Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ETP | 13

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Semakin memantaskan diri, semakin saya merasa tidak layak untuk dimiliki."

⏮️⏸️⏭️

MARAKNYA kasus perselingkuhan, tingginya angka perceraian, membuat saya ribuan kali berpikir untuk menuju ke jenjang pernikahan. Karena nyatanya menikah bukanlah sesuatu yang mudah, ujiannya susah dan dari berbagai arah.

Di awal-awal mungkin terasa indah membahagiakan, tapi itu bukanlah suatu jaminan. Bahkan banyak pula pernikahan yang katanya dibangun atas dasar cinta tapi bubar di pengadilan agama.

Pasangan yang terlihat serasi dan selalu menampilkan keromantisan pun kerapkali karam, tak bisa diselamatkan dari badai ujian. Janji suci di hadapan Allah seperti dinodai, seolah tidak ada takut-takutnya sama sekali.

Pernikahan bukanlah tujuan saya, bukan menjadi cita-cita yang harus diwujudkan sesegera mungkin. Sebab, saya tidaklah memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi bahtera tersebut.

"Asik banget ngelamunnya," tegur Mama berhasil menarik saya untuk kembali pada dunia nyata.

"Ada apa, Ma?"

"Bantuin Mama check barang-barang yang baru masuk gudang, itu barangnya lagi diturunin dari mobil," titah beliau.

Saya mengangguk dan bergegas untuk mengerjakannya.

"Banyak juga ternyata, Ma."

Beliau melirik sekilas ke arah saya. "Iya, stock di gudang sudah pada habis, Tha."

Saya pun fokus mencatat dan menghitung apa saja barang yang masuk. Karena terkadang, suka ada selisih angka, baik kurang ataupun lebih. Memang sudah sewajarnya melakukan pengecekkan ulang.

Cukup lama saya berkutat dengan kegiatan ini, bahkan kaki saya pegal karena terlalu lama berdiri, tangan saya pun merasakan hal yang serupa karena menulis terlalu banyak.

Saat dirasa semua sudah terdata, saya kembali menghampiri Mama yang ternyata tengah melayani pembeli di meja kasir. Saya pun memilih duduk sejenak dan bersandar di tembok.

"Beres, Tha?" tanya Mama saat pembeli sudah tidak ada.

Saya mengangguk singkat.

"Di meja ada kiriman makanan buat kamu," katanya seraya menunjuk sebuah paper bag yang berada tepat di depan mata saya.

Saya pun mengambilnya. "Dari siapa, Ma?"

"Nak Hamzah, tadi dititipkan ke Hanin saat dia belanja keperluan sehari-hari di sini," jawabnya.

Saya manggut-manggut. Membongkar isinya, dan tersenyum sumringah kala melihat ayam goreng kalasan serta kelapa muda di sana.

"Kurang apa lagi coba Nak Hamzah? Perhatian sudah jelas, tampan juga iya, punya pekerjaan, bagus agamanya, dari keturunan keluarga yang baik pula. Belum layakkah dijadikan seorang imam?" oceh Mama saat saya hendak memakan ayam goreng kalasan dan nasi putih yang sudah menggoda iman.

"Mama apaan sih, masa hanya gara-gara A Hamzah kirim makanan, jadi melebar ke mana-mana," protes saya.

Lagi pula hal yang biasa bagi Hamzah memberi pada sesama, lelaki itu memang senang berbagi. Tidak ada yang spesial.

HTS berujung happy ending itu suatu ketidakmungkinan. Jadi, lebih baik tidak usah banyak berangan.

Mama berdecih pelan.

Saya tak ingin ambil pusing, lebih baik menyantap makanan yang sudah terhidang. Rasa ayam goreng kalasan yang manis dan sedikit gurih membuat lidah dimanjakan, belum lagi ditambah dengan kremesannya yang juara. Dia memang paling tahu, selera makanan yang saya sukai. Segar dan manisnya kelapa muda semakin menambah kenikmatan di tegah cuaca hari ini.

"Nak Hamzah lagi sibuk yah, Tha?" tanya Mama saat saya sudah selesai makan.

"Kenapa Mama tiba-tiba nanya kayak gitu?"

"Mama belum ketemu lagi sama Nak Hamzah, sejak seminggu lalu dia nganterin kamu," katanya seperti merasa kehilangan.

"Sibuk mungkin, Ma. Lagi musim hajatan juga, kan. Banyak job, Mama ini sudah kayak anak muda yang lagi kasmaran tapi nggak diapelin sama pacarnya. Galau berat!"

"Sesibuk-sibuknya Nak Hamzah, biasanya dia selalu menyempatkan untuk ke sini atau main ke rumah. Akhir-akhir ini malah makanannya saja yang sampai, orangnya nggak tahu ke mana," terangnya seperti merajuk.

"Mama ini padahal nggak ketemunya juga baru seminggu bukan sewindu."

"Mama tuh galau karena belum ketemu calon mantu, takut Nak Hamzah kepincut perempuan lain tahu."

Saya tersedak ludah sendiri, kacau. Bisa-bisanya beliau mengatasnamakan Hamzah sebagai 'calon mantu'.

"Astagfirullahaladzim, sembarangan banget Mama meng-klaim A Hamzah sebagai calon mantu. Memangnya dia voucher ongkir yang bisa dengan mudah di-klaim apa?"

Mama mendelik. "Kalau bukan calon mantu terus apa? Mana ada cowok yang nggak punya rasa, tapi perhatian sampai segitunya sama kamu, Tha."

"Gini yah, Ma, kan Nitha sudah jelaskan dari awal kalau di antara Nitha sama A Hamzah nggak ada apa-apa. Praduga Mama terlalu jauh sampai punya pikiran seperti itu," sanggah saya.

"Wajar kalau Mama memiliki pikiran begitu. Cara Nak Hamzah memperlakukan kamu seolah dia memiliki hati, perhatiannya yang begitu luar biasa, jagain kamu extra tenaga, bahkan sama Mama pun baiknya bukan main. Ibu mana yang nggak salah paham lihat ada cowok yang men-treatment anak gadisnya dengan sedemikian rupa?" sahut Mama tak mau kalah.

"A Hamzah memang baik ke semua orang."

"Nyangkal terus kamu kalau dibilangin. Tahu rasa nanti kalau Nak Hamzah sebar undangan dan kamu jadi tamunya doang!" sembur Mama menyudutkan.

Saya terdiam, seperti ada bagian kosong di dalam sana yang menjerit sakit. Tak bisa dipungkiri, apa yang beliau katakan cukup menohok hati.

Faktanya, berharap pada seseorang yang dianggap sebagai someone spesial, tanpa adanya ikatan jauh lebih menyakitkan.

"Makanya segera diperjelas, baiknya bagaimana. Supaya planning ke depannya lebih terarah, bukan malah gini-gini saja. Mau sampai kapan terjebak HTS tak berujung?" tutur beliau begitu sarkas.

"Nitha belum kepikiran untuk menikah."

Mama menatap saya begitu lekat. "Tha, kamu jangan buat Mama kepikiran, kamu itu perempuan. Mama nggak mau kamu dicap sebagai perawan tua. Teman-teman kamu sudah menikah semua, sedangkan kamu?"

"Kenapa Mama yang panik?"

Beliau menghela napas singkat. "Mama nggak mau lihat kamu hidup sendirian sampai tua, setidaknya kalau menikah ada suami dan anak yang bisa menemani kamu, Tha."

"Nitha masih muda, Ma."

"Sebentar lagi kamu 23 tahun, Tha. Umur panik untuk anak gadis."

Beginilah jika hidup di kampung, desakan untuk menikah kian menjadi saat sudah menginjak angka dua puluhan. Seolah umur segitu adalah jompo yang tidak lagi diminati.

"Lebih baik nggak nikah dibanding nikah dengan orang yang salah," kata saya sekenanya.

Mata beliau kembali membulat. "Pemikiran dari mana itu? Kamu jangan ikut-ikutan orang yang menganut paham anti pernikahan."

Saya menggeleng pelan. "Zaman Mama dan Nitha sudah berbeda, nikah bukan lagi suatu hal yang harus disegerakan. Masanya sudah nggak sama, Ma."

"Mama nggak suka kamu punya pemikiran seperti itu!"

Saya menghela napas singkat.

"Anak-anak zaman sekarang memandang pernikahan terlalu rumit, wajar banyak yang gagal. Coba lihat para orang tua dulu, menikah dijodohkan tanpa rasa cinta sekalipun tetap awet. Tingginya angka perceraian bukan salah pernikahannya, tapi salah orang yang menjalaninya."

"Untuk perempuan menikah muda itu hal yang biasa, karena kalau sudah lewat masanya akan sulit untuk menikah. Kamu tahu sendiri perempuan akan mengalami menopause, semakin tua menikah maka kecil kemungkinan untuk bisa memiliki keturunan."

"Mama nggak mau kamu hidup sendirian, siapa yang akan menemani kamu, merawat kamu di hari tua, mendoakan kamu saat kelak meninggal dunia. Jangan memiliki pemikiran seperti itu, Tha," tukas beliau panjang lebar.

⏭️⏸️⏮️

Padalarang, 13 September 2023

Sulit memang kalau sudah saling berseberangan dengan orang tua. 😌

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro