📘 7. Awal Mula Kejadian
Terkadang, anak-anak muda seusiaku, er ... kalau aku kelahiran 2001 berarti sekarang umurku 19 tahun. Oh bukan, 2001-nya tidak dihitung satu tahun, jadinya masih 18. Ya, anggaplah segitu.
Kalau sudah nongki di warkop. Pulangnya paling wajar adalah tengah malam. Kurang dari itu pasti ada tugas deadline mepet dan kalau lebih dari itu pasti besoknya libur.
Tetapi besok adalah hari Kamis, di mana bagi anak kelas G hanya ada 1 mata kuliah di siang hari. Sayangnya tidak dengan anak kelas F yang kedapatan 3 matkul besok.
Mau tidak mau kami pun membubarkan acara sebelum jam sebelas malam. Sebab mood untuk berkumpul hilang ketika sebagian kelompok harus pulang.
"Aku yang nyetir, Fi," kupinta kunci motorku padanya.
Anak asli kelahiran Jember itu menguap saat memberikannya. "Hoaaah! Kesel kalah tok. (Hoaaah! Capek kalah terus)" keluhnya.
"Ha, gaada support-ku sih."
"Ya, kamu. Pake acara ketinggalan hape segala," sahut Dika yang juga mengeluarkan motornya dari parkiran.
"Mboh wes, losestreak nggarai ngelu. (Gak tahu dah. Kalah berturut bikin pusing)"
Motorku melaju. Jalanan masih cukup ramai jam segini. Karena saat berangkat Alfi yang menyetir, jadinya aku bisa mengingat jalan arah kembali ke indekos tanpa harus membuka Moogle Maps. Oh iya, hape ku saja tertinggal di kos.
Lampu motor menyinari pagar indekosku yang terkunci. Eh ... dikunci? Bagaimana aku memasukkan motor?
Alfi melihatku menganga di depan pagar kos. "Celuk ae bapak e. Permisi!!! Pak!!! (Panggil aja bapaknya)" teriaknya tengah malam di kompleks perumahan. Apa ya tidak menggangu orang tidur.
Tetapi masa iya aku mau tidur di luar juga. Maklum, pertama kalinya aku pulang selarut ini. Tidak tahu kalau ada jam malam. Kira-kira aku dimarahi bapak kos gak ya? Aduh, jangan deh, malu.
Lantas kegundahanku sirna ketika mendengar pintu rumah si bapak berbunyi. Kukira siapa yang keluar, ternyata istri beliau. "Geser aja, Dek. Pagernya gak dikunci kok."
"Lah?" Ucap kami bersamaan. Lantas Alfi tertawa. "Koen iki piye to, Fas. (Kamu ini bagaimana sih, Fas)"
Owalah, walau ada rantai dan gemboknya, ternyata gembok itu tidak mengunci. Duh duh, malah jadi lebih memalukan dan tidak enak telah merepotkan si ibu. "Iya, Bu. Makasih."
"Yawes, Fas. Aku balek sek. Samlekom."
"Salam yang betul."
"Akwoakoaka, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warahmatullah."
Kenapa pakai memperagakan tertawa dalam chat segala.
Motor sudah kubawa masuk parkiran indekos. Pagar kukembalikan ke posisi semula dan segera ku menuju kamar. Tak lupa mengambil wudhu di kran depan sebab aku belum menunaikan kewajiban malam.
Perlahan kubuka pintu kamarku yang tidak terkunci. Lampu kamar masih menyala. Rean tertidur pulas. Bungkus nasi bekas ia makan diremas hingga kecil. Oh, iya di mana hapeku. Seingatku ada di kasur.
"Rean, Rean." Kutepuk-tepuk pundak bocah itu. Hapeku pasti tertindih.
Ia langsung terbangun. Terkejut juga tepatnya. "Ah, maaf. Kak, aku tidur di kasur kakak." Kelopak matanya membuka separuh.
Mana hapeku dah ... Oh, ini dia. Tepat di bawah badannya tadi. "Gak apa, tidur lagi dah. Tapi bergeser sedikit ya."
"Heem, baik. Kak, terima kasih."
"Haha, iya." Wajah mengantuknya lucu.
Kunyalakan layar handphone. Hmm, selain grup chat yang ramai, oh, ada chat dari Andre–kakak tingkat beda fakultas yang kamarnya pas disebelah kamarku. Huh, dua panggilan tidak diangkat juga darinya.
Andre: Fas, adekmu kok ditinggal sendiri?
Andre: Aku tadi maunya nemanin adekmu. Ternyata dia yang minta sendirian nungguin kamu. Aku cuman khawatir aja.
Eh, alah. Tadi kamar Kak Andre sudah menutup dengan lampu tidak menyala yang berarti ia sudah berangkat. Ia memang sering keluar malam. Entah kegiatan apa, aku tak bertanya karena bukan seharusnya urusanku.
Kulihat bungkus plastik bening dengan logo tidak asing terselip di antara sampah bungkus nasi. Roti Kornero. Jelas sekali itu pemberian Kak Andre. Karena waktu awal aku pindah ke kos ini, ia juga memberiku hal serupa.
Rean pasti sangat lapar kalau satu bungkus roti itu ia habiskan tak bersisa. Sebab aku makan seperempatnya saja sudah kenyang. Roti kesukaan Kak Andre itu memang tebal.
Kewajiban malam usai kutunaikan. Aku merebah. Rasanya agak kurang nyaman karena aku tidak bisa menggerakkan badan semauku. Kasur kosku tidak berdipan, cukup beralas sehingga tidak langsung menyentuh lantai. Tapi ya masa Rean kusuruh tidur di karpet. Kasihan, mana masih muda. Tapi karena aku juga masih muda, makanya tidur di kasur. Hehe, ngeles.
Aku kepikiran hari esok. Pertama dulu, aku harus memberitahu ke bapak kos kalau aku pelihara kucing. Yah, pengennya sih begitu. Taunya yang datang anak manusia. Takutnya nanti dikira anak hasil hubungan tidak terang.
Terus biaya hidup Rean. Haduh, ini yang bikin aku ingin menangis. Entah kenapa aku jadi merasa bertanggung jawan atas anak ini. Huh, padahal tinggal usir saja sih bisa. Cuman ya ... aku merasa hal itu bukan sesuatu yang baik.
Rasanya seperti ketika Sang Pencipta menitahkan, ini kuberikan kepadamu tantangan hidup, dan aku seperti, baik, aku terima. Lalu di sinilah aku mulai memikirkan cara menyelesaikan tantangan tersebut.
Yasudahlah, kita lihat nanti saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro