Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 32

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sebatas bisa menerka, tapi tak tahu akhir kisahnya akan seperti apa."

⏭️⏸️⏮️

MENIKMATI angin sore dengan pemandangan langit yang sudah mulai menampakkan warna jingga. Sebentar lagi tugas mentari menyinari bumi akan digantikan oleh terangnya sinar rembulan.

Deburan ombak yang menyapu hingga bibir pantai membuat keindahan ini kian lengkap. Senja dan pantai memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sangat klop!

Saya tersentak kala merasa ada seseorang yang berdiri berjarak di sisi saya. Spontan saya pun menoleh, dan terpaku kala melihat sosoknya.

"Pantas Ibu kamu kelimpungan mencari anak gadisnya, ternyata sedang asik menikmati senja seorang diri di sini."

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya saya menghiraukan celotehannya.

"Kalau mau ke mana-mana izinlah dulu, jangan buat orang tua cemas. Sebentar lagi magrib, Zani. Tidak baik perempuan masih berada di luar."

Saya menunjukkan mukena traveling yang tengah saya tenteng. "Saya memang akan ke masjid, hanya sejenak mampir ke sini. Senjanya terlalu indah untuk dilewatkan."

Dia manggut-manggut. "Ada yang ingin saya sampaikan, apa ada waktu?"

"Silakan."

Langkah kami bergerak lambat, saling bersisian dengan jarak yang tidak terlalu dekat.

"Apa boleh jika saya bersilaturahmi ke rumah Zani?"

Refleks saya pun menoleh, dan beristighfar kala tak sengaja saling berpandangan. "Maaf, maksud Mas Dipta apa?" tanya saya setelah mampu menundukkan kepala.

"Boleh atau tidak?" ulangnya enggan menjawab pertanyaan saya.

"Hanya untuk bersilaturahmi?"

Sebuah anggukan dia berikan.

"Tidak ada kepentingan lain, kan?"

Untuk kali ini dia menggeleng singkat.

"Lantas untuk apa?"

"Menurut Zani jika ada seorang laki-laki yang menyambangi kediaman seorang perempuan untuk apa?"

"Mas Dipta tidak salah? Kenapa malah balik bertanya pada saya."

Dia menyampirkan sajadah di bahu, sejenak merapikan kopiah, lantas berkata, "Ingin menukar ini dengan seorang gadis."

Saya dibuat melongo dan kesulitan untuk menelan ludah saat melihat dia menunjukkan benda berbentuk lingkaran pada saya.

"Gadis mana yang Mas Dipta maksud?"

Dia kembali melajukan langkah, menoleh singkat ke arah saya lantas kembali menatap ke depan. "Gadis yang saat ini tengah berjalan berdampingan dengan saya."

Tubuh saya mendadak kaku. Keringat dingin terasa mulai bercucuran. Apa saya tidak salah dengar?

"Untuk kali ini, guyonan Mas Dipta tidaklah lucu!"

Dia terkekeh kecil. "Memangnya selawak itu saya di mata kamu? Sampai tidak bisa membedakan mana yang namanya bergurau dan bersungguh-sungguh?"

"Ma-ma-maksud saya bukan seperti itu."

"Lantas seperti apa?"

Saya diam membisu. Benar-benar kehabisan kosakata dan sulit untuk menjawab kalimat tanyanya.

"Sebelumnya apa sudah ada seseorang yang datang untuk melamar Zani?"

Saya menggeleng lemah.

"Bagaimana kalau saya yang melakukan itu, berkenankah untuk membukakan pintu?"

"Mas Dipta, ini benar-benar tidak lucu!"

"Zani bisa pikirkan dahulu, jika sudah menemukan jawabannya bisa hubungi saya," katanya lantas berlalu pergi.

Saya berjalan cepat untuk mengejarnya. "Jawaban apa yang hendak Mas Dipta tunggu?"

Dia memutar tubuh dan berjalan pelan dengan cara mundur, hingga posisi kami saling berhadapan. "Jika jawaban kamu ya, maka secepatnya saya akan datang ke rumah. Namun, jika tidak, saya akan tetap mengusahakan sampai kata ya keluar dari bibir kamu."

"Mas Dipta tahu huruf hijaiyah urutan ketiga?"

"Ta?"

Saya mengangguk mantap. "Itu jawabannya."

Setelahnya saya bergegas pergi, berlari secepat mungkin menuju masjid. Benarkah saya baru saja dilamar?

Sungguh tidak dapat dipercaya!

"Saya akan pastikan jawaban kamu berubah menjadi huruf hijaiyah urutan ke-28."

Suara teriakan itu hampir tidak terdengar karena berbarengan dengan kumandang azan. Saya tak ingin memperpanjangnya lagi, lebih memilih untuk berjalan cepat menuju masjid.

Rasanya sangat sulit untuk khusuk, terlebih saat tahu yang bertindak sebagai imam sosok yang beberapa saat lalu menawarkan lamaran. Benar-benar tidak fokus, pikiran saya justru berkeliaran pada scen singkat yang baru saja terjadi.

Tepat setelah suara salam menguar, saya justru melamun seperti orang linglung. Bukannya berdzikir atau bertadarus, saya malah asik berkelana dengan urusan dunia.

"Mama cari-cari dari tadi, eh sekalinya ketemu malah bengong!"

Saya beristighfar berulang kali, sangat terkejut dengan perkataan dan juga elusan di bahu yang Mama berikan.

"Kamu kenapa sih, Tha? Aneh banget!"

"Enggak papa, Ma. Nitha baik-baik saja."

"Kamu belum packing, ba'da isya kita akan pulang lho, Tha."

Saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Kalau gitu Nitha duluan ke kamar, mau packing. Salat isya-nya di kamar saja. Mama mau pulang bareng?"

Beliau menggeleng. "Mama di sini dulu, mau tadarusan sambil nunggu waktu isya."

Saya pun mengangguk lantas berpamitan dan melesat pergi masih dengan menggunakan mukena.

Saya celingukan kala tak menemukan sandal yang tadi saya pakai. Masih adakah curanmor yang senang menggondol sandal di zaman sekarang?

Hari ini saya benar-benar kacau. Nasib baik sedang tidak memihak sepertinya.

"Apa yang sedang kamu cari?"

Saya tersentak dibuatnya. "Sa-sa-sandal saya hilang."

Terdengar helaan napas singkat. "Saya bukanlah setan, tidak perlu takut seperti itu. Lagi pula saya sudah jinak, tidak suka makan sesama manusia."

Bukan maksud merasa takut, saya justru lebih merasa gugup. Tapi, anehnya dia biasa saja, seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa.

"Biasakan kalau sandal itu disimpan di tempat yang seharusnya, jangan asal taruh, jadi hilang, kan. Pakai sandal saya, tapi mungkin akan sedikit kebesaran."

Saya menggeleng kuat.

"Pakailah," katanya seraya menyerahkan sepasang kaus kaki.

"Saya rasa kamu tidak nyaman, dan selalu berusaha untuk menyembunyikan kaki kamu di bawah gamis sana. Pakai kaus kakinya dan ambil sandal saya di rak, warnanya abu-abu."

Dengan ragu dan hati-hati agar tidak bersentuhan saya pun mengambilnya. "Terima kasih, untuk kaus kakinya akan saya ganti baru, dan sandalnya akan saya kembalikan setelah saya cuci."

Hanya sebuah anggukan kecil yang dia berikan.

"Permisi, assalamualaikum," kata saya setelah berhasil memasang kaus kaki secepat kilat.

"Wa'alaikumusalam."

Sepanjang jalan saya merutuki diri sendiri, gara-gara terlalu asik melamun saya sampai tidak sadar memasuki tempat wudu dengan menggunakan kaos kaki. Alhasil basah kuyuplah pelindung aurat tersebut. Bodohnya saya pun melepas asal sandal karena terlalu rusuh kala memasuki masjid, alhasil malah hilang.

Benar-benar ceroboh!

Saya menatap cincin yang melingkar apik di jari manis. Nyatanya benda ini tidaklah ampuh untuk membuat nyali Mas Dipta menciut. Masih ada ikhwan yang berani melamar, asumsi Mama salah besar.

"Dia terlalu sempurna untuk saya yang biasa saja. Cukup mengagumi, tidak dengan memiliki. Saya masih menata hati, dan belum benar-benar pulih. Saya nggak mau melibatkan orang baru untuk menyembuhkan luka akan pahitnya masa lalu."

Saya menjatuhkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamar, dan menjadikan lengan sebagai bantal. "Mas Dipta berhak untuk mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dari saya. Maaf, Mas, saya belum selesai dengan masa lalu saya."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 02 Oktober 2023

Mau tahu kelanjutannya?😌 ... Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak 👣

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro