Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 19

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kita memang mampu berencana, tapi tetap Allah-lah yang Maha Berkuasa atas segalanya."

⏮️⏸️⏭️

HIDUP memang tidak selalu memihak kita, terkadang berjalan di luar kendali kita yang hanya sebatas hamba, berusaha untuk selalu menerima apa pun yang diberi Sang Maha Kuasa.

Meskipun terasa sulit dan menyesakkan dada, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Menentang ataupun menantang bukanlah perilaku yang dibenarkan. Namun, kita harus senantiasa berprasangka baik, bahwa Allah selalu memiliki rencana dan takdir terbaik menurut versi-Nya.

"Saya sengaja bangunkan rumah pohon di samping bangunan ini," katanya begitu tenang.

Seolah dia tidak merasa sedih akan perpisahan di antara kami. Ternyata hanya saya saja yang merasa berat hati dan tersakiti.

"Apa ini?" tanya saya saat dia menyerahkan sesuatu, bentuknya serupa dengan botol obat.

"Vitamin isinya 730 butir."

Saya membuka tutupnya. Cukup terperangah dengan isi di dalamnya yang benar-benar berisi ratusan kapsul berwarna merah.

"Untuk apa?"

"Di saat kamu merasa nggak baik-baik saja, kamu bisa buka satu kapsul. Selayaknya sebuah vitamin, saya harap kapsul itu juga bisa menyembuhkan berbagai rasa sakit."

"Boleh saya buka? Hanya satu," cetus saya.

Dia tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. "Boleh."

Saya pun mengambil satu kapsul dan membukanya dengan cukup tergesa-gesa. Mendapati secarik kertas kecil bertuliskan kalimat singkat, yang saya yakini hasil tulisan tangannya sendiri.

Dunia akan baik-baik saja, kala kita mampu berdamai dengan ketetapan-Nya.

"Langsung ditampar telak oleh kata-kata," dengkus saya.

Tanpa dosa dia malah tertawa puas.

"Mau semanis apa pun perpisahan, pasti akan menyakitkan. Enggak usah pakai cara-cara seperti ini untuk membuat saya tertipu dan mengabaikan kekecewaan."

"Kita tulis harapan kita masing-masing, lalu nanti kita buka saat saya pulang dari Jerman. Bagaimana?" tawarnya tak menanggapi sindiran saya.

"Enggak mau!"

"Kenapa?"

"Karena sebelum A Hamzah berangkat, saya yakin akan menggali kembali time kapsul itu dan membacanya seorang diri."

"Tingkat kesabaran kamu memang setipis tissue dibagi dua, Tha," cibirnya.

Saya berdecak pelan.

"Saya masih punya sesuatu untuk kamu, tunggu sebentar di sini," katanya lantas melesat menaiki rumah pohon.

Saya tak ingin ambil pusing, lebih memilih untuk duduk di ayunan yang sepertinya sengaja Hamzah buat di bawah rindangnya pohon besar.

"Ini apalagi A Hamzah?" seloroh saya sedikit menengadah saat dia sudah kembali dengan menenteng paper bag.

"Bukalah."

Saya pun menurut, dan alis saya terangkat satu kala mendapati banyak pita warna-warni di dalamnya. "Untuk apa? Saya rasa kuliah di Jerman nggak perlu ospek pakai pita segala."

"Jumlahnya masih sama, 730. Pita itu bisa kamu ikatkan di pohon saat kamu merasa merindukan saya." Alisnya dinaik-turunkan.

Saya belagak seolah akan memuntahkan sesuatu. "Kepedean banget kamu jadi orang!"

"Ya, kan siapa tahu kamu memang merindukan saya. Perempuan biasanya gengsi mengakui, jadi lebih baik disalurkan melalui pita ini."

"Seharusnya A Hamzah nggak usah melakukan ini semua," cetus saya saat dia mulai mengayunkan ayunan yang alasnya terbuat dari ban bekas.

"Kamu jaga dan rawat baik-baik tempat ini."

Saya mendongak sejenak lantas mengangguk singkat dan kembali menatap lurus ke depan. Menikmati terpaan angin segar dan ayunan yang bergerak tenang karena dia yang mengatur lajunya.

"Tulis harapan kamu dua atau tiga tahun ke depan. Saya pun akan melakukan hal yang sama, lalu kita masukan ke dalam botol kaca dan menguburkannya di dalam tanah. Nanti, sekembalinya saya ke tanah air, kita buka bersama-sama time kapsul tersebut," tutur Hamzah.

Pada akhirnya saya pun menurut dan turun dari ayunan.

Dia menyerahkan secarik kertas serta bolpoin, saya mengambilnya tanpa kata. Kami fokus pada kertas masing-masing, setelah selesai kami gulung dan ikat kertasnya dengan pita, tak lupa kami pun memasukkannya ke dalam botol kaca.

"Apa yang kamu tulis?" tanyanya.

"Kepo!"

Dia malah terkekeh pelan seraya menggali tanah dengan alat seadanya. Sebuah potongan kayu bekas dia gunakan untuk menggali tanah, setelah dirasa cukup dalam barulah botol kaca itu pun dimasukkan.

"Saya nggak punya apa-apa untuk dijadikan sebagai hadiah perpisahan, karena kamu ngasih kabarnya mendadak," kata saya saat kami sudah kembali berdiri di samping ayunan.

"Saya nggak mengharapkan apa pun dari kamu."

"Lusa flight jam berapa?"

"Siang, selepas zuhur kalau nggak salah."

Saya menghela napas singkat. "Maaf, sepertinya saya nggak bisa mengantar kamu ke bandara. Jadwalnya mepet dengan grand launching buku saya."

Dia tersenyum tipis. "Enggak papa, Tha. Kamu fokus saja sama acara nanti, jangan pikirkan kepergian saya. Ada Mama, Ayah, dan juga Hanin yang akan mengantar."

"Enggak bisa gitu jadwal keberangkatannya diundur?"

Lagi-lagi dia malah tertawa.

Hari ini, dia lebih banyak mengumbar tawa. Entah memang benar tengah merasa bahagia atau justru sebaliknya.

"Jangan lupa kalau novelnya sudah selesai cetak kirim ke saya," peringatnya.

"Buat apa? Kayak suka baca novel saja. Saya nggak mau buku yang saya tulis dengan susah payah malah nangkring di rak buku dan berakhir berdebu."

"Saya suka baca buku, Zanitha," sangkalnya.

"Iya, tapi komik dan jurnal bukan novel."

"Enggak mau tahu, setiap kamu launching buku baru harus kirim ke saya. Titik nggak pakai koma."

"Ish, maksa!"

Dia menyerahkan sebuah kunci pada saya. "Ini kunci Rumah Sang Pemimpi, satunya di saya, satunya lagi di kamu. Kapan pun kamu bebas ke sini."

"Saya harap akan ada banyak buku yang kamu ciptakan. Juga akan banyak bingkai foto baru yang kamu hasilkan. Jaga diri kamu baik-baik, karena saya nggak bisa 24 jam jagain kamu kayak biasanya. Tapi, kamu bisa hubungi saya kalau sekiranya ada yang ingin kamu ceritakan."

"Jangan hobi memendam perasaan, kalau marah, kesal, kecewa, dan merasa sedang nggak baik-baik saja keluarkan. Jangan jadikan jarak sebagai pemisah dan pemecah belah."

"A Hamzah juga jaga diri baik-baik di sana, salatnya jangan sampai tertinggal, harus selalu patuh aturan. Jangan lupa makan, jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa kabari saya," sahut saya kembali merasa sedih.

"Petuahnya sudah kayak ibu yang lagi ngingetin anaknya yang mau merantau. Kamu ini ada-ada saja, Tha."

"Itu namanya perhatian, A Hamzah," jawab saya refleks.

"Hah? Apa, Tha?"

Seketika saya pun gelagapan. "Enggak, bukan apa-apa."

"Sudah sore, Tha, kamu harus segera saya antar pulang. Mama pasti khawatir karena saya terlalu lama membawa anak gadisnya," ungkapnya.

Saya mengangguk setuju.

Dia lebih dulu berjalan di depan, saya menatap sendu pada punggungnya. Sebentar lagi raga itu tidak lagi bisa saya pandang, bahkan dalam waktu yang bisa dikatakan cukup panjang.

Saya hanya bisa berharap dan berdoa untuk kelancaran pendidikannya. Semoga selalu dimudahkan dan bisa segera pulang kala gelar sudah didapatkan.

Ternyata berat, melepas kepergian seseorang yang sudah terbiasa mewarnai hari-hari saya. Rasa kehilangan yang mendera, sudah sangat menyiksa, padahal dia belum benar-benar meninggalkan Indonesia.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 19 September 2023

Apakah perpisahan ini sementara atau justru selamanya?🤔

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Gimana masih mau lanjut nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro