Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 15

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sesuatu jika sudah dibiasakan, pasti jadi kebiasaan, dan akan merasa kehilangan kala tidak lagi dilakukan."

⏭️⏸️⏮️

BAGI sebagian orang menulis mungkin hal yang membosankan, tapi tidak berlaku bagi saya yang sudah amat kecanduan. Kosakata saya terkuras habis dalam tulisan, itulah mengapa saya lebih suka mendengar dibanding bercerita panjang lebar.

Tokoh yang saya ciptakan memang tidak nyata, karangan belaka, dan tak jarang dipandang sebelah mata. Walaupun demikian, saya selalu menganggap mereka ada, sebab pada dasarnya mereka itu abadi dalam bait-bait kata.

Semua penduduk bumi akan lenyap dan sirna, tapi tidak dengan sebuah karya. Sekalipun sosok pencetusnya meninggal dunia, tulisan itu akan tetap ada dan dikenang dari masa ke masa.

Saya ingin menjadi manusia yang bisa menebar banyak kebermanfaatan, tidak hanya sekadar menulis tanpa makna dan tujuan. Jika sekiranya ada yang baik, mungkin bisa ditiru, kalaupun ada yang buruk, sekadar cukup tahu.

"Zani pulang sendiri?" tanyanya saat kami baru saja keluar dari studio radio, selepas melakukan siaran.

Saya mengangguk kecil.

"Sebentar lagi magrib, biar saya antar pulang."

"Tidak usah, Mas saya bawa motor. Bisa pulang sendiri."

"Maksud saya bukan diantar pakai mobil, melainkan saya kawal sampai depan rumah. Tidak baik perempuan pulang sendirian, apalagi hari sudah mulai petang," terangnya.

Saya meringis kecil. "Itu justru akan merepotkan Mas Dipta. Tidak usah, serius saya bisa pulang sendiri."

"Saya juga serius ingin mengantar Zani."

Akhirnya saya pun mengangguk kecil.

"Sepuluh menit lagi magrib, kita salat dulu di masjid seberang studio, bagaimana?"

"Boleh, Mas."

Di zaman seperti sekarang, menemukan ikhwan yang mendahulukan salat di atas urusan dunia adalah hal langka. Bahkan, sebelum azan berkumandang dia sudah lebih dulu datang.

"Saya itu suka malu kalau untuk menemui Allah saja harus dipanggil dulu, padahal pertemuan itu singkat dan tidak memakan banyak waktu."

"Mas Dipta terbiasa jamaah di masjid?"

Dia tersenyum tipis. "Sebisa mungkin saya usahakan, kalaupun tidak saya selalu bergegas untuk menunaikan salat di awal waktu. Takut mati dalam keadaan belum menuntaskan kewajiban."

"Masyaallah, semoga Mas Dipta senantiasa istiqamah di jalan Allah."

"Aamiin, tapi ibadah saya belumlah sempurna."

"Maksudnya?"

"Belum ada makmum yang bisa menyempurnakan ibadah saya."

Sontak saya pun terbatuk-batuk.

"Mas Dipta ini kalau berguyon suka berlebihan. Memangnya tidak ada akhwat yang bersedia untuk Mas peristri?" cetus saya setelah mampu menguasai diri.

"Yang ngantri banyak, tapi yang pas di hati belum kunjung terlihat," katanya diakhiri kekehan ringan.

"Untuk memilih pasangan hidup memang harus selektif, Mas. Tidak bisa asal pilih."

Dia mengangguk setuju. "Yap betul sekali. Sebagai editor, untuk memilih naskah saja saya selektif apalagi ini. Urusannya dunia dan akhirat, tidak bisa sembarangan."

"Jangan sampai salah kaprah. Meminang naskah penuh pertimbangan, tapi meminang perempuan malah asal-asalan. Pilih-pilih itu harus!"

"Mas Dipta orang kedua yang satu pemikiran dengan saya. Memilih pendamping itu haruslah dipikirkan secara matang-matang," sahut saya.

"Biar saya tebak, orang pertamanya pasti Hamzah."

Saya mengangguk sebagai jawaban.

"Awalnya saya mengira kamu dan Hamzah ada hubungan, karena mustahil ada sepasang insan yang murni berteman tanpa melibatkan perasaan," katanya.

Langkah kami tertahan kala akan menyeberang, karena lalu lalang kendaraan yang cukup padat di jam-jam seperti sekarang.

"Saya mengenal A Hamzah sudah cukup lama, sampai akhirnya kami menjalin hubungan pertemanan seperti sekarang."

"Terlibat friend zone sepertinya."

Kami menyeberang terlebih dahulu.

"Tidak."

"Syukurlah."

Kontan saya pun menoleh cepat ke arahnya. "Hah? Maksudnya?"

"Saya wudu dulu," katanya lantas melesat pergi.

Masjid ini tidak terlalu besar, tidak pula dibatasi tirai sebagai pembatas antara akhwat dan ikhwan. Ruangan yang terbatas ini terlihat lengang karena hanya dihuni oleh saya, Mas Dipta, dan juga marbot masjidnya.

Seolah orang-orang lebih memilih berkutat dengan dunianya masing-masing. Abai akan seruan azan yang berkumandang merdu menyapa rungu, sampai iqamah dilantunkan pun tidak ada jamaah yang datang. Sungguh memiriskan.

Saya mematung sejenak kala Mas Dipta berdiri paling depan. Suara takbir yang begitu fasih dan menenangkan menguar, sampai akhirnya surah Al-fatihah dilantunkan. Dengan segera saya pun memulai salat, berusaha khusuk dan tidak terbayang-bayang akan dunia.

Saya dibuat terhanyut sepanjang salat, benar-benar kagum dengan sosok Mas Dipta. Jika biasanya laki-laki enggan menjadi imam, dan malah dorong-dorongan. Dia justru, berinisiatif untuk memimpin jalannya ibadah.

Masyaallah, Tabarakallah.

"Neng, nggak salim sama suaminya?"

Mata saya hampir meloncat dari tempatnya, bahkan tangan saya yang akan melepas mukena pun tertahan.

"Enggak usah malu-malu depan Bapak mah," imbuh beliau dengan dibarengi senyum jahil.

"Bapak ini salah paham. Kami bukan suami istri," terang saya meluruskan.

"Oalah, masih calon pasti yah."

Saya menggeleng kuat.

"Didoakan saja, Pak."

"Hah? Gimana maksudnya?"

Mas Dipta tak menjawab, dia malah berpamitan lantas bergegas keluar. Meninggalkan saya yang linglung dan terbengong-bengong.

"Bapak doakan semoga segera dihalalkan, tidak baik lama-lama berpacaran. Dosa!"

"Bapak salah paham, tidak seperti itu."

Beliau malah menampilkan senyum misterius yang tidak saya ketahui maksudnya.

Tak ingin membuat Mas Dipta menunggu terlalu lama, saya pun mempercepat kegiatan melipat mukena, lantas memacu langkah untuk menemuinya.

Saya mengedarkan pandangan kala tak mendapati Mas Dipta. Sepatunya pun sudah hilang entah ke mana. Mungkin dia bosan karena menunggu saya.

Langkah saya tertahan kala melihat kedatangan Mas Dipta dan juga seseorang yang beberapa hari ini tidak saya temui, walau hanya sekadar batang hidungnya.

"Lho? Kok bisa ada A Hamzah?"

"Mama resah gelisah, anak gadisnya belum kunjung pulang. Saya diminta untuk menjemput kamu, saya hubungi ponsel kamu nggak aktif. Untungnya Dipta angkat telepon saya, jadi saya bisa tahu keberadaan kalian."

Saya meringis pelan. "Ponsel saya memang sengaja dimatikan, takut mengganggu pada saat siaran. Tapi malah lupa belum diaktifkan lagi."

"Lain kali jangan begitu lagi," peringatnya.

"Berhubung sudah ada Hamzah, saya pulang duluan. Jangan lupa, minggu depan kita ada acara grand launching sekaligus bedah buku."

"Baik, Mas, terima kasih."

Dia tersenyum tipis lantas berlalu pergi.

"Kenapa kamu nggak ngasih tahu saya kalau ada siaran radio bareng Dipta?"

"Harus memangnya?"

Terdengar helaan napas singkat.

"Kenapa?"

"Enggak papa. Pulang sekarang, Mama khawatir sama kamu, Tha. Perempuan nggak baik keluar malam sendirian."

"Lebih nggak baik lagi kalau saya pulang dengan laki-laki yang bukan mahram. A Hamzah nggak perlu repot-repot menuruti titah Mama. Saya bisa pulang sendiri."

"Saya tidak merasa direpotkan."

Saya menghela napas singkat.

"Kamu nggak suka atas tindakan saya? Saya sudah membuat kamu nggak nyaman? Saya ganggu kamu dan Dipta? Kamu marah sama saya?"

"Bukan begitu A Hamzah, mau bagaimanapun kita ini bukan mahram. Bukan siapa-siapa pula, nggak ada kewajiban untuk kamu menjemput ataupun memantau segala kegiatan saya. Tolong jangan buat saya salah paham."

"Kamu kenapa sih, Tha? Bukankah ini hal yang biasa."

"Iya, dari biasa jadi terbiasa."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 15 September 2023

Jadi mau sama siapa, Tha. Hamzah atau Dipta? 🙈🤔

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro