9 - Sunday Morning Rain Still Falling and I'm Broken
Aku mengetuk-ngetuk jendela di hadapanku dengan jari-jariku. Embun yang menutupi pemandangan diluar sana begitu tebal membuat tanganku bergerak mengusapnya untuk menghilangkan embun yang seakan sebagai pelengkap hujan pagi ini.
Memang sejak semalam hujan tidak berhenti barang sebentar pun, mungkin hanya berubah menjadi rintikkan lalu deras lagi dan begitu terus hingga pagi ini.
Benar-benar membosankan sendirian di rumah. Tidak ada Bunda, Ayah dan Bima.
Ternyata menjadi anak semata wayang tidaklah menyenangkan. Disaat seperti ini siapa yang akan menemanimu?
Tumben sekali pagi-pagi aku sudah selesai mandi, padahal jarum jam masih menunjuk ke angka sembilan.
Aku lagi-lagi memerhatikan Bima dari sini. Gordyn nya terbuka, dan aku bisa melihat Bima yang sibuk memakai sepatu converse buluk miliknya. Warnanya saja sudah berubah menjadi abu-abu.
Sepertinya Bima akan pergi ke suatu tempat, tapi kemana? Ah aku enggan untuk menanyakannya, apalagi setelah kejadian semalam.
Kemungkinan terbesar hanya satu, Bima latihan band bersama ketiga temannya. Angga, Chris dan Dimas.
Lantas aku bergegas berganti pakaian dan menyusul Bima. Aku bisa membuat alasan mengajak Angga menyelesaikan tugas kelompokku dengannya, yah meski sebenarnya memang pasti Angga lah yang akan mengerjakannya. Mana mungkin aku memanfaatkan Bima yang bahkan tidak hafal tabel trigonometri meski hanya sampai 90 derajat.
Bersamaan dengan aku yang sedang sibuk memasukkan gadget kedalam tas jinjingku, ponselku bergetar. Aku mengeceknya, dan nama Rangga berada di layar benda kotak panjang itu.
Aku membukanya.
Rangga : Mau kemana Del? Sibuk banget
Dellania : Gak keman-mana
Rangga : bohong. Gue liat lo lagi beres beres
Dellania : PENGUNTIT LO TAU DARIMANA GUE MAU PERGI?
Rangga : cuma firasat ko :)
Dellania : tapi tadi lo bilang lo liat gue
Rangga : cuma perkiraan ternyata bener, jadi lo mau kemana Del?
Dellania : tugas kelompok
Rangga : tugas kelompok yang mana?
Dellania : tugas observasi dari Ms.Ester
Rangga : oh lo sekelompok sama Angga ya
Dellania : iya
Rangga : Tadi Angga titip pesen katanya lo dateng ke tempat latihannya aja, ngerjain tugasnya disana :)
Dellania : ok...
Aneh. Benar-benar aneh bahwa Angga menitip pesan kepada entah siapa itu Rangga. Ia mengenali Angga? Dan mengapa Angga menitipkan pesan kepadanya? Bahkan aku belum membuat janji dengan Angga.
Otakku berpikir keras dan kemungkinan bahwa si pengirim pesan itu adalah salah satu diantara Bima dan teman-temannya. Atau dia adalah kenalan Bima, Angga, Dimas dan Chris.
Tidak mungkin Chris karena aku tahu persis bahwa dia masih belum bisa melupakan mantan terakhirnya yang pindah ke New York untuk melanjutkan sekolah.
Lebih aneh lagi kalau Angga yang bahkan seantero sekolah pun tahu kalau Angga hanya akan memilih Echa si pendiam yang menghanyutkan, si pemilik peringkat tertinggi satu sekolah.
Apalagi Bima, mana mungkin ia melakukan hal semacam ini? Terlalu aneh karena Bima tidak biasanya berkata-kata manis bahkan gombal. Bima diam, cuek dan menyebalkan.
Dimas?
Aku menggeleng tidak percaya ketika nama Dimas muncul di benakku. Masa iya Dimas melakukan hal itu? Mengingat Dimas memang tidak pernah tertarik dengan perempuan, pasti bukan Dimas.
Lalu siapa?
*
Hujan rintik membasahi payung biru langit milikku. Aku berjalan dari halte yang terletak di depan gerbang perumahan tempat Chris berada.
Tidak jauh dari sini, hanya perlu melewati sepuluh rumah dan setelahnya akan ada rumah besar dengan pagar hitam yang menjulang tinggi.
Sampai disana aku memencet bel dan langsung dibukakan oleh satpam penjaga rumah. Lantas aku masuk ke dalam dan turun ke lantai bawah.
Ruangan bawah tanah.
Aku bisa melihat Chris yang sedang memainkan drum, Angga dan Echa tengah mengobrol di sofa yang terletak di ruangan ber-AC ini, lalu Dimas yang sedang memainkan games di ponselnya dan Bima... yang sedang menyetem gitarnya.
Aku bejalan mendeka. Suara langkah sepatuku membuat merema mengalihkan pandangannya.
Mereka semua tersenyum dan aku membalasnya. Aku mengambil tempat di sebelah Echa.
"Del, mau ketemu Bima?" tanya Angga padaku.
Aku mengerutkan keningku heran. "Loh? Tadi ada yang bilang ke gue katanya gue disuruh kesini sama lo? Buat tugas ka-"
Suara pukulan drum Chris begitu nyaring di telingaku dan sukses memotong ucapanku. Yang melakukannya hanya tersenyum lebar ketika Angga menengok ke arahnya. Mereka semua aneh hari ini.
"Oh itu, cuma mau bilang tugasnya udah selesai," katanya.
"Oh oke makasih Ngga," balasku.
Aku melirik ke arah Bima dan menghampirinya. Aku menarik salah satu kursi disana dan duduk tepat di sebelah Bima yang masih sibuk dengan gitarnya. "Bims." Akhirnya aku membuka suara. Bima hanya menengok sekilas lalu kembali lagi fokus pada gitarnya.
"Bima ih." Aku memanggilnya lagi. "Bims gue minta maaf, semalem maksud gue ga gitu, masa lo gitu aja marah sih?" lanjutku.
Bima terdiam beberapa saat lalu menaruh gitarnya. "Mendingan lo pulang sebelum hujan deres Del," katanya.
"Lo nyuruh gue pulang gitu aja? Lo gak nanya gitu kenapa gue kesini?" tanyaku menuntut.
"Del, gue lagi cape banget, please lo boleh pulang sekarang, gue gak bawa mobil dan kemungkinan besar lo akan kehujanan kalau sama gue, ngerti? Gausah kaya anak kecil deh Del." Bima berjalan keluar ruangan dan aku masih terpaku melihat kepergian Bima.
"Lo pulang sama gue aja Del." Dimas menghampiriku dan aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.
*
Aku menaruh tas cokelat pekat milikku di atas nakas. Melepaskan kacamataku dan berbaring di atas ranjang membentuk bintang besar.
Aku masih memikirkan perkataan Dimas, juga sikap Bima dan Rangga si stranger yang mengirimiku pesan setiap harinya lalu membuatku terjerat dalam permainannya.
Selama di perjalanan Dimas terus meracau mengenai Bima. Aku bingung, jelas saja Bima tidak pernah bercerita apapun kepadaku.
"Del, kemaren Bima ke rumah gue," kata Dimas seraya menyalakan mesin mobilnya.
Aku mengernyit heran. "Terus kenapa?" tanyaku. Toh biasanya juga Bima sering bermain ke rumah teman-temannya dan itu bukan hal penting. Untuk apa aku tahu?
"Lo gamau tau apa kenapa dia ke rumah gue?" tanya Dimas lagi membuatku semakim bingung.
"Entah, gue jadi penasaran karena lo tanya gitu," jawabku seadanya.
Namun Dimas tidak menjawab, ia malah menyalakan radio dan menyetelnya dengan volume sangat keras. Mobil Dimas melaju keluar komplek perumahan dan mulai berjalan pelan menjauhi tempat itu.
Kami terdiam selama kurang lebih lima belas menit perjalanan, sampai mobil Dimas berhenti tepat di gerbang rumahku. "Makasih Dim," kataku seraya membuka pintu mobil.
"Del, Lo mau tau sesuatu ga?" Dimas bertanya padaku ketika aku hendak menutup pintu mobil. Aku mengerutkan keningku, heran. Lantas aku menahan tanganku untuk menutupnya.
Belum sempat aku menjawab, Dimas sudah bicara lagi. "Gak jadi deh, bagi id line lo dong, si Bima gak mau ngasih masa pelit amat dah pacar aja bukan."
Dan sekarang aku hanya terdiam memegangi ponselku yang sedari tadi berbunyi tanda pesan masuk. Tidak berniat menjawab atau aku tidak siap untuk menjawab, entahlah.
Rangga : Del
Rangga : Pertanyaan hari ini... jengjeng...
Rangga : Del, ko di read doang?
Rangga : Yaudah deh, balesnya nanti aja gapapa jangan lupa ya pertanyaan hari ini...
Rangga : Mau kado apa buat ulang tahun besok?
Begitulah bunyi pesan dari Rangga makhkuk antah berantah yang memenuhi ruang di otakku. Ohya aku bahkan baru mengingat kalau besok hari ulang tahun ku, bagaimana ia bisa mengetahui semua hal kecil tentangku? Bukannya senang aku justru semakin ngeri. Yaiyalah tidakkan kamu merasa seperti diawasi kalau berada di posisiku?
Dellania : please lo sebenernya siapa sih?!
Dan hanya itu yang kuketik sebagai balasan pesannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro