ETP | 16
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kecakapan kita dalam bertutur kata, jangan sampai dipergunakan untuk mendebat orang tua."
⏭️⏸️⏮️
MENIKAHLAH agar ada yang menafkahi. Menikahlah agar ada yang menemani. Menikahlah agar tidak hidup sendiri. Menikahlah agar bisa ke sana-kemari sesuka hati.
Pernikahan seolah dianggap suatu solusi, padahal realitas yang terjadi tidak demikian. Ekspektasi akan indah dan rukunnya rumah tangga memang menjadi impian semua keluarga, tapi pada praktiknya tidaklah mudah.
Hancurnya pernikahan bukan karena kurangnya cinta, melainkan karena kurangnya ilmu yang dimiliki oleh setiap insan.
"Lagi sibuk, Tha?" seloroh Mama di balik pintu kamar, hanya kepalanya saja yang menyembul masuk.
"Kenapa, Ma?"
Beliau masuk dan menarik kursi meja rias, lantas duduk di sisi saya yang saat ini tengah menatap layar laptop yang menyala di atas meja belajar.
"Kamu marah yah sama Mama?"
Gerakan jari saya yang tengah mengetik pun terhenti sesaat. "Memangnya Mama ada salah sama Nitha?"
Mama malah berkawan geming.
Saya pun memilih untuk mematikan laptop terlebih dahulu, membuka kacamata lantas meletakkannya secara asal.
"Nitha nggak marah sama Mama, tapi Nitha nggak suka sama cara Mama yang selalu melibatkan A Hamzah. Dia punya kesibukan, Mama nggak bisa seenaknya minta dia untuk jemput Nitha atau apa pun itu. Nitha bisa jaga diri, Ma."
"Mama khawatir sama kamu, Tha."
"Iya, Nitha tahu, tapi nggak harus minta A Hamzah untuk jemput, kan? Dia itu paling nggak bisa menolak permintaan Mama. Jangan sampai kelemahan itu malah Mama manfaatkan. Nitha nggak enak, Ma," terang saya.
Beliau kembali terdiam sejenak, pandangannya menatap lekat ke arah saya.
"Akhir-akhir ini kamu lebih banyak waktu di luar dengan mas-mas yang bahkan nggak Mama kenal. Janjian di kafe lha, pulang mepet magrib terus, tadi juga pergi ke studio pulang ba'da magrib malah. Besok-besok apalagi, Tha?"
"Kamu itu anak satu-satunya Mama, perempuan lagi. Sebelum kamu kenal mas-mas itu kamu nggak pernah kayak gini. Pria itu membawa pengaruh buruk untuk kamu!"
Saya menggeleng tegas. "Nitha, kan sudah jelaskan berulang kali sama Mama. Mas Dipta itu editor sekaligus owner ND Publisher yang akan menerbitkan buku Nitha. Pertemuan intens kita punya tujuan yang jelas, karena alasan pekerjaan. Lagi pula kalau ketemu pun selalu di tempat umum dan ramai."
"Pria zaman sekarang itu banyak akal, kamu jangan tertipu sama modusnya. Kamu jangan terlalu polos, Tha."
"Mas Dipta itu tipikal orang paham agama dan mampu mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dia tahu cara menghormati perempuan, dia pandai menjaga pandangan, salatnya selalu tepat waktu dan tak pernah tertinggal."
"Kamu suka sama dia."
Itu bukanlah suatu pertanyaan, melainkan pernyataan sarkas yang begitu menyudutkan.
"Enggak ada hubungannya sama rasa suka, itu murni hanya hubungan kerja."
"Kenalkan dia sama sama Mama, kalau kamu memang menyukainya. Mama nggak mau kamu salah pilih!"
Saya menggeleng tegas. "Nitha punya cermin yang cukup besar untuk berkaca, tidak ada kelayakan dalam diri Nitha untuk bersanding dengannya. Harus berapa kali Nitha jelaskan sama Mama, kalau Mas Dipta bukan siapa-siapanya Nitha."
"Mama bisa tenang tanpa rasa gelisah saat Nitha pergi bersama A Hamzah, tapi pada saat Nitha pergi bersama Mas Dipta seolah nggak rida. Ada apa dengan Mama? Mereka sama, pria dewasa yang patut untuk Mama waspadai juga!"
"Beda, Tha."
"Apa yang beda? Mereka bukanlah mahram untuk Nitha. Bukan siapa-siapanya Nitha!"
"Mama sudah mengenal baik Nak Hamzah dan keluarganya, sedangkan mas-mas itu nggak. Mama percaya Nak Hamzah bisa menjaga kamu, bisa melindungi kamu, dia nggak akan mungkin merusak kepercayaan yang sudah Mama berikan. Apakah mas-mas yang kamu bela bisa melakukan apa yang sudah Nak Hamzah lakukan?"
"Kamu mengenal Dipta baru sebentar, apa yang kamu lihat sekarang, memang apa yang ingin dia tunjukkan. Kita nggak tahu aslinya seperti apa dan bagaimana. Mama nggak bermaksud untuk berburuk sangka, tapi sebagai orang tua mengkhawatirkan putri satu-satunya adalah hal yang biasa. Kamu harus tahu itu, Zanitha!"
Mama terlihat menarik napas panjang. Dadanya naik turun, seolah baru saja lari maraton.
"Mama nggak bermaksud untuk ikut campur soal perasaan kamu. Sama siapa pun kamu berjodoh akan Mama ridai, selagi lelaki itu menyayangi kamu, mampu membahagiakan kamu, dan menjadikan kamu pribadi yang lebih baik."
"Memilih suami itu diibaratkan seperti memilih antara surga dan neraka. Salah sedikit akan berimbas fatal untuk ke depannya. Mama nggak mau hal buruk itu terjadi sama kamu."
"Pikiran Mama terlalu jauh."
"Mindset itu harus dibangun, nggak ada yang instan. Pola pikir kamu sekarang akan memengaruhi kamu di masa mendatang. Hidup itu haruslah terarah dan punya tujuan. Bukan gimana nanti, tapi nanti gimana?"
"Nitha paham, tapi cara yang Mama lakukan nggak sesuai dengan keinginan Nitha. Mama nggak bisa memaksakan kehendak seperti itu."
"Terus apa yang kamu inginkan?"
"Untuk sekarang Nitha nggak mau memiliki hubungan lebih dari sekadar teman dengan siapa pun," jawab saya mantap.
"Mau sampai kapan kamu betah HTS-an? Hubungan nggak jelas itu harus dipertegas. Kalau mau lanjut ya halalkan, kalau mau selesai ya tinggalkan. Jemuran saja kalau mau hujan diangkat, terus kamu apa kabar?"
"Nitha sama A Hamzah hanya teman."
"Sudah sedekat itu hanya kamu anggap teman? Keluarga sudah sama-sama tahu, saling berkunjung ke rumah masing-masing kala ada waktu luang, saling melempar perhatian, memberi makanan, bahkan tak jarang pergi bersama. Itu yang kamu anggap teman?!"
Inilah yang membingungkan kala terlibat HTS berkepanjangan. Dianggap teman salah, dianggap pacar akan semakin salah. Jadinya serba salah.
HTS itu mengasikan bagi orang-orang yang tidak ingin terikat dan belum siap untuk berakad. Tapi, akan meresahkan kala kondisinya seperti saya sekarang.
Terlibat friend zone mungkin sudah biasa, kendalanya hanya sukar dalam mengungkap cinta. Lain cerita dengan HTS yang seolah-olah menjalin kasih, padahal tidak. Melempar perhatian dan bertukar kabar bukan suatu kewajiban, tapi akan merasa hampa kala tak dilakukan.
Tidak berhak untuk cemburu, karena statusnya yang tidak jelas. Jika ingin mengakhiri tinggal angkat kaki, tanpa perlu ada kata putus terlebih dahulu. Karena pada dasarnya memang tidak pernah ada kata jadian.
"Kalau sekiranya kamu nggak ada perasaan apa-apa sama Nak Hamzah katakan supaya semuanya gamblang. Enggak ngambang kayak sekarang."
"Semisal ada laki-laki yang datang melamar, kamu pun bisa dengan mudah memutuskan, tanpa harus bimbang memikirkan kelanjutan kisah kamu dengan Nak Hamzah, yang sebetulnya kisah itu nggak pernah kalian mulai," tukas Mama panjang lebar.
"Bukan Nitha yang berkewajiban untuk memperjelasnya, melainkan A Hamzah yang seharusnya mempertegas ini semua," sangkal saya tegas.
"Enggak ada salahnya pihak perempuan yang meminta kejelasan. Itu bukan suatu dosa yang diharamkan."
"Pembahasan Mama terlalu dalam, padahal mungkin A Hamzah biasa saja menyikapi hubungan di antara kami. Buktinya dia nggak memiliki itikad baik untuk meluruskan ini semua."
"Bukan hanya Mama yang salah paham dengan apa yang A Hamzah lakukan. Nitha pun sama, tapi sebagai perempuan Nitha nggak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Mama salah kalau menganggap Nitha baik-baik saja, karena Nitha pun sama, merasakan keresahan yang serupa dengan apa yang Mama rasa."
Entah perlu berapa lama lagi untuk saya menanti. Inginnya segera angkat kaki, tapi Semesta seakan tak meridai. Sekuat apa pun berlari, lajunya akan kembali terhenti pada dia, lagi, lagi, dan lagi.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 16 September 2023
Makin ruet aja nih kisahnya Zanitha 🤧😌 ... Adakah yang bernasib sama, atau justru lebih parah?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Masih mau lanjut atau nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro