Two Flowers
Siang itu kuhabiskan dengan berjalan-jalan di sekitar kebun. Di sinilah tempat aku dan [Name] paling sering bertemu. Anak itu juga bertugas merawat bunga-bunga di kebun ini. Dan rasanya, tempat ini jadi tambah rimbun saja dibanding tahun lalu.
Aku menemukan [Name], sedang berlutut di depan pot bibit tulip. Langsung kudekati dia.
[Name] mengangkat kepalanya. "Woah, Alfred, kau mengejutkanku," katanya.
"Yo, Bu Tukang Kebun." Aku ikut berlutut di sebelahnya. "Pesanan besar lagi, ya?" tanyaku.
[Name] melambai asal pada bibit-bibit tulip dan tumpukan polibag. "Seratus biji tulip. Gila, aku nyaris tidak punya waktu santai akhir pekan ini," jelasnya.
Ada alasan mengapa penginapan ini diberi nama Sleepy Flowers, flowers. Kau bisa menemukan beraneka jenis bunga atau tanaman lain di sini, di kebun, di lobi, bahkan di jendela kamarmu. Barangkali konsep mereka memang tenggelam dalam bunga atau semacamnya. Mereka juga menerima pesanan bunga dalam jumlah besar.
Kata [Name], pesanan besar selalu datang waktu musim semi. Yang berarti, sekarang.
"Mau kubantu?" tawarku.
[Name] tergelak. "Hei, kami tidak minta bantuan pada tamu. Cukup diam di sana dan jangan ganggu pekerjaanku, oke?" Dia menunjuk langsung ke mataku.
"Oke."
Sambil mengawasi [Name] yang sibuk dengan tulip-tulipnya, aku melihat sekitar. Rasanya ada banyak bunga baru di sini.
Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada gerombolan bunga daisy di sudut. Aku ingat bunga-bunga itu sudah ada di sana tahun lalu, cuma, mereka menambah warna baru.
Aku berdiri dan melangkah ke gerombolan bunga daisy yang didominasi warna putih itu. Tapi mataku tertuju pada beberapa tangkai bunga daisy biru di sebelahnya.
"Ada apa? Kau suka itu?" Tiba-tiba [Name] sudah berdiri di belakangku. Sepertinya aku sudah menatap bunga-bunga ini lebih lama dari yang kuduga.
"Hanya teringat teman lama," jawabku. "Dulu aku pernah bilang akan bawakan seikat bunga daisy biru buat dia, waktu itu bunga ini sulit sekali dicari. Dan, yah, waktu berlalu begitu cepat."
"Kalau begitu sekarang kau punya kesempatan untuk bawakan bunga ini untuk dia," kata [Name].
Aku menggeleng. "Haha ... makasih, [Name]. Tapi sekarang, aku cuma bisa menghias batu nisannya dengan daisy biru, itu pun, kalau aku sempat berkunjung."
[Name] nampak kaget mendengar penuturanku. Dia lalu menunduk. "Oh ... maaf ...." katanya pelan.
Yah, waktu itu aku masih sangat muda. Aku masih ingat waktu Davie menunjukkan buku bergambar itu, juga waktu aku bilang padanya akan membawakan bunga itu untuknya. Waktu berlalu sangat berbeda bagiku dan manusia biasa.
"Mm ... kalau kau mau beli, kuberi diskon, deh." [Name] kembali berkata.
"Betulan? Kalau gitu aku mau, deh," kataku. Mengingat Davie membuatku agak sedih, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengenangnya, 'kan?
"Oke, nanti kuambilkan waktu kau mau pulang." [Name] sepakat.
Aku kembali berkeliling area kebun. Waktu aku sampai di dekat pagar pembatas, [Name] juga sudah ada di sana.
"Oh, sudah selesai?" tanyaku.
"Yah, lebih cepat dari dugaanku." Dilihat dari air mukanya, sepertinya [Name] tengah memikirkan sesuatu. Benar saja, karena dia langsung melanjutkan. "Tahu tidak, sebenarnya aku kurang suka pada pekerjaan berkebun ini. Yah, aku suka bunga, tapi aku benci kalau mereka cepat layu."
"Maksudmu?"
[Name] melambai ke area kebun. "Di sini juga, kalau tidak dirawat dengan baik, pasti ada saja dua atau tiga tanaman yang mati. Juga bunga-bunga yang dibeli pelanggan, yang dicabut dari akar mereka, pasti bakal layu beberapa hari kemudian," pungkasnya.
"Jadi maksudmu, kau mau bunga yang tidak akan layu?" tanyaku.
"Aku hanya tidak suka melihat bunga yang sudah layu," tutur [Name]. "Tapi, ya, seandainya aku bisa menemukan bunga yang hidup selama ratusan bahkan ribuan tahun ...."
"Kalau menurutku, keindahan bunga itu ada pada sifatnya yang tidak abadi, lho," kataku. "Karena kita tahu sesuatu itu tidak bisa dilihat selamanya, itu jadi terlihat lebih indah, 'kan?"
[Name] mengangkat alisnya. "Hee ... pandangan seperti itu boleh juga."
Aku memandang bunga matahari di dekat pagar. "Manusia juga begitu, 'kan? Karena tahu hidup tidak akan berlangsung selamanya, jadi hidup itu harus dijalani dengan sungguh-sungguh."
"Kau sedang menyamakan manusia dengan bunga?" potong [Name].
Aku nyengir. "Hehe ... perumpamaanku bagus, 'kan? Baik bunga atau manusia tidak ada yang abadi, mereka semua fana. Tapi itu yang buat mereka jadi lebih bermakna."
[Name] mendengus. "Cara bicaramu seolah kau ini bukan manusia saja."
Enggak salah, sih.
[Name] berjalan melewatiku. "Berkebun membuatku lapar, ayo cari makan di cafe," ajaknya.
"Mau, tapi traktir, ya," godaku.
Pembicaraan di kebun itu berakhir dengan pukulan [Name] yang mendarat di lenganku.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro