ETP | 28
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Intens bertemu tidak menjamin bisa bersatu, intens komunikasi pun tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur."
⏮️⏸️⏭️
NIKMATILAH masa kesendirian dengan lebih banyak beribadah dan mendekat pada-Nya. Menyibukkan diri dengan hal-hal baik yang bermanfaat, tak perlu risau terkait takdir yang sudah jelas-jelas Allah jaminkan.
Kira-kira seperti itulah yang diutarakan orang-orang. Dalam bertutur kata memang mudah, tapi dalam praktiknya ternyata susah. Menurut saya wajar sekali jika kita merasa resah akan takdir, sekalipun sudah dijamin.
Sebab, pada dasarnya manusia itu dianugerahi hati, di mana semua rasa tertanam apik di sana. Perasaan yang senantiasa berubah-ubah, bahkan sulit sekali ditebak.
Sepintar apa pun kita dalam mengolah rasa, jika kegundahan sudah menyapa ya tidak bisa apa-apa, selain banyak-banyak mengingat-Nya.
"Izin bertanya Ustazah, jika perempuan seperti saya yang lebih banyak mendekam di rumah, apakah bisa mendapat jodoh?"
Saya menoleh ke samping, di mana seseorang yang duduk di dekat sayalah yang mengajukan pertanyaan.
Saat ini saya tengah mengikuti kajian rutin yang senantiasa diadakan di Minggu pagi hingga menjelang waktu zuhur.
"Wa ming kulli syai'in khalaqnā zaujaini la'allakum tadzakkarụn. 'Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).' QS. Az Zariyat ayat 49."
"Sebagaimana malam dan siang, manusia pun Allah ciptakan berpasang-pasangan. Mau anak rumahan ataupun yang suka keluyuran kalau memang jodohnya sudah ada, pasti akan datang. Tidak ada jaminan, kalau yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar, lebih berpotensi mendapat jodoh duluan."
"Cinta itu jangan dibawa pusing, kalau jodoh sebar undangan, kalau bukan ya kondangan. Pantaskan diri, benahi hubungan dengan Sang Illahi. Jangan panik. Rasulullah menikah di umur 25 tahun dengan Bunda Khadijah yang umurnya sudah 40 tahun. Mungkin calon jodoh kamu sekarang belum datang, karena masih lari-larian sama temannya di PAUD."
Suara gelak tawa seketika menguar. Inilah yang membuat kajian tidak terkesan membosankan. Meskipun konsepnya berdakwah, tapi masih dibumbui dengan candaan.
Saya menyimak dengan baik penjelasannya, bahkan saya pun mencatat hal-hal yang sekiranya perlu. Kadang, kalau hanya sekadar didengar, selesai kajian pun suka tiba-tiba hilang dari ingatan.
Pertanyaan terkait jodoh memang selalu ada, seakan menjadi topik paling menarik. Namanya juga manusia, wajar kalau khawatir dengan sesuatu yang belum dimilikinya.
Begitupun dengan saya, kadang kalau lagi capek maunya nikah saja.
Lima menit sebelum kumandang azan, kajian ditutup. Tapi saya lebih memilih untuk menunaikan salat dulu sebelum pulang.
Saya menghentikan langkah sejenak di anak tangga terakhir kala melihat punggung tegap seseorang yang sudah cukup saya kenali.
Dia lebih dulu menoleh, mengukir senyum, dan sebagai bentuk sopan santun saya pun membalasnya.
"Saya sengaja menunggu kamu," katanya tanpa diminta.
Kening saya mengerut, cukup bingung sekaligus tak mengerti dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
"Sudah beberapa kali saya mengikuti kajian di sini, sekilas saya seperti mengenal kamu, dan ternyata benar. Itu memang kamu, Zani," ungkapnya.
Bangunan yang memiliki dua lantai ini memang sudah biasa dijadikan sebagai tempat kajian. Untuk ikhwan di lantai bawah, dan akhwat di lantai atas, serta untuk pematerinya pun berbeda.
"Ada keperluan apa memangnya?" tanya saya seraya berjalan mengintil langkahnya yang berada di depan.
Dia menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, hanya ingin memastikan saja. Apakah kamu yang saya lihat atau bukan."
"Lantas setelah tahu itu saya, kenapa?"
Dia menghentikan langkahnya, menoleh ke arah saya sekilas lantas berucap, "Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."
"Terkait pekerjaan?"
"Bukan, apa ada waktu? Di kafe seberang masjid saja kalau Zani mau."
Saya melirik arloji terlebih dahulu, saya sudah janji pada Mama untuk pulang tepat waktu, dan tidak mampir ke mana-mana setelah selesai kajian. Namun, saya pun tak enak hati jika harus menolak ajakannya secara terang-terangan.
Takut dikira tidak sopan.
"Kalau tidak bisa, tak apa. Mungkin lain waktu kita bisa jadwalkan lagi," katanya tiba-tiba.
Dia seolah tahu, atau mungkin mimik wajah saya sudah cukup mewakili. Tingkat kepekaannya memang di atas rata-rata.
Saya mengangguk lega. "Terima kasih atas pengertiannya, dan maaf kalau sekiranya saya tidak sopan karena menolak ajakan, Mas."
"Tak apa, kalau begitu saya duluan. Assalamualaikum," pamitnya berlalu pergi.
"Wa'alaikumusalam," sahut saya lantas berjalan cepat menuju parkiran.
Ini adalah pertemuan pertama kami setelah tanda tangan kontrak kerja sama untuk menggarap buku saya menjadi film layar lebar. Intensitas kebersamaan yang dulu pernah terjalin memang murni karena adanya pekerjaan, sedangkan sekarang tidak begitu sering.
Saya sudah menyerahkan sepenuhnya pada Mas Dipta, tidak ingin terlalu ikut andil dalam penggarapan film. Selain memang karena tidak cukup paham dengan dunia perfilman, saya pun sengaja memberi jarak, tidak baik jika terlalu dekat. Saya takut terjebak pada lubang yang sama, sebagaimana yang terjadi pada saya dan Hamzah.
Cukup berteman sewajarnya.
Terkait Hamzah, lelaki itu menghilang, tanpa ada satu pun pesan. Kalau tidak salah, sudah dua bulan lebih kami tidak menjalin komunikasi, terakhir pada saat video call bersama Hanin. Selebihnya tidak ada.
Biasanya dia akan datang dengan pesan singkat berisi salam dan bertanya kabar, itu pun bak template yang dikirimkan per dua minggu sekali. Komunikasi di antara kami memang seburuk itu, hanya sekadar basa-basi.
Namun, hal tersebut justru membuat saya merasa nyaman dan damai. Serasa tidak ada beban, karena mungkin kisah saya dan dia sudah benar-benar selesai.
Lebih baik memang seperti ini, dia fokus pada pendidikannya dan saya pun akan fokus pada kehidupan saya. Tidak perlu saling tahu, kalau memang takdir kita bersatu, Allah pasti akan menuntun jalan kita untuk kembali bertemu.
"Batagor tanpa saos kacang, seperti biasa," tutur saya setelah sampai rumah dan duduk nyaman di sofa.
Mama segera mengambil alih, dan memakannya langsung dari plastik. "Kamu telat lima belas menit dari biasanya. Mampir ke mana dulu?"
Saya geleng-geleng dibuatnya. "Mampir ke tukang batagor, kan. Antreannya penuh tadi."
"Yakin nggak mampir ke tempat lain?"
Saya menyandarkan punggung di sofa, dengan tangan bersidekap dada, dan mata terpejam. "Ngobrol sebentar di teras masjid sama teman."
"Siapa?"
"Mas Dipta."
"Ngobrolin apa?"
Saya membuka mata dan kembali menegakkan tubuh. "Bukan apa-apa, Ma."
"Masa iya?"
"Mas Dipta ngajakin Nitha buat ngobrol sesuatu, tapi Nitha tolak karena sudah janji mau pulang tepat waktu sama Mama."
"Kan bisa ngobrol langsung di teras masjid, memangnya ngajak ngobrol di mana?"
"Kafe seberang masjid, katanya ada sesuatu yang penting. Tapi Nitha juga nggak tahu yang Mas Dipta anggap penting itu apa."
Mama manggut-manggut. "Mau nembak kamu kali."
"Kalau ditembak, Nitha mati dong."
Beliau memutar bola mata malas lantas menjitak kening saya. "Enggak usah pura-pura bodoh!"
Saya tertawa puas menimpali gerutuannya.
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 28 September 2023
Lanjut???
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro