ETP | 11
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terkadang apa yang kita inginkan dan cita-citakan tidak sejalan dengan takdir yang telah Allah gariskan."
⏭️⏸️⏮️
TIDAK ada doa yang tertolak, sejatinya semua akan terjawab, hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Hakikat dari doa itu meminta bukan memaksa, mendesak untuk disegerakan bukanlah tugas manusia.
"Masih ada yang mau diperbaiki lagi terkait perjanjian kerja sama kita?"
"Tidak ada, Mas."
"Baik, perlu waktu berapa lama untuk Zani menuntaskan naskahnya?" tanya Mas Dipta langsung pada intinya.
"Saya tidak bisa menjanjikan pastinya, tapi akan saya usahakan secepat mungkin. Untuk terbit kapan memangnya? Apakah ada antrean kosong. Saya tidak ingin menyerobot naskah yang sudah lebih dulu Mas Dipta pinang," terang saya menjelaskan keresahan.
Saya tahu betul bagaimana rasanya menunggu lama, tapi malah diserobot penulis lain yang naskahnya sedang trending. Percayalah dianaktirikan oleh penerbit membuat saya krisis kepercayaan diri.
"Bulan depan masih kosong, kalau naskah Zani selesai bisa langsung masuk waiting list. Semenjak dua tahun terakhir ND Publisher hanya menerbitkan satu naskah perbulannya, jadi dalam jangka waktu itu dimaksimalkan untuk promosi."
Saya manggut-manggut. "Saya usahakan, Mas."
"Kalau penulis sudah memegang sinopsis dan outline, alurnya akan lebih terarah dan ter-planning. Risiko adanya plot hole bisa diminimalisir dan juga memudahkan dalam proses mengetik. Ibaratnya tidak akan tersesat karena memiliki pedoman kuat," ujar Mas Dipta.
"Betul sekali, Mas, itulah alasan saya mengapa selalu membuat sinopsis ataupun outline sebelum menggarap sebuah naskah. Tapi, kalau lagi agak malas, biasanya pakai premis untuk antisipasi terjebak writers block."
Mas Dipta terkekeh pelan. "Writers block memang sudah seperti sahabat karib seorang penulis. Mau penulis terkenal sekali pun kalau sedang dilanda WB, ya frustrasi juga."
"Mas Dipta ini sangat mendalami profesi, tahu betul penyakit penulis."
"Sebelum saya menjadi editor, saya pernah mencoba untuk menulis juga tapi terhalang banyak kendala. Selalu terjebak writers block, memang rezeki saya bukan di sana. Tapi saya bersyukur karena pekerjaan saya masih bersinggungan dengan para penulis hebat," katanya begitu rendah hati.
"Terkadang apa yang kita inginkan dan cita-citakan tidak sejalan dengan takdir yang telah Allah gariskan," sahut saya dengan sedikit sunggingan.
Mas Dipta mengangguk singkat. "Tapi saya percaya takdir Allah selalu baik, meskipun perlu waktu dalam proses penerimaannya."
Beginilah enaknya berbincang dengan orang yang sama-sama paham akan apa yang dijadikan sebagai pembahasan. Untuk menemukan orang seperti itu tidaklah gampang.
"Dari sinopsis yang saya baca, tokoh 'aku' tidak dibersamakan dengan tokoh utama, kenapa?"
"Sesederhana malam dan siang yang tidak bisa disatukan, karena takdir tidak memperkenankan," jawab saya sedikit tersenyum getir.
"Saya jatuh hati pada karakter 'aku' yang kamu gambarkan. Ide cerita yang dikemas dalam naskah ini pun sangat completed, kisah tentang cinta, keluarga, dan persahabatan yang begitu berkesan. Satu hal yang saya kagumi, di sini tidak ada tokoh antagonis yang sadis. Tapi Zani mampu membawa pembaca larut dalam cerita. Semua tokoh punya problemnya masing-masing. Saling berjuang untuk mencapai tujuan tapi tersakiti oleh keadaan."
"Sebetulnya saya memang kurang suka jika ada karakter antagonis yang begitu dominan, hingga membuat karakter utama tertindas tak berdaya. Saya lebih suka karakter yang kuat dan bisa memberi impact positif pada orang-orang sekitar. Dalam sebuah cerita, antagonis memang diperlukan tapi tidak harus selalu dibumbui dengan kekerasan ataupun hal-hal tidak masuk akal lainnya."
Mas Dipta manggut-manggut. "Tidak perlu ada adegan bunuh-bunuhan ataupun baku hantam untuk menghadirkan aura tegang di antara antagonis dan protagonis."
"Betul sekali, Mas."
"Apa naskah ini diangkat dari kisah nyata?"
Saya tersedak ludah sendiri. Mencoba untuk menetralkan mimik wajah agar terlihat biasa-biasa saja.
"Kenapa Mas Dipta bertanya seperti itu?"
Mas Dipta menggeleng kecil. "Saya baru baca tiga bab tapi feeling dalam cerita ini sangat kuat dan membekas. Suatu karya jika ditulis dengan hati akan sampai juga ke hati. Itulah yang saya rasakan saat membaca naskah ini."
Saya sedikit tersenyum. "Dari kisah seseorang yang sosoknya dirahasiakan."
"Pantas saja kamu tidak memberikan nama untuk si tokoh 'aku'. Curiga curhat pengalaman pribadi ini," kelakarnya.
"Mas Dipta bisa saja bercandanya."
"Tumben bodyguard-nya tidak ada? Biasanya di mana ada Zani pasti ada Hamzah," cetusnya.
"Tidak selalu, Mas."
Dia mengangguk singkat.
Saya melirik arloji sejenak, waktu sudah mulai sore. "Masih ada yang perlu dibahas lagi, Mas?"
"Sudah cukup."
Saya mengangguk singkat. "Kalau begitu saya pamit, sudah janji pada Mama untuk pulang sebelum ashar."
"Kalau ada sesuatu yang penting dan ingin dibicarakan bisa langsung hubungi saya," katanya ikut bangkit berdiri.
Saya menangkupkan tangan di depan dada, lantas pamit dan mengucapkan salam perpisahan.
Saya terperanjat saat mendapati seseorang yang tengah duduk santai di atas motor saya, dan saya semakin kaget bukan main kala melihat sosoknya.
"A Hamzah ngapain di sini?"
"Jemput kamu, lha." Dia menyingkir dari motor dan berjalan menghampiri saya.
"Buat apa? Saya bisa pulang sendiri."
"Mama khawatir anak perawannya digondol mas-mas," sahutnya.
"Apaan sih, A Hamzah nggak jelas banget!"
Terdengar helaan napas singkat. "Lain kali kalau mau ketemu Dipta bilang sama saya. Biar saya temani supaya kamu nggak sendiri."
"Saya nggak mau merepotkan orang lain."
"Saya khawatir kalau kamu pergi sendirian."
"Ish, ish, sejak kapan seorang Hamzah Wiratama begitu mengkhawatirkan saya? Perasaan nggak pernah."
Hamzah lebih memilih untuk menaiki motornya. "Bukan nggak pernah, mungkin kamunya saja yang nggak merasa."
Saya pun menaiki motor. "Masa iya?"
Hamzah hanya berdehem lalu memakai helm.
Motor saya lebih dulu melaju, diikuti oleh Hamzah di belakang sana. Untuk apa pula menjemput saya?
Mama juga terlalu berlebihan, sampai harus memberitahu tempat ketemuan saya dengan Mas Dipta pada dia.
Suara klakson motor membuat saya sedikit ke pinggir dan melambatkan laju kendaraan.
"Beli bakmie goreng dulu di depan, Tha," katanya sedikit berteriak.
Saya hanya mengangguk dan membiarkan motor dia melaju lebih dulu.
"Tunggu sebentar," pintanya saat sudah sampai di tempat tujuan.
Lagi-lagi saya hanya mengangguk.
"Lho kok sebentar?" tanya saya heran karena dia sudah kembali lagi.
Dia tertawa kecil. "Sebelum jemput kamu saya sudah pesan, tinggal ambil saja."
Saya manggut-manggut paham. Penjual bakmie goreng ini memang sudah menjadi langganannya.
Kami memarkirkan motor masing-masing di pelataran rumah. Mama sudah menyambut di ambang pintu, kami pun segera memasuki ruang tamu.
"Mama kenapa harus nyuruh A Hamzah jemput Nitha sih? Enggak enak tahu," omel saya kala Hamzah pamit untuk sejenak ke kamar mandi.
"Mama khawatir sama kamu, Tha. Enggak biasanya kamu pergi sendirian, apalagi buat ketemu cowok," sahutnya.
"Nitha ada kerja sama bareng Mas Dipta."
Mama mengangguk singkat sebagai respons.
Kami tidak lagi terlibat perbincangan saat Hamzah kembali datang.
"Mama berasa lagi simulasi," cetus Mama di tengah kegiatan kami yang sedang makan.
"Simulasi apa, Ma?" tanya saya sedikit heran.
Mama terkekeh pelan. "Simulasi lagi makan bareng sama anak dan mantu."
Seketika itu juga saya tersedak dan terbatuk-batuk.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 11 September 203
Mau lanjut atau cukup? 😌
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro