ETP | 29
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Padahal hanya bermodalkan ketikan, tapi mampu mengobrak-abrik perasaan."
⏮️⏸️⏭️
SAYA menggantung sebuah pigura foto di dinding, menatapnya begitu lekat dan sedikit tersenyum. Ternyata hasil jepretan saya tidak terlalu buruk, meskipun cukup jomplang jika dibandingkan dengan jepretan karya tangan dingin Hamzah.
Lumayan sering saya mengunjungi Rumah Sang Pemimpi, sekadar untuk membersihkan dan membereskannya. Tak jarang juga sengaja berdiam diri di sana untuk mencari inspirasi. Banyak hal yang saya lakukan, sebab di tempat ini menyimpan begitu banyak kenangan.
Berjalan menuju ruang foto, di sana banyak sekali berbagai jenis peralatan dan perangkat fotografi. Biasanya saya akan memanfaatkan tempat ini untuk mengabadikan novel-novel saya, hasilnya memang tidak sebagus fotografer profesional, tapi bisa dikatakan lumayan.
Membuka jendela dan pemandangan taman langsung menyapa netra. Sudah banyak pita yang terpasang di sana, bahkan vitamin yang Hamzah berikan pun mungkin hanya tersisa setengahnya.
Tak terasa, sudah satu tahun dia berada di Jerman. Waktu yang bisa dikatakan terasa panjang, tapi ternyata saya mampu melaluinya. Masih perlu satu tahun lagi, untuk kami bisa bertemu.
Hanya pertemuan yang saya inginkan, bukan lagi tentang dipersatukan dalam sebuah mahligai. Harapan itu sudah saya kubur dalam-dalam, sebagaimana saya mengubur kapsul waktu satu tahun lalu.
"Saya harap A Hamzah baik-baik saja di sana. Sudah lama saya nggak mendapat kabar darinya"
Jika tak salah ingat, kami sudah benar-benar lost contact. Tepatnya enam bulan terakhir ini. Saya tidak tahu apa pun yang berhubungan dengannya, begitupun dengan dia.
Bahkan untuk menenangkan hati, saya sengaja menutup semua komunikasi. Dia masih bisa menghubungi saya, tapi dia tidak bisa mengakses lebih apa pun tentang saya, karena memang sengaja saya batasi.
"Amanah untuk senantiasa merawat rumah dan juga kamera pemberian kamu selalu saya tunaikan. Bahkan, saya pun masih rutin mengunjungi Mama Anggi, meskipun sudah nggak seintens dulu."
Saya menutup jendela dan bergerak menuju taman, berniat untuk menenangkan diri dengan ditemani terpaan angin. Duduk di atas ayunan dengan mata yang sengaja saya pejamkan. Rasa sejuk dapat saya rasakan.
"Film yang diangkat dari buku saya sedang dalam proses syuting, diperkirakan akan selesai dalam waktu dua sampai tiga bulan lagi. Dulu pada saat launching bukunya kamu berhalangan hadir, tapi saya harap nanti pada saat gala premiere filmnya kamu berkenan datang."
Saya menatap lurus ke depan, di sana sudah banyak ditumbuhi berbagai jenis bunga. Saya yang sengaja menanamnya, terlihat sangat cantik dan menyegarkan mata.
"Tempat ini terlalu indah jika hanya saya saja yang menikmatinya. Insyaallah saya akan mengadakan sebuah pameran foto, saya harap kamu rida."
Saya sudah seperti orang yang kurang waras karena berceloteh seorang diri. Tapi, hanya di tempat inilah saya bisa menjadi diri sendiri dan mampu mengekspresikan apa yang tengah dirasa.
Memang benar apa yang Hamzah katakan, bahwasannya kita memang butuh ruang di mana kita merasa nyaman dan dihargai. Tempat inilah yang jadi sebuah solusi.
Suara deringan gawai memecah keheningan. Saya sedikit tersenyum kecut kala melihat nama pengirim pesan singkat tersebut.
Hamzah Wiratama
Assalamualaikum, Tha. Apa kabar?
Saya tidak langsung membalasnya. Ada rasa senang sekaligus kesal. Setelah enam bulan menghilang, hanya kalimat itu yang mampu dia kirimkan.
Tidak adakah kata-kata lain, yang sedikit bisa mengobati rasa kecewa saya karena merasa diabaikan?
"Untuk apa A Hamzah menghubungi saya lagi, jika hanya sekadar basa-basi."
Zanitha Daniza
Wa'alaikumusalam, baik.
Tidak ada keinginan untuk menanyakan balik kabarnya. Entah kenapa perasaan saya lebih didominasi oleh rasa kesal yang membuncah tinggi. Yang ada sekarang hanya rasa malas, bukan lagi antusias.
Pesan itu langsung berubah menjadi centang biru. Statusnya terlihat tengah mengetik, tapi sampai beberapa menit saya tunggu tidak kunjung menerima pesan baru.
Saya pun memilih untuk mematikan koneksi internet, menyimpan gawai dalam tas, lantas bersiap-siap untuk pulang. Tidak seharusnya tekad saya untuk melupakan tergoyahkan hanya karena sebuah pesan.
Hamzah datang hanya dengan bermodalkan ketikan, bukan berniat untuk memperjelas hubungan. Sadar, Zanitha. Sadar. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang secara cuma-cuma.
Sejenak mampir di sebuah kedai yang menjual kwetiau goreng. Ingin menetralkan pikiran dengan cara melampiaskan pada makanan, tapi nyatanya pada saat sepiring kwetiau sudah terhidang, napsu makan saya justru menghilang.
Hanya sekadar mengaduk-aduknya tanpa minat. Kenapa saya harus sekacau ini hanya karena sebuah pesan basa-basi yang dia kirimkan? Tidak seharusnya saya lemah hanya karena hal sepele semacam ini.
"Kwetiau itu nggak akan bikin kamu kenyang kalau hanya diaduk-aduk saja."
Saya terperanjat saat mendengar suara seseorang yang ternyata sudah duduk manis tepat di depan saya.
"Sejak kapan di sini?"
Dia melirik arlojinya. "Tepatnya kurang tahu, tapi cukup lama menyaksikan kamu yang sedang melamun dengan tangan mengaduk-aduk kwetiau goreng."
Mata saya membola sempurna. "Kenapa tidak menegur saya dari semenjak duduk di sini?"
"Saya tidak ingin mengganggu seorang penulis yang tengah asik berimajinasi."
Saya menggeleng pelan. "Mas Dipta ada kepentingan apa menemui saya?"
"Saya tidak menemui kamu, hanya tidak sengaja melihat kamu. Saya sedang membeli kwetiau goreng juga, Zani."
Saya mengangguk singkat.
"Apa kabar?"
Kening saya mengernyit. "Baik, seperti yang Mas Dipta lihat sekarang."
"Bukan kabar kamu, tapi kabar hati kamu."
"Maksud Mas?"
"Saya membaca kumpulan cerpen yang kamu posting di sebuah platform, hampir semua isinya tentang kesedihan. Apa kamu baik-baik saja?"
"Memangnya apa yang saya tulis harus selalu sama dengan apa yang saya rasa di dunia nyata? Saya rasa tidak cukup bijak jika menyimpulkan hanya dari postingan saja. Apalagi saya ini penulis yang memang dituntut untuk menghasilkan sebuah karya dengan berbagai jenis tema."
"Padahal cukup kamu jawab ya atau tidak, tapi malah dijelaskan dengan sedemikian rupa. Pertanyaan saya sederhana, tapi kamu terlalu rumit dalam menyikapinya."
"Ya, saya baik, sangat amat baik."
Tawa Mas Dipta menguar seketika.
"Kenapa? Ada yang salah dengan jawaban saya?"
Dia menggeleng. "Tidak."
"Minggu depan ada acara gathering, apa Zani berkenan untuk hadir?" imbuhnya beberapa saat kemudian.
"Nanti saya kabari lagi, Mas. Saya harus izin dulu pada Mama. Tumben mengabari langsung, biasanya diberitahukan di grup?"
"Kebetulan saya bertemu kamu di sini jadi sekalian saja. Di grup belum diumumkan karena memang masih mencari venue."
Saya mengangguk singkat.
"Kali ini saya dan tim akan mengadakan family gathering, kamu bisa mengajak serta ibu kamu."
"Serius, Mas?"
Dia mengangguk mantap. "Tentu, kami ingin lebih menguatkan tali silaturahmi dan memperluas persaudaraan. Kebetulan juga acara kali ini akan diadakan di luar kota, jadi untuk akhwat yang terkendala izin orang tua bisa lebih mudah, karena didampingi mahram masing-masing."
"Baik, Mas, nanti saya akan bicarakan terlebih dahulu dengan Mama."
"Silakan, untuk undangan resminya menyusul. Karena, kan ini juga termasuk acara perusahaan. Tapi, untuk rundown acara tetap santai seperti biasanya, tidak formal ataupun dikekang banyak aturan."
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 29 September 2023
Lanjut atau cukup?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro