Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 30

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tetaplah menjaga hubungan baik pada sesama, karena hal itu membuat kita memiliki banyak saudara."

⏮️⏸️⏭️

IDAMAN kerapkali disandingkan dengan kata menantu, seolah ada standar khusus. Entah itu harus pintar memasak, piawai mengurus rumah, dan lain sebagainya.

Label menantu idaman terdengar cukup mengerikan bagi perempuan yang memang tidaklah apik dalam hal tersebut. Perempuan acapkali dituntut harus serba bisa dalam berbagai bidang, padahal kita pun manusia yang memiliki banyak keterbatasan.

Fokus pada karier dinilai tak becus dalam hal pekerjaan rumah. Memilih berdiam diri di rumah, dianggap sebagai beban suami. Serba salah jadinya.

Lantas harus seperti apa agar kita ini dipandang sebagai menantu idaman?

"Emang paling benar itu hidup melajang, Tha. Pernikahan manisnya hanya di awal doang."

"Jangan bicara seperti itu, apa yang kamu keluhkan bisa jadi itu yang diinginkan orang-orang."

Mama Anggi yang baru bergabung ikut menimpali. "Betul itu, kebiasaan banget kamu, Nin. Setiap pulang ke rumah pasti banyak ngeluh soal pernikahan. Namanya juga rumah tangga pasti ada saja masalahnya."

Hanin mendengkus kasar. "Iya tahu, tapi Hanin nggak nyangka akan seblunder ini masalahnya."

Beliau meneguk teh tawar hangat terlebih dahulu. "Mama nggak mau tahu dan nggak mau ikut campur terlalu jauh. Kamu sudah menikah, itu artinya kamu sudah dewasa dan bisa memecahkan masalah sendiri."

"Ish, kadang aku tuh suka heran. Kalau aku ngadu sama Mama pasti yang dibela Mas Suami, tapi kalau aku keceplosan ngadu sama Mertua, tetap saja anaknya yang dibela. Beda banget sama Mama yang terkesan mengagung-agungkan menantu," keluhnya dengan nada kesal.

"Haikal itu anaknya nggak neko-neko, hidupnya lempeng, beda sama kamu yang banyak ulah dan drama. Biang onar kamu tuh, Nin. Wajar kalau Mama ngomelin kamu," sahut Mama begitu santai.

"Kalau mau ketawa nggak usah ditahan-tahan, Tha!" sindir Hanin.

Saya menampilkan cengiran. "Maaf, Nin, nggak maksud apa-apa kok."

"Mama, kan selalu bilang sama kamu untuk belajar masak, belajar ngurus rumah, layani suami kamu dengan baik. Tapi, kamunya nggak nurut, sekarang kamu di-ospek langsung sama mertua kamu, ya harus terima lha. Itu namanya konsekuensi karena nggak patuh sama petuah orang tua."

Dia mencebik sebal. "Mending di-ospek senior, daripada di-ospek mertua. Salah dikit, bisa langsung diantar ke pengadilan agama."

"Lebay kamu, Nin! Punya mertua baik kayak gitu juga. Harusnya bersyukur karena ada yang ngajarin dan ngarahin gimana jadi istri dan juga menantu idaman."

Saya mengangguk setuju. "Betul itu, kamu harus lebih giat belajarnya, ditambah lagi rasa sabarnya, jangan lupa lapangkan hati juga, supaya nggak gampang emosian dan naik darah."

"Memenuhi ekspektasi idaman di negeri ini tuh susahnya minta ampun. Banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Mending nggak usah dapet label idaman deh kalau kayak gitu caranya."

"Kamu tahu nggak sih, Nin, kalau kita ini sebagai perempuan bisa masuk surga lewat pintu mana saja. Asalkan kita patuh sama suami, rida dari suami itu yang utama. Harus berbakti dan mengabdi, apalagi kalau kita bisa menyenangkan hati suami dengan cara menyajikan makanan terbaik, melayani dan memenuhi semua kebutuhannya. Insyaallah kunci pintu surga ada dalam genggaman," tutur saya.

"Nah betul itu. Enggak perlu jadi idaman untuk mendapat simpatik, cukup berikan yang terbaik," imbuh Mama.

"Mama sama Zanitha tuh emang cocok, satu frekuensi dan pemikiran. Cuma sayang, belum secara resmi jadi pasangan mertua dan menantu idaman."

Spontan saya pun menyemburkan es teh yang belum sempurna tertelan.

Mama merangkul bahu saya lembut. "Meskipun belum resmi, tapi akan segera diresmikan, bukan begitu, Tha?"

Mata saya hampir meloncat dari tempatnya. "Maksud Mama?"

"Memangnya kamu nggak mau jadi Mantu Mama?"

Kepala saya mendadak pening bukan main. "Pertanyaan Mama ngelantur, kurang minum yah. Minum dulu, Ma."

Beliau menggeleng. "Kok malah dikatain ngelantur, nggak dong, Tha. Mama serius ini."

"Ditanya itu, tinggal jawab saja padahal," tutur Hanin semakin menyudutkan.

"Nitha harus pulang sekarang, Ma, lupa besok mau berangkat ke Garut untuk acara family gathering. Harus packing."

"Gaya banget kayak punya keluarga besar. Kita nggak diajak?" sahut Hanin.

"Itu acara dari penerbit, Nin. Insyaallah saya akan berangkat sama Mama."

"Tumben di luar kota, biasanya masih di sekitaran Bandung. Terus sekarang bisa bawa orang tua lagi, acara perusahaan atau ada sesuatu nih," selidik beliau.

"Kata Mas Dipta sengaja mengadakan gathering di luar kota dan mengharuskan mengajak serta orang tua, agar akhwat yang terkendala izin bisa dengan mudah diberi lampu hijau. Karena, kan untuk perempuan, safar itu dianjurkan didampingi mahram," jelas saya meluruskan.

"Kelihatanya makin dekat saja kamu sama Dipta, Tha. Yakin nggak ada hubungan apa-apa?" tanya Mama begitu to the point.

Saya tersenyum tipis. "Enggak ada, Ma, murni hanya sebatas rekan kerja. Nggak lebih."

"Awalnya emang cuma rekan kerja, tapi lama-lama bisa jadi rekan membangun rumah tangga. Hati-hati, lagi musimnya cinlok."

Saya meringis kecil. "Saya nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Yang jelas sekarang, saya dan Mas Dipta memang murni hanya rekan kerja."

"Masih suka komunikasi sama Hamzah, Tha?" tanya Mama tiba-tiba.

"Beberapa hari lalu A Hamzah ada kirim pesan, hanya sebatas itu."

Beliau manggut-manggut. "Syukurlah, seenggaknya kalian nggak lost contact dalam waktu lama."

Saya hanya tersenyum tipis. Tidak tahu saja beliau, kalau pesan singkat yang beberapa hari lalu saya terima, merupakan pembuka dari putusnya komunikasi yang terjadi selama enam bulan terakhir ini.

"Dari lama juga sudah lost contact kali, Ma, chat A Hamzah beberapa hari lalu itu pembuka pintu komunikasi. Masa Mama nggak tahu sih? A Hamzah sama Zanitha itu gengsi dan egonya melambung tinggi. Anti memulai duluan, alhasil kayak gitu tuh, hilang kabar sampai berbulan-bulan."

"Bener yang dibilang Hanin, Tha?"

Saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal lantas mengangguk pelan.

"Hamzah memang tipikal orang yang nggak suka komunikasi jarak jauh. Ngabarin Mama saja sesukanya, malah lebih sering lupanya. Mama yang inisiatif buat hubungi dia duluan, khawatir ada apa-apa."

Saya mengangguk dan sekilas tersenyum. "Jujur, Ma, Nitha lebih suka hilang kabar sekalian, daripada kayak sekarang. Nitha serasa dipermainkan, akan lebih baik memang saling menutup pintu komunikasi. Supaya sama-sama tenang dan fokus pada hidup masing-masing."

"Kamu sudah nggak mau ada hubungan apa-apa lagi sama Hamzah, Tha?"

Saya terdiam sejenak, mencari kosakata yang sekiranya tidak menyinggung ataupun melukai perasaan beliau.

Menggenggam tangannya dan memberikan senyum terbaik. "Lost contact jauh lebih baik, daripada datang dan pergi sesuka hati seperti yang A Hamzah lakukan sekarang. Nitha bukan persinggahan yang bisa kapan pun menerima kehadiran A Hamzah, Nitha merasa sedang dipermainkan. Seolah, kapan pun A Hamzah datang meski hanya bermodalkan ketikan, Nitha akan selalu menyambut dengan tangan terbuka lebar. Nitha sudah nggak bisa seperti itu lagi, Ma."

"Nitha masih berhubungan baik dengan Mama, Ayah, dan juga Hanin, bukan karena menginginkan sebuah kejelasan. Nitha hanya nggak ingin meninggalkan kesan buruk dan membuat Mama membenci Nitha di kemudian hari. Sekarang, Nitha sudah merasa lelah dengan HTS yang kian parah dan berjalan tak tentu arah. Nitha ingin menyudahi semua kegamangan ini."

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 30 September 2023

Lanjut atau cukup?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro