Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2

"Ka.. kamu? How could you..."

Sepasang mata penuh kecewa itu sedang menatapnya. Sepasang mata yang tidak sanggup Leon pandang. Tatapan yang biasanya penuh cinta itu kini telah berubah.

"Ga mungkin! Dasar pembohong!"

"Kamu ko gitu sih, Babe. 2 bulan lalu kan kita melalui malam yang indah. Aku bahkan punya foto-foto kita berdua. Jangan karena keluarga aku ga selevel sama keluarga kamu, terus kamu malah jadi buang aku dong."

"Sayang, jawab aku. Apa benar kamu tidur sama dia 2 bulan lalu?", tanya wanita itu sambil melirik tajam pada Leon.

"Biar saya saja yang jawab. Mana mau dia mengaku. Benar kalau kita..."

"DIAM! SAYA TIDAK TANYA KAMU! DASAR JALANG! SAYA BERTANYA KEPADA TUNANGAN SAYA!"

Seisi ruangan sangat terkejut mendengar hinaan yang dilancarkan oleh wanita itu. Begitu juga dengan Leon. Tunangannya itu masih tampak menunggu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan tanpa menghiraukan sosok yang sukses menghancurkan perayaan mereka. Sayang, hanya ekspresi penuh rasa bersalah yang hanya dapat Leon berikan.

Ketika Leon berusaha meraih tangannya, dia justru menepisnya dan melangkah mundur. "Don't you dare to touch me!"

"Love, I'm sorry," kata Leon masih berusaha menghampiri tunangannya. Wanita itu terus berjalan mundur setiap kali Leon melangkah maju.

"Love, I'm sorry, ok? Waktu itu kita lagi bertengkar hebat. I went to the bar and had some drinks with my friends. Then this girl came to me. Trust me, Love. I refused her. Whatever she was trying to do, I refused them all. But.. but the more I drink... I..."

"You want to say that you don't know anything, right? You want to say that when you wake up, you saw this girl next to you. Do you think I will trust all your bullshit, Jerk?!" balas tunangannya dengan lelehan air mata yang terus keluar dari matanya. Sementara sosok yang telah sepenuhnya menang hanya berdiri dan memandang drama yang terjadi sambil tersenyum puas.

"Let's end this engagement. Kita putus. Aku gamau lagi ada hubungan apa-apa sama kamu."

***

"Tuan Leon... Tuan... Bangun Tuan..."

Sebuah panggilan akhirnya mengembalikan Leon dari alam bawah sadarnya. Menyadarkan Leon dari mimpi buruknya yang hampir setiap saat selalu menjadi teman tidurnya. Mimpi buruk yang berasal dari kenyataan paling menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya.

"Apa kita sudah sampai?"

"Ya, Tuan. Kita sudah sampai di AL Entertainment Jakarta."

Leon Demetrius Wiryadinata. CEO AL Entertainment yang perusahaannya telah mendominasi pasar Asia, Amerika, dan Eropa, akhirnya kembali ke kampung halamannya, Indonesia, setelah 10 tahun menetap di Amerika Serikat.

Kepulangan Leon ke Indonesia tentunya memiliki alasan. Ia ingin membesarkan pusat perusahaannya ini. Ketika meninggalkan Indonesia dulu, perusahaan Leon masih terhitung kecil. Bahkan, usahanya itu terancam bangkrut karena skandal yang sempat menimpa. Tak menyangka justru keberuntungan mendatanginya ketika memutuskan hijrah ke Amerika. Jika dulu kepergiannya tidak dianggap, sekarang kedatangannya justru sangat dinantikan.

"Jason, apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Leon pada sekretaris kepercayaannya setelah masuk ke ruang CEO dan duduk di kursi kebesarannya.

"Nanti jam 11 Anda ada meeting sekaligus makan siang dengan Bapak Sedyana Sadewo, direktur dari Indotv. Lalu, jam 2 Anda akan bertemu dengan Ibu Ephenina untuk membicarakan film terbaru hasil kerjasama kita dengan CJ Entertainement. Kemudian dilanjutkan dengan conference call dengan Bang Shi Won, CEO HYPE Entertainment pada jam 4. Terakhir, Anda diundang ke fashion show Demian di Pacific Place pada jam 6.30 malam. Setelahnya, sesuai permintaan Anda, saya sudah memesan kamar di hotel Balanama untuk pertemuan Anda dengan Nona Santana Rodrigo."

"Nice. Penutup hari yang baik," gumam Leon dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Leon langsung mengambil handphone miliknya dan memeriksa semua pesan yang masuk. Kebanyakan tentu saja dari kolega bisnis, teman-teman kuliah dan sekolahnya, serta laporan dari orang-orang kepercayaannya. Dari semuanya, ada satu chat yang sejak sebulan terakhir ini selalu menjadi perhatiannya. Dan entah sejak kapan, selalu menjadi prioritasnya.

Elenyi A.

You're going back today, right?

Safe flight, Bro!

Let me know if you arrive later.

At least I know you're still alive. Haha...

Leon tersenyum membaca pesan terakhir yang belum sempat ia balas. Dating App yang merupakan rekomendasi Reno, kolega sekaligus sahabat baiknya selama di US, ternyata berbuah manis. Leon yang awalnya sama sekali tidak berniat, jadi merasa terhibur dengan percakapan menyenangkan yang terjadi antara dirinya dengan Elenyi, gadis berzodiak Aries, yang katanya bekerja di bidang anak-anak ini.

Leo pun mengirimkan video pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang sempat direkamnya beberapa menit sebelum pesawat mendarat sambil mengetikkan pesan manis untuk sosok yang sudah dengan tulus mendoakan perjalanannya.

Me:

*Sending video...

Already in Jakarta, Len.

I Hope we have a good day!

Setelah memberikan balasan yang menyatakan jika dia sudah sampai dan berharap bahwa dirinya serta Elenyi menjalani hari ini dengan baik, barulah Leon membalas pesan-pesan lainnya. Sambil mengetik di handphone-nya, Leon bertanya "Bagaimana putriku?"

"Nona Annie sudah masuk sekolah selama sebulan ini. Dia termasuk siswi yang cepat belajar, meskipun sangat pendiam di kelas dan jarang mau bergabung bersama teman-temannya."

"Apa dia menikmati sekolahnya?"

"Sepertinya iya, Pak. Dia bahkan sering tidak mau pulang jika jam pelajaran selesai, namun karena ada Surti menunggu serta banyak les yang harus diikuti, maka mau tidak mau dia menurut."

Leon cukup senang mendengar laporan mengenai putri semata wayangnya itu. Meski tidak pernah bertemu, namun hal ini tidak mengurangi rasa sayangnya. Dari jauh, ia akan menerima laporan dari Daniel serta Surti, suster kepercayaannya yang sudah mengurus sang putri sejak bayi. Sesekali ia akan melakukan video call dengan Annie jika ia ingin melihat wajahnya.

Aneesha Queency Wiryadinata. Putrinya itu memang gadis kecil unik dan pendiam. Bahkan terlalu diam bagi Leon. Tidak seperti ibunya yang suka berceloteh ria dan mencari masalah. Putrinya itu memang lebih mirip Leon dibanding sang Ibu. Padahal Olivia ingin agar anaknya lebih mirip dirinya untuk mengisi rumah yang sepi.

"Baiklah. Now you can go back to your place," titah Leon yang hendak dituruti oleh sang sekretaris.

Baru saja Jason hendak melangkah, dering telepon segera menghentikannya. Melihat nama yang muncul di layar, Jason langsung memberitahu pimpinannya. "Tuan, nona Santana Rodrigo menelepon,"lapornya

"Angkat dan beritahu jika saya akan menemuinya nanti malam."

"Baik, Tuan," jawab Jason sambil mengangkat handphone-nya dan mengatakan tepat seperti yang diperintahkan Leon.

Jika semua orang berpikir bahwa Leon adalah seorang womanizer, ia tidak akan menyangkalnya. Namun permainan ini hanya didasarkan pada kesepakatan bersama saja, dengan wanita yang sekelas dengannya, tanpa perlu ada komitmen ataupun melibatkan perasaan. Tidak ada acara mengenal satu sama lain lebih dekat selain secara intim di atas ranjang. Lagipula perasaannya sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Mungkin telah diberikan kepada orang yang salah dan lupa dikembalikan. Hanya sex-lah satu-satunya cara untuk membuatnya waras di tengah beratnya tanggung jawab yang harus ia pikul, sekaligus menjadi pelariannya dari masa lalu yang masih terasa menyakitkan hingga sekarang.

***


"Jadi, masih mau pergi jauh-jauh?"

"Hiks... Ga.. Ncus."

"Masih mau ngumpet kalau dipanggil?

"Ga... Ncus."

"Masih mau buang-buang makanan?"

"Huaaa.... Ga Ncus... Huaaa...."

Annie kecil sedang meringis kesakitan saat lukanya sedang diobati. Hal ini terjadi karena gadis kecil itu berlari terlalu kencang saat dipanggil oleh Surti. Bukannya menurut, gadis itu malah berlari menjauh, membuat Surti dan pegawai lainnya kesulitan untuk menangkapnya.

Dengan sangat hati-hati Surti mengobati luka di lutut dan mulut Annie. Setiap pertanyaan Surti dijawabnya dengan gelengan keras, tanda bahwa ia benar-benar jera atas perbuatannya itu. Sesekali tangisannya akan mengencang akibat omelan-omelan yang diberikan Surti.

"Ncus, Annie sorry. Ncus jangan marah lagi ya sama Annie," kata Annie dengan mata memelas. Tangisnya masih terdengar meski hanya berupa sesenggukan saja.

"Sudah. Ga usah nangis lagi. Ncus sudah ga marah sama Annie. Sekarang Annie siap-siap ke sekolah ya," hibur Surti sambil menghapus air mata di wajah Annie. Annie pun mengangguk menuruti perintah Surti.

"Annie sayang kan sama Ncus? Kalau sayang harus nurut ya, Nak." Surti pun mengusap kepala Annie, berusaha memberikan pengertian dengan lembut.

Tak ada pilihan lain, Annie pun mengangguk setuju. "Iya, Ncus..."

Saat hendak memakaikan seragam Annie, Surti baru menyadari jika handphone-nya yang ada di atas meja sudah lama berdering. Ketika memeriksa handphone,ternyata sudah ada 3 miscall yang berasal dari nomor yang sama. Mengetahui siapa si penelepon Surti pun segera memanggil asistennya.

"Tina! Kesini sekarang! Bantu Annie memakai baju. Pakaikan saja baju rumah. Annie tidak sekolah hari ini karena badannya masih sakit. Saya harus menelepon Tuan Leon."

Tina yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari keduanya langsung bergegas menghampiri Annie dan memakaikan seragamnya. Surti, di sisi lain, langsung menuju ke balkon untuk menjawab tuannya yang kembali menelepon untuk keempat kalinya. Padahal baru saja ia akan menelepon kembali.

"Halo, Tuan."

"Surti, bagaimana Annie pagi ini?"

"Baik, tuan. Seperti biasa suka agak rewel kalau harus pergi ke sekolah. Tadi sempat kejar-kejaran dulu sama Non Annie. Tapi akhirnya nurut ko."

"Baiklah, kalau begitu. Nanti kalau ada yang terjadi, segera beritahu saya."

"Baik, Tuan."

Bersamaan dengan panggilan yang berakhir, Annie telah rapi dengan pakaian rumahnya. Gadis itu memakai kaos putih bergambar Little Pony dengan bawahan celana legging pink bertabur bintang-bintang glitter. Meskipun matanya masih sembab, paling tidak gadis kecil itu tidak lagi menangis. Meski ia masih terlihat sesenggukan.

"Ncus, kata Trina, hari ini Annie not go to school, ya?" tanya Annie bingung. Pasalnya ia tahu jika harusnya ia pergi ke sekolah hari ini.

"Iya, sayang. Kalo nanti Annie ke sekolah tapi ga bisa ikutin pelajaran, nanti Miss-nya marah loh."

"Ta... tapi, Ncus... Annie... Annie bisa ko ikut Miss. I'm not sick, Ncus..."

Annie masih berusaha membela dirinya. Ia menyukai sekolah, meskipun ia tidak banyak berbicara. Ia menyukai teman-temannya. Ia menyukai gurunya. Ia menyukai semua aktivitas yang dilakukan di sekolah. Tinggal di sekolah bersama guru kesayangan juga teman - teman sepertinya terdengar jauh lebih menyenangkan.

Menatap tajam Annie hingga membuat gadis itu menunduk takut, Surti berkata "Annie... "Ingat tadi Ncus bilang apa? Annie sayang Ncus ga?"

"Sayang."

"Kalau sayang berarti harus apa?"

"Nurut Ncus."

"Bagus kamu mengerti. Sekarang yuk kita makan pagi," jawab Surti dengan puas sambil mengelus sayang rambut Annie, kemudian menuntunnya keluar kamar.

Bersama, mereka menyusuri lorong panjang dan melewati semua pelayan yang memberi hormat. Sementara Surti melangkah dengan angkuh dan melirik siapa pun yang sedang berbisik-bisik di hadapannya, Annie justru hanya menundukkan kepalanya sambil berusaha mengikuti langkah surti yang terbilang cukup cepat bagi kakinya yang sakit. Tidak ada pembicaraan di antara mereka hingga Annie teringat moment terakhir sebelum mereka keluar kamar.

"Ncus, tadi Daddy call ya?"

"Iya, sayang. Tapi kan Annie belum bisa ngomong sama Daddy. Nanti Daddy malah marah lihat Annie luka-luka dan ga ke sekolah. Annie mau Daddy marah?"

Mendengar penjelasan Surti, Annie hanya dapat menundukkan kepala sambil menggeleng "Ga, Ncus. Annie don't want Daddy marah."

"Anak pintar," ucap Surti bangga sambil melanjutkan langkah mereka.

***


"Good morning everyone!" sapa Anna yang memimpin circle time para murid di pagi hari yang cerah.

"Good morning Miss Anna! Good morning Miss Monique! Good morning friends!"  balas para murid dengan antusias. Tidak hanya Anna saja yang disapa, namun mereka juga menyapa Monique, partner-nya, dan juga satu sama lain.

Begitulah kegiatan pagi di Hope For Generation Kindergarten. Para guru diharapkan dapat membangkitkan rasa antusias juga membuat murid-murid menikmati kegiatan sekolah sejak pagi hari. Circle time merupakan kegiatan pagi hari yang wajib dilakukan untuk mempererat hubungan guru dan murid, serta memberikan impresi menyenangkan mengenai kegiatan-kegiatan selanjutnya. Di sini, para murid dapat membagikan cerita mereka masing-masing, mendengarkan cerita guru, berhitung, bermain tebak-tebakan, maupun bernyanyi bersama. Seperti yang sedang dilakukan saat ini.

I love you, you love me

We're a happy family

With a great big hug, and a kiss from me to you

Won't you say you love me too?

Sayang kegiatan bernyanyi mereka harus diinterupsi dengan suara ketukan pintu. Tak lama, Monique yang sejak tadi mendampingi murid yang lain menuju ke pintu dan membukanya. Tampak Marsha, bagian admin sekolah, mengajak Monique untuk berbicara sebentar di luar. Tidak ingin mengganggu kegiatan circle time yang sedang berlangsung, Monique pun segera mengikuti admin sekolah dan menutup pintu hati-hati sementara Anna dan para murid melanjutkan kegiatan mereka.

"Tadi Miss Marsha bilang apa, Mon?" tanya Anna ketika mereka sedang mengawasi dan menjaga anak-anak yang sedang berlatih dance untuk acara sekolah.

"Just as you said, Na. Annie ga masuk lagi. Katanya masih sakit," jawab Monique yang terlihat kesal.

"You know, Na, I kinda suspicious with Annie and people around her. Lu bayangin coba, Na. Masa dari sebulan dia di sini, 50 persennya absen! And you know, Na. Alasannya itu loh yang buat gue geleng kepala. Absurd and so cliche. Sampai bisa ketahuan banget kalau mereka bohong. What do you think about it? " lanjutnya lagi.

Tidak kaget mendengar jawaban Monique. Anna memang sudah menduga hal ini setelah 4 hari Annie tidak masuk dengan alasan demam. Sudah sering Annie seperti ini. Sebentar-sebentar akan tidak masuk dengan alasan yang berbeda. Kali ini merupakan yang paling lama dan dengan alasan yang paling cliche. Demam.

"Same, here, Mon. Gue sudah coba bicara sama Mr. Steven dan minta dia untuk selidiki lebih lanjut dengan menghubungi orang tua Annie. Si Mr. Daniel ternyata cuma guardian-nya aja. Tapi katanya orang tuanya super sibuk dan sulit ditemui. Mr. Steven malah disuruh telepon Surti. Something seems very fishy here. And we must find out what it is," balas Anna yang memang sama kesalnya dengan sang partner.

"Ngomong-ngomong, jangan lupa pizza cheesy bite ya, Mon. I want the pepperoni one. Lumayan buat isi tenaga," balas Anna dengan seringaian menyebalkannya.

"Huaaa! Lu ga kasihan sama gue. Budget gue super menipis pasca wedding bulan lalu. Kasihanilah hamba Tuan Putri!"

Anna dan Monique memang sempat taruhan mengenai masuk atau tidaknya Annie hari ini. Jika Annie masuk, maka Monique boleh meminta makanan apa saja untuk kepada Anna. Sebaliknya, jika Annie tidak masuk, maka Annalah pemenangnya.

"Siapa suruh meritan aja sampai butuh biaya besar begitu. Lu mah ngabis-ngabisin duit namanya. Kalau gue mah kayanya cukup pesta taman di belakang rumah sudah cukup deh," sindir Anna melihat partnernya merengek.

"Lu aja belum pernah merit. Nanti liat aja, macam keluarga konglomerat kaya lu, pasti jauh lebih ribet lagi deh. Percaya sama gue, Na. Nanti kalau kejadian, jangan lupa beliin gue tiket honeymoon ke Itali ya sama suami," jawab Monique dengan mata memelasnya.

Menanggapi jawaban Monique, Anna hanya tertawa hambar. "Dasar! Taruhan ga pake otak ni orang..."

"Ya iyalah. Kapan lagi gue bisa berteman sama Princess Sastrawijaya?" balas Monique sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Mon, voice please... Banyak orang," tegus Anna sambil berbisik.

"Ooops... Sorry...."

Untunglah Monique hanya bercanda. Jika tidak, tentu saja dia sudah habis di tangan Anna. Sejujurnya Anna sendiri tidak suka jika keluarganya dibawa-bawa. Meskipun seorang extrovert, namun Anna sangat mementingkan privacy keluarganya. Untuk bekerja di sekolah ini pun, Anna harus membuat perjanjian dengan atasan sekaligus kepala sekolahnya, agar identitas keluarganya tidak diketahui oleh orang tua maupun para murid.

"By the way, Na. Gimana sama si MediaMan itu? Any progress?"

Kaget dan ingin bertanya bagaimana Monique bisa mengetahuinya, Anna teringat dengan Monique yang tanpa sengaja mengintip isi dirinya yangs sedang ber-chat ria di tengah rapat beberapa hari lalu. Alhasil, setelah rapat selesai, Anna langsung dibombardir berbagai jenis pertanyaan oleh partner kelasnya itu. Dimulai dari sejak kapan Anna menggunakan dating app hingga identitas MediaMan sendiri.

"Ya ga gimana-gimana. Just as I said before, Mon. We're just friends. We're just enjoying our friendship."

Monique yang tidak terima hanya bisa mendengus kesal. "Halah! Friendship friendship. Mudah-mudahan bisa jadi relationship ya sist. Bukan friends with benefit."

"Pikiran loe, ya Mon! Kurang jatah dari suami?!" balas Anna sambil menoyor kepala Monique.

Berbicara soal MediaMan, akhir-akhir ini Anna memang sangat menikmati bertukar pesan dengan pria misterius itu. Sosok yang katanya bekerja di industri media ini memang terkesan serius, namun sangat inspiratif di mata Anna. Sosok yang sempat mengingatkannya pada seseorang. Namun dalam versi yang lebih baik.

Meski tanpa mengetahui identitas masing-masing di dunia nyata, Anna merasa bisa menjadi diri sendiri di hadapan MediaMan. Sosok yang terkesan apa adanya, to the point, namun dapat menjaga perasaan ini telah membangkitkan kenyamanan dalam diri. Meski tentu saja untuk berharap lebih, Anna tidak berani.

They never met each other. And maybe, never will...

***


Saat ini Anna sedang berjalan terburu-buru menyusuri lorong hotel. Satu tangannya memegang paper bag berisi gaun bridesmaid, sepasang sepatu, serta accesories besar, sementara tangan yang lain menyeret koper kecil. Sementara itu, ada handphone yang terus menyala di dekat telinga kananya.

"Mi, what is the room number?" tanya Anna dengan handphone yang masih menempel ditelinganya.

"831, Na! Buruan! I'm sleepy!" sewot Mia dari seberang sana.

"Iya-iya. Sorry banget. Habis dekornya baru selesai banget jam 9.30 malam. Terus gue mesti beliin pecel lele pesanan bumil dulu sebelum jalan. I came here straight away from Jakarta! So please, Sister, be considerate," jawab Anna masih berusaha mengontrol emosinya.

Tak dapat dipungkiri jika Anna begitu kelelahan hari ini. Selesai mengajar, ia masih harus mengikuti rapat akhir minggu yang dilanjutkan dengan rapat tim acara serta dekor ruangan sebelum bazaar keesokan harinya. Harusnya dirinya tergabung dalam tim acara dan harus hadir besok. Namun, demi pernikahan Kylie sang sahabat, yang baru saja diberitahukan 3 minggu lalu akibat kehamilan Kylie yang 'tiba-tiba', mau tidak mau Anna pun harus izin untuk tidak hadir.

Bersyukur Anna memiliki rekan kerja serta atasan yang pengertian. Berhubung Anna juga sering menggantikan pekerjaan guru lain, maka untuk kali ini, mereka dengan senang hati mengizinkan Anna pergi dan menggantikan pekerjaannya. Namun, Anna yang merasa bertanggung jawab tentu saja ingin tetap terlibat sehingga ia rela mengikuti dekor dan rapat terakhir sebelum eksekusi acara keesokan harinya.

Setelah mengakhiri panggilannya, Anna bergegas menuju ke kamar 831. Begitu sampai di depan pintu kamar, Anna pun segera mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, Ia pun mengetuk lebih keras sambil memanggil sahabatnya itu.

"Mi! Miaa! Gue di depan ini! Open, please!"

Anna hendak kembali menghubungi Mia namun tangannya terhenti oleh pintu yang dibuka. Betapa kagetnya dia melihat sosok yang ada di depannya saat ini. Bukan Mia yang terlihat, melainkan sosok tunangan brengseknya yang baru saja dia tangisi. Pria itu sedang memakai kimono putih seperti sehabis mandi.

"Belle?!"

"Le... Leon?!"

Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Mereka tenggelam dalam kenangan indah yang dulu sempat terukir. Sayang, keheningan itu langsung terpecahkan oleh suara seorang wanita yang perlahan menghampiri mereka dan memeluk pria itu dari belakang. Melihat pakaian wanita itu, Anna dapat membayangkan apa saja yang baru mereka lakukan.

"Baby, who's this?" tanya Santana, wanita yang Anna ketahui seorang supermodel, sambil melirik tajam kepadanya.

Melihat wanita itu justru membuat amarah Anna yang muncul kembali setelah sekian lama terkubur. Ia pun segera melayangkan tamparan keras pada pipi Leon. Meski demikian, pria itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Sepertinya matanya masih terus meneliti wajah Anna. Sebaliknya, justru Santana yang bergerak maju dan akan menampar Anna.

"Santana... Stop it. Go back," kata Leon sambil menahan lengan wanita satu malamnya agar tidak bertindak lebih jauh.

"Tapi..."

"I said go back and sit on the sofa."

Tidak ada emosi dalam kalimatnya. Namun baik Anna maupun Santana sadar bahwa itu adalah perintah. Anna sendiri sadar bahwa sejak dulu maupun sekarang, Leon tidak suka dibantah. Maka dengan berat hati Santana pun kembali ke dalam, meninggalkan Leon yang mematung di depan pintu dan Anna yang berusaha keras mengontrol emosinya.

"Ternyata kamu ga berubah ya. You're still a jerk. Ketika anak istri kamu menunggu di rumah, kamu malah enak-enakan main di hotel! Benar-benar ga punya hati!"

Tidak ada satu bantahan pun yang keluar dari mulut Leon. Mata pria itu masih sibuk memandangi wajah Anna, hal yang justru membuat wanita itu tidak tenang. Dengan emosi yang semakin menggebu-gebu, Anna menghadiahkan tamparan yang jauh lebih keras lagi untuk Leon. Pipi pria itu jelas semakin memerah. Namun pria itu tetap mematung di tempat sambil sesekali mengusap bekas tamparan itu.

"I do this not for me. But for your family!"

Sepertinya Anna masih belum puas untuk menyalurkan perasaannya. Karena masih ada satu tamparan terakhir yang diberikan, yang tidak kalah keras dari tamparan sebelumnya. Ia bahkan tidak memberikan kesempatan bagi pria itu untuk membela diri atau pun mengucapkan sepatah kata. Namun. Sepertinya Leon memang tidak berniat membela dirinya, karena yang terlihat adalah seringai menyeramkan dan menggoda. Hal yang membuat Anna semakin jijik.

"Dengarkan Aku baik-baik, Leon Wiryadinata. You better get yourself together! You have a family! Ingat anak dan istri kamu! Stop main-main di luar! I wish this is the last time I'm meeting you and reminding you like this!"

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Anna dengan segenap kekuatannya sebelum meninggalkan Leon. Anna merasa sangat sedih dan sakit hati dengan apa yang baru saja ia lihat. Ya. Ia memang cemburu melihat kebersamaan Leon dengan Santana. Namun yang membuat hati Anna makin sakit adalah karena ia harus menyaksikan bagaimana pria itu sedang menghancurkan diri sendiri dan keluarga yang sudah dibangunnya.

Anna sangat berharap itu adalah pertemuan terakhir mereka. Jika pun harus bertemu lagi, biarlah mereka berjumpa dalam situasi yang jauh lebih baik. Situasi dimana mereka berdua telah berbahagia dengan kehidupan masing-masing.

Oh God. Please help me to let him go and move on...

Setelah kejadian tidak mengenakkan tersebut, Anna pun memilih kembali ke lobby. Merasa handphone-nya berdering, Anna segera mengangkat panggilan yang berasal dari Mia. Sepertinya sahabatnya itu sudah terlalu lama menunggu.

"Mi..."

"Lu dimana sih? Lama banget! Cepetan ke kamar! Gue udah ngantuk berat nih!"

Entah siapa yang harus marah. Mia yang terlalu lama menunggu? Atau Anna yang mendapat informasi kamar yang salah, yang malah sukses memporakporandakan malamnya?

"Lu tadi bilang di kamar berapa, Mi?" tanya Anna berusaha setenang mungkin. Jika boleh jujur, emosinya saat ini sudah di ubun-ubun.

"831, Na. 831!" Mia terdengar ketus sekali menjawabnya. Sepertinya dia memang sudah kelelahan.

"Mi, open the room door or check the room card now. Tell me again what number our room is."

Terdengar suara langkah kaki tergesa dan suara pintu terbuka. "Udah gue bilang 83..."

"Berapa mi?" Anna bertanya dengan nada lebih rendah.

"Oopss... sorry, Sist. It's supposed to be 813. Lu... jadi ke sini kan?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro