Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

📘 5. On The Way

"Loh, Fas, iki sopo? (Ini siapa?)" Alfi mencuatkan kepalanya dari samping pintu. Aku sih tidak terkejut, tetapi entah kenapa Rean sontak syok begitu.

"Eh! Awas!!!" teriakku.

Dalam sepersekian detik, Rean yang terkejut dan masih belum genap memasang bajunya menggerakkan tangan ke atas ke arah Alfi. Di antara jemarinya berpendar sedikit cahaya ungu.

Tentu saja aku tahu ia akan menggunakan sihirnya itu. Refleks kutarik tubuh Rean dengan kuat dan memegangi tangannya.

"Hei, jangan sembarangan menggunakan sihir," bisikku dengan cepat padanya. "Kamu diam dulu, ok?" Ia pun hanya mengangguk kecil.

"Koe ki opoo to, Fas? (Kamu ini kenapa sih, Fas?)"

"Sek to! (Sebentar!)" Aku sampai latah menggunakan Jawa.

Ok, berpikir, kira-kira alasan apa untuk menyembunyikan kecanggungan ini? Kulepaskan tubuh Rean ketika ia terlihat rileks.

"Ada kecoa tadi di keranjang baju. Anak ini takut sama kecoa." Mungkin terdengar konyol, tapi aku berusaha menggunakan nada yang meyakinkan. Karena untuk berboho–err, maksudku ber-'alasan', intinya adalah jangan sampai terlihat ragu.

"Lah halah. Arek sakmene gedine wedhi karo coro. (Lah halah, anak sebesar ini takut sama kecoa). La terus awakmu sido melu ora? (La terus, kamu jadi ikut tidak?)"

Phew, untungnya aku berhasil meyakinkan Alfi. Ia tidam terlihat curiga.

"Jadi. Kamu tunggu di depan kos dah."

"Tak nteni wisan. Awakmu sue tak telpon, tapi yo ra diangkat. Yowes aku tak rene. (Sudah kutunggu. Kamu lama makanya kutelpon, tapi ya gak diangkat. Yaudah aku ke sini)"

"Yaa, aku masih mandi tadi."

"Hih, elek. Adus jam samene. Terus iki sopo to jane? Adekmu ta? (Hih, jelek. Mandi kok jam segini. Terus ini siapa sih sebenarnya? Adikmu kah?)"

Adik? Hm, rasanya kurang enak kalau dibilang begitu. Takutnya nanti ketika Alfi melihat KK-ku (kartu keluarga) bisa repot nanti.

"Ini, ee ... anaknya omku. Sepupu. Om minta dititipin di sini karena ... istrinya lagi opname."

"Walah, yowes aku tak nteni nang arep." Ia pun beranjak.

Phew. Pergi juga ia. Rasanya kalau aku punya baterai energi untuk bercakap-cakap, baterai itu sudah habis isinya karena Alfi seorang.

"Maafkan aku. Aku merasa sangat terkejut tadi," ucap Rean bernada pelan. Akhirnya baju milikku ia kenakan dengan benar. Aku tidak tahu kalau ukurannya masih pas dengannya. Mungkin badanku saja yang kecil walau lebih tinggi dari Rean.

"Masa iya kamu melihat orang aja terkejut?"

"Mmnn ...." Rean menunduk dan mengangguk dua kali. ia berikan aku ekspresi melas itu lagi.

Sekarang aku teringat kalau anak ini juga langsung agresif ketika melihatku pertama kali. Sepertinya ini yang dinamakan trauma, ya.

"Ya sudah, gak apa-apa. Nah, sekarang aku ada perlu ke luar. Kamu aku tinggal di sini tidak apa-apa, ya?" Aku bersiap mengenakan jaket, jeans panjang dan mengambil dompet.

"Mnn, yah. Tidak apa ...."

Oke, sekarang aku kepikiran harus mengunci pintu kamar apa gak ya. Tidak usahlah, nanti bagaimana Rean kalau mau ke kamar mandi.

"Kamu kalau mau buang air, ada kamar mandi di luar sebelah kiri dari kamar."

"Kak Fasha ...."

"Hm?" Aku terhenti di daun pintu. "Kenapa?"

"Aku ... boleh aku minta makan?"

"Kamu lapar banget?"

Ia mengangguk. Pantas saja badannya kadang gemetaran. Beruntungnya aku ingat nasi pecel bungkus yang kubeli tadi sore belum kumakan. Yah, niatnya habis mandi mau kumakan sih.

Kutunjuk bungkus plastik di atas kasur. "Itu ada nasi bungkus. Kamu boleh memakannya." Duh, aku jadi kasihan sama anak ini. Tapi aku juga kasihan sama dompetku nanti. "Sobek pelan-pelan bungkusnya. Nanti bisa berceceran nasinya."

Ia langsung membelakangiku dan meraih bungkus tersebut. "Terima kasih, Kak!"

"Yaudah, aku berangkat dulu." Pintu kututup dan segera mengambil motor di parkiran indekos lalu menghampiri Alfi.

"Fi, nyetir," pintaku bernada perintah.

"Enggeh mas. (Iya mas)Ia tersenyum sebagai sindiran dan menggunakan bahasa Jawa sopan 'enggeh' yang berfungsi sama seperti sengirannya. Jangan dikira aku tidak tahu, ya walau aku bukan orang Jawa.

"Loh, dulurmu ra dijak? Raopo dewe dek kos ta? (Lah, saudaramu gak diajak? gak apa-apa sendirian di kos tah?)" Ia menyempatkan diri bertanya ketika sambil menyetir.

"Iya, gak apa. Eh, Fi, gak apa ta gak pake helm?" Aku baru dua kali memakai motor selama seminggu di sini.

"Sans, bengi biasane jarang enek polisi. (Santai, malam biasanya jarang ada polisi)"

Seperti yang Alfi perkirakan. Perjalanan kami lancar. Sebenarnya aku bisa saja menyetir. Cuman yang hapal jalan adalah Alfi. Karena rumahnya di daerah sini dan tidak jauh dari indekosku. Ia tahu lokasi warung kopinya tanpa melihat Moogle Maps sekalipun.

Lah, sebentar, kucoba merogoh saku celana dan jaket. Oh ...

"Hapeku ketinggalan dikos, Fi."

"Lah, hahaha, salah e. (salahnya). Balek ta? (balik?)"

"Gak usah wes. Terlanjur." Karena motor sudah sampai di parkiran warkop. Yasudahlah, kuharap Rean tidak melakukan yang aneh-aneh di kos.

"Lah, sek sepi tibak e. Ndian arek-arek ki? (Lah, masih sepi ternyata. Pada ke mana anak-anak ini?)" Aku dan Alfi memasuki warkop. Namun meja-meja yang ada kebanyakan bukan orang-orang kami kenal wajahnya.

"Kamu sih terlalu keburu."

"Kan jarene bar isya. (Kan katanya habis Isya)"

Dahlah, jam karet.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro