Three Flowers
Tanpa sadar, Sleepy Flowers sudah jadi salah satu tempat berlibur terbaikku. Aku biasa datang setiap satu atau dua tahun sekali.
Sepanjang tahun-tahun kunjunganku, bohong kalau kubilang aku tidak merasa bersalah pada [Name]. Dia sudah semakin besar. Waktu kedatangan pertamaku, aku ingat tinggi anak itu hanya mencapai dadaku, sekarang pucuk kepalanya sudah hampir menyentuh hidungku.
Waktu berlalu sangat berbeda bagi kami dan bagi manusia. Sama seperti Davie, aku tidak menyalahkan kalau dia sudah melupakanku ketika dia sudah dewasa, jika aku berpaling sebentar saja, waktu sudah lama berlalu.
Aku dan [Name] masih jadi teman dekat sampai sekarang karena kunjungan rutinku, karena aku suka tempat ini. Jika aku mengabaikan Sleepy Flowers sebentar saja, mungkin [Name] juga sudah menjadi perempuan dewasa, dan dia akan melupakanku.
Tak apa, pikirku. Itulah yang harus terjadi. Yang aku takutkan justru kalau dia tidak mau melupakanku.
[Name] sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Mungkin aku harus mulai mengurangi waktu kunjunganku untuk tahun-tahun mendatang.
Sleeepy Flowers baru saja membuka cafe rooftop, tentu saja penuh dengan hiasan tanaman dan berbagai macam bunga. Aku sedang duduk-duduk di meja dekat pagar pembatas, menikmati hamburger dan kentang goreng porsi jumbo dengan cola, waktu kulihat sosok [Name].
"Sudah kuduga, kau pasti ada di sini," kata [Name] ketika dia sudah berdiri di dekat mejaku.
Aku menelan kentang sebelum menjawab. "Yo, mau duduk juga? Anginnya sejuk, lho," tawarku.
[Name] kelihatannya sedang senang. "Tidak sekarang. Besok siang, tolong temui aku di pintu masuk kebun, ya. Ada yang ingin kusampaikan."
Dia tidak repot-repot menunggu jawaban. [Name] langsung berbalik dan berlari menuju tangga setelah menyelesaikan pengumumannya.
***
Sesuai permintaan [Name], aku datang ke kebun siang ini. Kulihat, anak itu sudah menunggu.
"Lama nunggu?" kataku begitu tiba.
[Name] menggeleng. "Tidak juga."
Dia terlihat canggung, tidak seperti biasanya.
"Alfred, kau tinggal di New York, 'kan?" [Name] memulai. Nada bicaranya terkesan hati-hati.
"Yes," jawabku. Sebenarnya New York hanya salah satu tempat tinggalku. Kalau sedang sibuk sekali, aku akan ke Washington, kadang-kadang aku ke Alaska.
[Name] berdeham. "Aku sudah memikirkan ini sejak dulu. Tapi sudah kuputuskan kalau aku akan mengambil Ilmu Pertanian, dan pergi kuliah di New York."
"Wow, itu keren," selaku.
"Jadi." [Name] meninggikan suaranya. "Barangkali kita bakal lebih sering ketemu nanti. Dan, dan ... kita sudah berteman cukup lama, 'kan?"
Anak itu berhenti. Kelihatannya dia tengah memilah kata-kata macam apa yang harus dia utarakan. Setelah menghembuskan napas dalam, [Name] melanjutkan.
"Jadi Alfred, kau mau jadi pacarku?"
Wah, ini.
Aku tidak kaget. Ini kata-kata yang sudah sering diucapkan padaku sejak dulu. Dan, tentu saja aku tidak bisa menerimanya, termasuk pada [Name].
[Name] memalingkan muka, sekali-sekali dia mencuri pandang ke arahku. Jika melihat ekspresinya, dia pasti sudah siap akan segala kemungkinan terburuk.
"Pertama, selamat atas keputusanmu ingin kuliah di New York," kataku. Meski kutolak, tapi aku tidak boleh sampai menyakitinya. "Terus, soal jawabanku, [Name] mau menunggu dua hari lagi?"
[Name] mengerjap bingung. "Dua hari? Tapi mengapa?"
"Pokoknya, akan kuberikan jawabanku dua hari lagi." Lalu kutambah pelan-pelan. "Mungkin ... kau juga sudah menduga jawabanku, ya?"
Ekspresi [Name] jadi agak suram, itu membuatku sedikit merasa bersalah. Tapi akan kuselesaikan ini semua dalam dua hari. Nanti juga [Name] pasti paham kenapa aku tidak bisa menerimanya.
Anak itu setuju untuk menunggu. Setelah kami berpisah, aku langsung menuju mobilku di lahan parkir. Hadiah perpisahan dan jawaban untuk [Name] akan siap dua hari lagi.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro