Mama sudah sedekat itu dengan Nak Hamzah," katanya terdengar tidak ikhlas, bahkan saya melihat senyum yang beliau paksakan.

Ternyata Hamzah masih berada di urutan pertama. Mama masih benar-benar mengharapkan dia yang menjadi jodoh saya. Ada hati yang hancur jika takdir Allah tidak mengizinkan kami bersama.

"Mama nggak boleh terlalu berharap seperti itu. Kita, kan nggak pernah tahu ke depannya kayak gimana. Nitha takut Mama kecewa," ungkap saya.

"Mama tahu, Tha, tapi untuk merelakan calon mantu seperti Nak Hamzah rasanya nggak ikhlas. Mama tenang kalau melepas kamu sama Nak Hamzah."

"Kadang Nitha suka mikir, kebaikan apa yang A Hamzah lakukan sampai Mama bisa segitunya menyayangi dia, bahkan sangat gigih menjodohkan kita berdua. Ma, jodoh itu ada di tangan Allah, kita nggak bisa mendikte dan memaksa untuk disandingkan dengan siapa."

Tiba-tiba Mama memeluk saya. Dengan senang hati saya pun membalasnya. "Mama ini kenapa, sih? Jangan buat Nitha khawatir."

Saya elus punggungnya lembut. "Cerita sama Nitha, sebenarnya ada apa?"

Beliau mengurai pelukan. "Enggak ada apa-apa, Tha. Mama hanya khawatir dengan intensitas kedekatan kamu dan Nak Dipta. Mama takut kamu jatuh cinta sama dia."

"Memangnya salah kalau Nitha ada rasa sama Mas Dipta?"

Beliau menggeleng lemah. "Enggak salah, tapi nggak seharusnya kamu punya perasaan seperti itu."

"Kenapa?"

"Mama takut kamu salah pilih."

"Kata Mama Mas Dipta itu MSG. Kenapa sekarang kelihatan cemas banget kalau Nitha ada hubungan lebih dari sekadar rekan kerja dengannya?"

Lagi-lagi beliau menggeleng.

"Ada yang Mama sembunyikan dari Nitha? Apa, Ma?"

"Kamu jangan terlalu dekat dengan Nak Dipta. Dia memang pria yang baik, kelihatan shalih juga, tapi kamu harus menjaga jarak dengannya."

"Kenapa Nitha harus melakukan itu?"

"Kalian bukan mahram."

Saya merapatkan mata sejenak. "Kalau itu Nitha juga tahu."

"Enggak baik, Tha, kalau kamu terlalu sering bertemu dengan Nak Dipta. Nggak enak dilihat tetangga."

"Perasaan dulu sama A Hamzah juga kayak gitu. Tapi nggak pernah Mama larang, apalagi tetangga yang dijadikan sebagai alasan."

"Nak Dipta sama Nak Hamzah beda, Tha."

"Apa bedanya?"

"Mama sudah mengenal baik keluarganya Nak Hamzah, sedangkan Nak Dipta nggak. Mama rasa itu sudah cukup jelas perbedaannya."

"Mau sedekat apa pun kita mengenal keluarganya, kalau nggak ada kejelasan yang mampu A Hamzah berikan ya akan percuma. Banyak kasus yang pacaran lama tapi kandas juga, malah berjodoh dengan orang baru yang dikenalnya hanya hitungan bulan saja. Kedekatan antar keluarga nggak bisa dijadikan tolak ukur."

"Apalagi status Nitha dan A Hamzah yang hanya sebatas HTS-an saja. Enggak ada jaminan apa-apa, sekalipun ada orang tua dan keluarga yang turut campur. Sebab, sampai detik sekarang kepastian itu belum kunjung Nitha dapatkan."

Mama terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. "Kalau memang bukan Nak Hamzah, nggak papa."

Saya menggenggam tangan beliau. "Nitha nggak mau membuat Mama menaruh harap pada manusia. Nitha takut Mama akan kecewa."

Beliau mengangguk lemah dan menunduk dalam.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 06 Oktober 2023

Agak sedikit sedih, tapi masih aman🤧 ... Apakah masih mau dilanjutkan?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro