Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 26

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika menginginkan sosok yang terjaga, maka kitanya pun harus pandai menjaga."

⏮️⏸️⏭️

TUBUH saya menegang sempurna saat melihat dia di layar laptop. Hanya bisa diam dan menunduk, mendengarkan obrolannya dengan sang adik. Kondisi seperti inilah yang tidak saya senangi, saya tidak biasa melakukan sambungan video call.

Meskipun sebenarnya bukan saya yang memulai dan menghubungi, tapi tetap saja tidak nyaman. Terlebih saya pun bingung harus mengatakan apa, ditanya ya jawab, kalau pun tidak ya sudah. Cukup jadi pendengar yang baik saja.

"Diem saja kamu, Tha, kenapa? Sariawan?"

Spontan saya pun mendongak, menatap layar sekilas lantas menggeleng cepat.

Hanin yang berada di sisi saya tertawa dengan begitu puas. "Grogi dia, tangannya sampai keringat dingin."

Saya melirik ke arahnya, cukup terkejut dengan kejujuran anak ini. Malu sekali, harus ditaruh di mana wajah saya?

"Kuliahnya bagaimana? Betah di sana?" tanya saya agar terlihat tidak terlalu gugup. Berusaha untuk tetap stay cool, walau nyatanya tidak bisa.

"Alhamdulillah lancar, betah, Tha. Kamu sendiri gimana? Sudah nulis buku baru, kah?"

"Syukurlah, saya sedang terserang virus WB. Tapi, kabar baiknya buku yang launching beberapa bulan lalu ditawari untuk dijadikan film."

"Masyaallah, alhamdulilah ikut senang saya mendengarnya. Kalau soal WB, nggak usah dibawa pusing, Tha. Nanti juga bisa lancar lagi idenya, asal jangan berhenti nulis saja."

"Kamu nggak ngasih tahu aku, diem-diem bae bukunya mau dijadikan film. Dasar kamu, Tha. Kabar bahagia itu harus diberitahukan, bukan disembunyikan," cetus Hanin heboh.

"Bukan maksud menyembunyikan, tapi saya sedang menunggu waktu yang tepat saja. Lagi pula, baru tanda tangan kontrak, Nin. Prosesnya masih panjang, penggarapan film, kan makan waktu malah bisa sampai tahunan."

"Iya, deh, iya, semoga lancar-lancar prosesnya. Aku mau nonton film karya kamu, Tha," sahut Hanin antusias.

"PH-nya milik Dipta, Tha?" tanyanya.

Saya kembali menatap layar dan mengangguk pelan. "Iya, lebih tepatnya milik ayahnya Mas Dipta. ND Production."

Dia tersenyum tipis menanggapi jawaban saya.

"Ada yang hatinya panas itu, Tha, terbakar api cemburu."

Alis saya terangkat satu. "Siapa maksud kamu?"

"A Hamzah, lha, siapa lagi coba. Iya, kan?" ujar Hanin seolah meminta validasi dari kakaknya.

Hamzah tak menjawab, dia justru seperti mengalihkan pembicaraan.

"Mama apa kabar, Tha? Toko masih ramai?"

"Mama baik, toko juga alhamdulilah."

Saya menoleh saat mendengar suara decakan yang begitu jelas dari arah samping. "Pinter banget ngelesnya. Susah emang kalau terlalu meratukan ego dan gengsi!"

"Sudah dulu yah, Nin, Tha. Aa masih ada tugas kuliah yang harus diselesaikan. Lain waktu disambung lagi."

Hanin terbatuk-batuk, lalu menyenggol lengan saya. "Aa katanya, Tha. Bukan saya lagi."

"Assalamualaikum," pamit Hamzah benar-benar mematikan sambungan video call.

"Bukannya sudah biasa yah? A Hamzah, kan kalau ngobrol sama kamu mengatasnamakan dirinya sebagai Aa," tanya saya saat Hanin sudah kembali mematikan laptop.

"Sama aku sih iya, tapi sama kamu, kan baru sekarang. Ngakak banget aku lihat muka A Hamzah," katanya sesekali diiringi tawa.

"Itu, kan memang sama kamu, bukan sama saya."

Dia menggeleng tegas. "Kalimat pamitnya untuk kamu dan juga aku, biasanya suka dipisah, sekarang disatuin. Curiga ada sesuatu."

Saya hanya bisa geleng-geleng. "Masalah sepele saja kamu besar-besarkan, Nin. Mungkin A Hamzah ingin mempersingkat kosakata, nggak usah diperpanjang."

Hanin malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Lain kali kalau mau video call jangan ajak-ajak saya yah, Nin. Saya kurang nyaman, nggak mau menjadikan hal tersebut juga sebagai sebuah kebiasaan."

"Apa salahnya sih video call? Dosa banget kayaknya? Kita, kan video call-nya juga bertiga, Zanitha!"

"Saya hanya tidak biasa, Hanin. Jangan diulang lagi yah."

Dia mendengkus kasar. "Seharusnya kamu terima kasih sama aku, kalau bukan aku yang inisiatif pasti nggak akan pernah tuh kesampaian video call bareng A Hamzah. Kecanggihan teknologi itu harus dimanfaatkan."

Saya tersenyum tipis seraya merangkul bahunya. "Iya, makasih yah, Hanin. Tapi lain kali nggak usah repot-repot."

"Kadang aku tuh nggak ngerti sama jalan pikiran kamu dan juga A Hamzah. Segitunya banget kalian dalam menjaga, padahal sudah saling berjauhan. Chatting, telepon, atau video call agar bisa tetap menjalin komunikasi. Jarak jauh bukannya proaktif, malah saling acuh tak acuh. Heran!"

"Enggak baik, Nin kalau kita terlalu sering berkomunikasi. Jatuhnya akan jadi dosa kalau nggak ada udzur syar'i yang jelas."

"Makanya hubungan kalian itu harus segera dipertegas supaya jelas. Agar ada kemajuan!"

Saya hanya tersenyum samar. Tidak ada yang perlu diperpanjang, apalagi saya yakin perdebatan ini tidak akan selesai jika kami saling teguh pada pendirian masing-masing.

"Mas Dipta itu siapa, Tha? Mimik muka A Hamzah langsung berubah pas kamu bahas soal dia."

"Itu editor sekaligus pemilik ND Publisher."

Hanin manggut-manggut. "Yang waktu itu duduk berdampingan sama kamu pas grand launching yah?"

Saya mengangguk setuju.

"Wajar sih kalau A Hamzah cemburu, Mas Dipta itu spek lelaki idaman. Kamu nggak ada hubungan apa-apa, kan sama dia?"

Saya terkekeh pelan. "Saya memiliki kaca yang cukup besar di rumah. Mana mungkin perempuan seperti saya bersanding dengan sosok pria seperti Mas Dipta. Kamu ini ada-ada saja, ngaco!"

"Kita itu punya kun fayakun, nggak ada yang nggak mungkin. Tapi, aku harap sih, kamu nggak punya perasaan apa-apa sama Mas Dipta. Aku masih berharap kamu jadi ipar aku, Tha," katanya.

Saya terbatuk-batuk dibuatnya. Kalimat terakhir Hanin teramat menohok dan membuat saya panas dingin.

"HTS berakhir di pelaminan memang menjadi sebuah kelangkaan, tapi bisa diusahakan saat dua belah pihak saling memperjuangkan. Bukan begitu?"

"Jodoh itu takdir yang harus diusahakan. Kita nggak bisa hanya menunggu dan berpangku tangan. Selagi ada ikhtiar dan doa yang senantiasa dilangitkan, semua masih bisa dinegosiasikan."

"Kalau gitu, kamu berdoa sama Allah, minta dibersamakan dengan A Hamzah. Begitu pun dengan A Hamzah, minta dibersamakan dengan kamu. Supaya doa kalian menyatu, nggak berperang."

Saya geleng-geleng. "Saya hanya berdoa minta yang terbaik, nggak mau sebut nama. Takutnya malah berakhir kecewa. Allah lebih tahu, mana yang baik untuk hamba-Nya."

"A Hamzah nggak buruk-buruk banget kok kalau dijadikan suami, walaupun dia nyebelin dan usil parah. Tapi, kasih sayangnya tulus, nggak pernah main-main dia kalau sudah jatuh cinta."

Saya tertawa mendengarnya. Kalimat 'nggak buruk-buruk banget' yang terlontar dari mulut Hanin benar-benar berhasil mengocok perut. Dia itu memang ada-ada saja tingkah lakunya.

"Daripada bahas A Hamzah terus, mending kita ke dapur bantu Mama masak," ujar saya.

Hanin menggeleng kuat. "Enggak mau, kamu saja sana. Mual aku, Tha kalau nyium aroma masakan."

"Kamu hamil?"

Dia malah tertawa puas. "Belum, Tha. Aku memang nggak suka ke dapur, nggak biasa."

"Terus selama ini yang masak siapa, Hanin? Kamu masih antipati sama dapur. Astagfirullahaladzim." Saya geleng-geleng tak percaya.

"Kalau Mas Suami pulang cepat, dia yang masak, kalau pulang larut malam ya sekalian beli di luar. Order makanan online sih lebih seringnya," akunya begitu santai.

"Suami kamu nggak pernah protes apa, Nin?"

"Enggak, lha. Kan waktu sebelum nikah aku sudah kasih tahu buruk-buruknya aku kayak gimana, dia mau terima ya silakan, nggak juga ya sudah."

"Bucin banget kayaknya suami kamu itu."

Hanin tertawa bangga. "Tentu, siapa sih yang nggak kepincut sama Hanindita Wiratama."

Saya menjitak keningnya lantas berlalu ke dapur untuk membantu Mama. Meninggalkan Hanin yang tengah berteriak-teriak tak jelas.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 26 September 2023

Lanjut atau cukup?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro