ETP | 35
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika cinta dijadikan alasan utama untuk membangun sebuah mahligai, percayalah itu tidak akan lama, hanya sementara."
⏮️⏸️⏭️
KITA tidak akan pernah tahu sepenting apakah nilai seseorang jika belum merasakan sakitnya ditinggalkan. Kerapkali kita abai kala masih ada, tapi di saat sudah pergi barulah terasa.
Itulah mengapa, orang yang meninggal dunia lebih banyak menerima karangan bunga. Sebab, rasa penyesalan selalu datang belakangan.
"Anggap pertemuan ini tidak pernah terjadi, sebab saya tidak ingin menghadapkan kamu dalam posisi yang sulit. Zani, kamu tak perlu ambil pusing akan permintaan Ibu saya tadi."
"Saya tidak ingin memaksa, dan membuat kamu harus terjebak dalam situasi yang tidak kamu inginkan. Saya memang melamar kamu tapi kamu tolak, dan saya sangat menerima hal itu. Jangan sampai kamu berpikir untuk merubah keputusan hanya karena rasa iba melihat kesehatan Ibu saya."
"Kenapa Mas Dipta sampai memiliki pemikiran seperti itu?"
Dia sedikit tersenyum. "Kebanyakan perempuan menggunakan hati dan perasaan, hingga mereka kerapkali lupa bahwa ada yang namanya logika. Saya tak ingin membuat kamu menyesal di kemudian hari. Mahligai yang dibangun dari rasa iba serta menjadikan orang tua sebagai alasan utama, pasti akan terasa berat dalam menjalaninya."
"Apakah lamaran yang Mas Dipta layangkan ada sangkut-pautnya dengan Bu Dinara?"
Sebuah gelengan tegas dia berikan. "Lamaran itu murni keinginan saya, tidak ada andil Mama di dalamnya."
"Sedikit saya jelaskan, agar Zani tidak salah paham. Bisa dibilang Ibu saya cukup sering menghadiri kajian, suatu waktu beliau pulang dengan wajah berseri-seri dan mengatakan pada saya, kalau beliau sudah menemukan seseorang yang pas untuk saya peristri."
"Dengan bangganya beliau menunjukkan foto Zani, yang hanya tampak samping dan sedikit buram. Beliau begitu antusias. Apa kamu ingat saat saya menunggu di anak tangga? Di hari itu saya hendak membicarakan hal ini. Namun, karena satu dan lain hal, tidak kesampaian."
"Beliau meminta saya untuk membawa kamu ke rumah, tapi saya belum memiliki keberanian lebih. Saya pun tidak memberitahu Mama kalau saya sudah cukup lama mengenal kamu, karena saya tidak ingin membuat beliau menaruh harapan lebih, baik pada saya ataupun kamu."
Mas Dipta sekilas menoleh ke arah saya. "Sampai akhirnya saya merasa mendapatkan momen untuk melamar kamu, di Garut minggu lalu. Tapi qodarullah penolakanlah yang saya dapat, dan sampai sekarang saya belum bisa mewujudkan permintaan Mama. Maka dari itu saya meminta tolong pada Zani, sekiranya bisa datang ke rumah sakit, hanya untuk sekadar menemui beliau."
"Tidak ada sedikit pun maksud dan tujuan, apalagi sampai menyudutkan Zani dalam keadaan sulit. Saya hanya ingin mengabulkan keinginan Mama untuk mempertemukan kamu dengannya, tidak lebih, tidak kurang."
"Apa Mas Dipta menaruh atensi lebih terhadap saya?"
"Apa perlu saya menjawabnya?"
Seketika rasa gugup datang, mengapa pertanyaan singkat itu malah berdampak tidak baik untuk kinerja jantung saya.
Ini sudah tidak benar!
"Diam, itu artinya kamu membutuhkan jawaban," cetusnya setelah beberapa saat berkawan geming.
"Tidak etis rasanya jika saya mengumbar kata-kata cinta sebagai alasan, karena itu bisa menciderai harga diri kamu sebagai perempuan. Saya ingin membangun rumah tangga bervisi surga, dan saya rasa kamulah orang yang tepat untuk mewujudkannya."
"Terkait atensi lebih yang kamu tanyakan, saya tidak bisa menjawabnya secara terang-terangan. Saya tidak ingin merendahkan harga diri seorang perempuan hanya karena kalimat cinta yang saya ungkapkan."
"Sebagaimana yang Guru saya ajarkan. Jika ada laki-laki yang hendak meminang seorang perempuan lantas lelaki itu mengatakan cinta sebelum adanya ikatan halal. Maka percayalah lelaki itu tidak benar-benar sayang, karena dia sudah begitu mudah merendahkan harga diri wanitanya dengan kalimat yang seharusnya tidak dia utarakan."
"Saya rasa Zani lebih paham akan hal ini," tukasnya diakhiri sebuah sunggingan.
Saya mendadak bisu, tidak ada satu pun kata yang mampu untuk saya keluarkan. Hanya bisa diam dan menunduk dalam, sedangkan tangan saya sudah mulai berkeringat dingin karena dilanda kegugupan.
Setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya seolah memiliki magis yang mampu membuat saya terpaku hingga merasa sulit untuk berkata-kata. Sangat berbeda dengan jantung saya yang saat ini seperti sedang berdemo, detakannya terasa sangat kencang.
Suara kekehan mau tak mau membuat saya menolehkan kepala. "Kenapa tertawa, ada yang lucu?"
"Tidak ada, saya justru heran dengan kamu yang tidak sedikit pun merespons. Apa ada yang salah?"
Saya menggeleng pelan. "Saya rasa tidak, hanya saja saya cukup shock."
"Tidak perlu diambil pusing, jangan dibawa beban. Kamu tidak memiliki kewajiban untuk memikirkan perihal apa pun yang sudah saya katakan tadi."
"Saya orang keberapa yang Mas Dipta lamar?"
"Kamu yang pertama dan satu-satunya."
Mata saya membulat sempurna. Benarkah? Rasanya sangat sulit untuk dipercaya.
"Saya memang pernah mencoba untuk berta'aruf dengan seseorang, tapi gagal, hanya sampai di tahap saling bertukar CV. Setelah itu, saya tidak lagi tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Mungkin bisa dibilang trauma."
"Kenapa bisa gagal?"
"Terhalang restu Mama."
"Kok bisa?"
"Saya pun kurang tahu alasan jelasnya seperti apa. Mama langsung menolak kala saya memperlihatkan CV ta'arufnya. Orang tua itu main feeling, katanya tidak sreg."
"Pada saya Mas Dipta nekad langsung menawarkan lamaran, tapi pada seseorang di masa lalu melewati proses ta'aruf terlebih dahulu. Kenapa bisa?"
"Saya sudah cukup mengenal kamu, saya juga tahu pribadi dan perangai kamu seperti apa. Untuk selebihnya bisa dicari tahu pada saat telah halal, proses saling mengenal yang sesungguhnya ya setelah pernikahan. Bukankah begitu?" jelasnya.
"Apa boleh saya melihat CV Mas?"
Dia mengangguk singkat. "Nanti saya berikan, kebetulan saat ini saya sedang tidak membawanya."
"Kirim via e-mail, jangan dicetak."
Lagi-lagi dia pun mengangguk. "Kalau soft file-nya bisa saya kirimkan sekarang. Dikirim ke alamat e-mail yang biasa?"
"Jangan, Mas, itu e-mail khusus untuk kebutuhan saya sebagai penulis. Pakai e-mail pribadi supaya tidak tercampur," sahut saya.
Mas Dipta menyerahkan gawainya, saya pun mengambil benda tersebut dan menuliskan alamat e-mail saya di sana.
"Alamatnya sudah betul, [email protected]m?"
"Sudah, Mas."
Dia manggut-manggut lantas fokus pada gawai. Sedangkan saya memilih untuk menatap sekeliling, di mana banyaknya lalu lalang orang. Kebetulan saat ini kami sedang berada di lorong rumah sakit.
"Sudah saya kirim," katanya.
Saya pun langsung melihat gawai, notifikasinya memang sudah masuk.
Saeid Biliqayik!
Dengan ini, saya dinyatakan lolos seleksi tahap pertama.
Berikut terlampir CV ta'aruf a.n Naradipta Dharmawan.
Simpan email dan file yang telah terlampir, lantas hubungi CP terkait.
Harap konfirmasi sebelum 1×24 jam.
Contact Person :
Dipta : +62 813-××××-××××
Ma'annajah fil imtihan!
Saya geleng-geleng seraya tertawa kecil. "Berasa dapat giveaway harus pakai konfirmasi segala. 'Saya dinyatakan lolos seleksi tahap pertama.' Mas kira sedang seleksi CPNS apa? Ma'annajah fil imtihan? Saya sedang tidak ujian, Mas."
"Kata good luck terlalu biasa, maka dari itu saya pakai ma'annajah fil imtihan. Bukankah memang Zani akan mempelajari CV saya? Maka saya rasa kalimat itu pun cocok untuk disematkan di sana. Menelaah CV ta'aruf lebih sulit dibandingkan dengan menjawab soal ujian,"
"Pada saat Zani meminta CV saya, itu artinya saya sudah terverifikasi dan lolos seleksi tahap pertama. Benarkan?" terangnya diakhiri kekehan.
"Ya, ya, ya, terserah Mas saja. Baru kali ini saya dapat kiriman CV ta'aruf isinya mengocok perut. Curiga file yang dikirimkan pun isinya malah lawakan," cetus saya.
"Zani ini ada-ada saja, saya tidak selawak itu."
"Apa Mas perlu CV saya?"
"Ini ceritanya kamu sedang mengajak saya berta'aruf atau bagaimana? Pakai tukar-tukaran CV?"
Saya gelagapan seketika. "Bu-bu-kan seperti itu maksud saya."
Tawa Mas Dipta menguar, hal itu malah semakin membuat saya gugup sekaligus malu.
"Ternyata benar, perempuan itu makhluk yang paling sukar untuk dipahami."
"Maksud, Mas?"
"Saya menawarkan kamu kepastian, lamaran, tapi yang saya terima justru penolakan. Namun sekarang, malah saling bertukar CV. Bukankah tahapannya malah menurun?"
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 05 Oktober 2023
Hati-hati oleng, coba ditanya lagi hatinya. Mau sama Mas Editor atau Aa Fotografer?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog di Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Masih mau lanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro